Mongabay.co.id

Mikroplastik dan Limbah Cair Cemari Sungai-sungai di Bali

 

 

 

 

 

Sungai Dam Ongan, Tukad Badung di Denpasar maupun Sungai Ayung, sampai tempat menyucikan diri di Kawasan Tirta Empul, di Gianyar, Bali,  terdeteksi tercemar mikroplastik dan limbah cair.

Pengambilan sampel pada keempat titik ini pada 13-15 Januari 2023 oleh Tim Ekspedisi Sungai Nusantara. Tim ini sudah berkeliling Indonesia selama satu tahun guna mengecek kesehatan sungai-sungai di nusantara ini. Ada tiga jenis mikroplastik terditeksi di sungai-sungai di Bali ini, yakni fiber, filamen, dan fragmen. Paling banyak ditemukan fiber (65%), bersumber dari degradasi kain sintetik karena pencucian kain, laundry, dan limbah industri tekstil.

Jenis filamen sekitar 25%,  dari degradasi sampah plastik sekali pakai seperti kresek, botol plastik, kemasan plastik single layer, dan jaring nelayan. Untuk fragmen sekitar 10%, berasal dari deradasi sampah plastik sekali pakai  seperti kemasan sachet multilayer, tutup botol, botol shampo, sabun, dan lain-lain.

Sampel mikroplastik terbanyak ditemukan di Tukad Badung, satu sungai terbesar yang membelah Kota Denpasar. Kawasan hilirnya adalah Pasar Badung. Penataan kawasan sekitar pasar ini dengan beton dan taman-taman kecil.

 

 

Prigi Arisandi, Direktur Eksekutif Ecological Observation and Wetland Conservation (Ecoton) yang menghelat ekspedisi sungai ini menyebutkan,  total mikroplastik dalam sampel adalah 680. Atau rata-rata 170 partikel mikroplastik dalam 100 air liter air sungai di empat sungai itu.

Penyebab secara umum, katanya, sampah langsung buang ke sungai, hingga fiber terfragmentasi. “Bisa juga mikroplastik terbang di udara dan masuk sungai,” katanya 15 Januari lalu di Gianyar.

Penelitian juga untuk mengecek kandungan limbah cair. Amiruddin Muttaqin, peneliti Ecoton menyebut,  kadar phospat dan khlorin melebihi baku mutu sesuai standar regulasi PP 22/2021 yakni Phospat (0,3 ppm) dan Khlorin (0,03 ppm).

 

Baca: Peneliti: Dampak Mikroplastik Terhadap Kesehatan Manusia Perlu Kajian Lebih Lanjut

Pemeriksaan sampel mikroplastik. Foto: Luh De Suryani/ Mongabay Indonesia

 

Dari uji kualitas air dengan 20 parameter, paling tercemar dari dua kandungan itu adalah Tukad Badung yakni phospat 1,1 ppm. “Ini tinggi sekali dibanding baku mutu. Limbah domestik tidak terkelola dengan baik dan mencemari sungai,” kata Amiruddin.

Sedangkan kadar phospat di Sungai Ayung, yang menjadi kawasan wisata rafting adalah 0,7 ppm dan khlorin 0,25 ppm. Di kawasan ini banyak pusat akomodasi dan pertanian. Phospat berasal dari limbah domestik seperti detergen atau sabun sedangkan khlorin dari bahan pemutih (pembersih lantai, pembunuh kuman) dan bahan pestisida dalam pertanian.

Namun, katanya, kedua peneliti menyatakan dibandingkan dengan sungai-sungai lain di Indonesia, keempat sungai di Bali itu dinilai relatif lebih bersih karena tak banyak timbunan sampah plastik mengambang di sungai. Menurut Prigi, inisiatif komunitas untuk membersihkan sungai atau pemasangan penjaring sampah juga berperan.

 

 

Gede Robi, vokalis band Navicula juga terlibat dalam pengambilan sejumlah sampel di Bali. Prigi dan Robi adalah aktor film Pulau Plastik bersama Tiza Mafira.

Data Tim Ekspedisi Sungai Nusantara (ESN) 2022 yang menguji kandungan mikroplastik di 68 sungai strategis nasional, menunjukkan,  lima provinsi paling tinggi kontaminasi partikel mikroplastik yaitu Jawa Timur 6,36 partikel/liter, Sumatera Utara 5,20 partikel/liter, dan Sumatera Barat 5,08 partikel/liter. Kemudian, Bangka Belitung 4,97 partikel/liter, dan Sulawesi Tengah 4,17 partikel/liter.

Mikroplastik ditemukan hampir di semua sungai kecuali sumber air Way Sekampung dan Hulu Air Bengkulu di Desa Rindu Hati.

 

Baca juga : Darurat Mikroplastik di Sungai Jawa, Aktivis Lingkungan Somasi Para Gubernur

Robi dan Prigi mengambil sampel air di Dam Ongan Denpasar. Foto: Luh De Suryani/ Mongabay Indonesia

 

Model pengelolaan sungai

Bagaimana model pengelolaan sungai yang baik? Amiruddin contohkan beberapa model pengelolaan sungai, seperti di Maros, Sulawesi Selatan,  terkenal dengan wisata Goa Rammang-Rammang. Pengelolaan sungai di sana menarik karena komunitas bisa mengelola sumber air alih-alih dieksploitasi untuk tambang karst, bahan baku semen. Ada juga pendekatan adat dengan penetapan larangan pakai sungai selama beberapa waktu yang disebut Lubuk Larangan di sejumlah daerah di Sumatera.

Contoh baik lain pengelolaan sungai seperti Kampung Naga, Tasikmalaya, Jawa Barat. “Konsepnya pinjam air. Air sungai disodet dialihkan ke kolam-kolam. Setelah itu difilter agar tidak terkontaminasi dengan cara tradisional, baru dialirkan kembali ke sungai,” katanya.

Warga menyadari,  harus mengembalikan kualitas air seperti saat digunakan.

Revitalisasi sungai dengan cara pembetonan dinilai terlihat rapi namun secara ekologi tidak mendukung ekosistem sungai hidup. Dia contohkan, kehilangan tanaman dan satwa yang berfungsi menguraikan dan menjernihkan air.

Di Sungai Tukad Badung, menteri dan presiden pernah menyaksikan alat nano buble untuk menjernihkan air sungai pada 2019 dengan biaya sekitar Rp300 juta.

Dari hasil ekspedisi ini, sebagian besar kondisi sungai buruk. Masalahnya, sebagian besar warga atau sekitar 84% andalkan bahan baku air minum dari air permukaan seperti sungai. Untuk itu, katanya, perlu upaya pengendalian sumber mikroplastik ke sungai dari sampah plastik dan limbah Industri terutama pabrik kertas dan tekstil.

 

 

Tukad Badung di Kota Denpasar, Bali. Foto: Luh De Suryani/ Mongabay Indonesia

******

 

Exit mobile version