Mongabay.co.id

Burca, si ‘Penghulu’ Salak dari Lereng Gunung Latimojong

 

Pagi itu Burhanuddin, -atau kerap dipanggil Burca, membawa bunga jantan salak atau yang disebut cabi dalam bahasa lokal. Bentuknya mirip batangan es lilin. Ia terbungkus seludang bertangkai panjang.

Lokasi kebun salak Burca luasnya sekitar 1 hektar, lokasinya di Desa Bontongan, Kecamatan Buntu Batu, Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan. Desanya terletak di lereng Gunung Latimojong.

Burca adalah ‘penghulu’ salak, atau orang yang melakukan proses penyerbukan silang salak. Padahal umumnya salak (Salacca zalacca) diserbukkan secara alami lewat bantuan angin maupun serangga. Kemampuannya diperoleh dari belajar mengamati proses alam.

Di salah satu pohon salak di kebunnya yang lokasinya sedikit curam bergelombang, dia berjongkok. Diambilnya parang dari pinggang. Selang beberapa saat dia lalu melafalkan bacaan tertentu, -semacam mantra, permohonan kepada semesta.

Dia lalu memotong cabi sekitar 2 cm dan melekatkannya ke bunga betina yang lokasinya ada di ketiak pelepah daun. Bunga betina yang merekah itu terbungkus oleh seludang yang bertangkai pendek.

 

Burhanuddin atau Burca menunjukkan hasil panen salaknya yang besar, manis dan tahan lebih lama berkat penggunaan pupuk organik kotoran ayam. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia.

Baca juga: Menikmati 15 Jenis Salak di Desa Sibetan

 

“Mengawinkan salak itu ada tatacara dan bacaannya. Harus duduk, lalu ada bacaan doa dan harapan, agar salak bisa tumbuh dan berbuah dengan baik, bebas dari hama,” kata Burca.

Bertahun-tahun berkebun salak, Burca menyadari salak, layaknya manusia, memiliki perasaan tertentu. Sehingga harus didekati dengan hati riang gembira.

Terkadang Burca melantunkan nyanyian dan bunyi tertentu agar salak merasa nyaman dan bisa berbuah dengan baik.

“Salak juga tanaman yang harus selalu dibersihkan. Banyak petani di sini hasil kebunnya tak bagus karena kurang perhatian. Kalaupun ada hasil, tak banyak dan kurang bagus.”

Salak hasil kebun Burca memang tergolong manis dan besar-besar. Selain perlakukan yang baik. Burca juga menghindari penggunaan pupuk kimiawi seperti urea dan NPK. Sebagai gantinya dia menggunakan pupuk kotoran ayam.

“Kalau dengan pupuk kimia buahnya cepat busuk, tidak tahan lama.”

Sebagai petani pembelajar, dia memperhatikan hubungan antar unsur alam. Burca melihat kutu yang ada di dalam anakan salak betina bukanlah hama.

“Pernah setengah jam saya amati, amati kutu-kutu di salak itu justru penting dalam membantu proses penyerbukan,” katanya.

Untuk menghindari agar buah salaknya tidak dimakan oleh babi hutan, atau tikus, Burca pun biasanya menaburkan kapur barus di sekitar kebunnya.

 

Proses ‘perkawinan’ atau penyerbukan salak dengan menempatkan bunga jantan ke bunga betina. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia.

 

Salak, tanaman yang prospektif

Bagi petani, salak adalah komoditas yang menjanjikan beberapa tahun terakhir ini. Dulu ia tidak banyak dilirik, -tetapi layaknya kopi, salak banyak ditanam petani di Enrekang. Harganya terus meningkat.

Waktu panennya pun tergolong cepat, sekitar 6 bulan setelah perkawinan, salak berbuah. Panennya bisa dilakukan setiap bulan.

Salak adalah tanaman yang tergantung pada kondisi cuaca. Ia tumbuh baik di daerah yang dingin dan lembab. Selama proses pembuahan salak butuh suplai air yang banyak.

Saat musim kemarau ia perlu dibantu dengan siraman air. Di saat buah sudah besar, salak lebih menyukai kondisi kering agar buahnya bisa optimal, tumbuh baik dan besar.

“Masa panen itu bisa tiga kali dalam setahun. Sekali panen itu biasanya tidak sekaligus, tapi bisa sampai 2-3 bulan. Jadi sebenarnya panen itu bisa dilakukan setiap saat, selalu ada saja pohon yang berbuah,” ungkap Mardiah, istri Burca.

 

Mardiyah, istri Burca, hampir setiap hari ke kebun untuk mengecek pohon yang siap panen dan membantu ‘perkawinan’ atau penyerbukan salak. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia.

Baca juga: Rumbia, Buah yang Dijuluki Salak Hutan Aceh

 

Harga salak saat ini, katanya sekitar Rp150 ribu per karung, di waktu-waktu tertentu bisa Rp300 ribu per karung. Pembeli biasanya datang sendiri ke kebun. Salak itu diangkut mereka ke kota Enrekang dan Makassar.

Selain di jual langsung, salak juga dapat dijadikan makanan ringan berupa dodol salak.Hanya saja proses ini belum diusahakan oleh para petani, karena kendala pada pengetahuan dan teknologi.

 

 

Exit mobile version