Mongabay.co.id

Kapal Nelayan dari Luar NTT Perlu Dibatasi?

Perahu nelayan tradisional saat merapat ke Pelabuhan Perikanan Tenau, Kecamatan Alak, Kota Kupang, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Foto: Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia

 

 

Satu per satu kapal nelayan merapat ke Pelabuhan Perikanan Tenau, Kecamatan Alak, Kota Kupang, Provinsi Nusa Tenggara Timur [NTT].

Ikan hasil tangkapan nelayan tersebut, dijual untuk konsumsi lokal maupun ekspor.

“Ikan demersal harga jual lokal berkisar 20-25 ribu Rupiah per kilogram. Untuk ekspor, minimal Rp40 ribu per kilogram,” terang La Ace, nelayan Nunbaun Sabu, baru-baru ini.

Untuk pasar lokal, nelayan langsung menjual ke pengepul atau pedagang eceran. Sementara  untuk ekspor, langsung dijual ke perusahaan di Kota Kupang yang berikutnya dikirim ke Bali atau Jawa.

“Selama ini tidak ada ekspor dari NTT sehingga harga beli ikan di NTT bisa lebih tinggi. Pelabuhan Pelindo sudah mumpuni untuk ekspor namun belum dimanfaatkan,” sebut Wham Wahid Nurdin, Plt. Ketua Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia [HNSI] Provinsi NTT.

Baca: Apa Dampak Perubahan Iklim Bagi Nelayan NTT?

 

Ikan tangkapan nelayan dijual di Pelabuhan Perikanan Tenau, Kecamatan Alak, Kota Kupang, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Foto: Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia

 

Marak kapal luar

Kapal-kapal nelayan dari luar NTT banyak dilihat bersandar di pelabuhan pendaratan ikan di Kota Kupang. Kapal ikan tersebut membawa anak buah dari luar NTT.

Menurut Wham, NTT didominasi nelayan luar yang ekonominya lebih bagus. Sumber daya nelayan lokal juga belum mampu mencari ikan untuk skala ekspor, seperti tuna dalam jumlah banyak.

“Harus ada ahli teknologi dan pertukaran sumber daya manusia. Harus ada sistem juga, kapal-kapal dari luar wajib menyertakan 2 hingga 3 nelayan lokal.”

Wham menjelaskan, kapal ikan dari luar NTT harus memiliki SIPI Andon yang masa berlakunya enam bulan. Dengan begitu, bisa dikontrol apakah penangkapannya ramah lingkungan atau tidak. Apakah tidak bermasalah dengan kearifan lokal atau tidak.

“Bila tidak bermasalah izin bisa diperpanjang.”

Pendataan perikanan di NTT harus dilakukan agar diketahui potensinya, sehingga kapal ikan bisa dibatasi. Begitu juga dengan penggunaan alat tangkap yang dibatasi ketika populasi ikan menurun.

“Kami tidak melarang nelayan dari luar NTT, tapi kalau tidak dibatasi sesuai sumber daya alam, maka potensi yang ada bisa hilang,” tegasnya.

Baca: Perubahan Iklim, Antara Aksi dan Adaptasi Masyarakat NTT

 

Kapal nelayan dari luar NTT yang bersandar di Pelabuhan Perikanan Tenau, Kecamatan Alak, Kota Kupang. Foto: Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia

 

Operasi rutin

Dinas Kelautan dan Perikanan [DKP] Nusa Tenggara Timur, melakukan operasi pengawasan terpadu dengan menyisir sejumlah wilayah perairan Flores Timur, Rabu [05/10/2022].

Dikutip dari Kompas.com, Kepala Cabang DKP NTT Wilayah Lembata, Flores Timur dan Sikka, Antonius Andy Amuntoda mengatakan, operasi tersebut dilakukan untuk mengecek kelengkapan dokumen kapal nelayan.

Kelengkapan berupa Surat Ijin Usaha Perikanan [SIUP], Surat Ijin Penangkapan Ikan [SIPI], Sertifikat Kelaikan Kapal Perikanan [SKKP], Surat Perintah Berlayar [SPB], dan Surat Laik Operasi [SLO].

Operasi melibatkan personel Polair Polda NTT, Satuan Pengawas [Satwas] PSDKP Larantuka, dan Lembaga Swadaya Masyarakat [LSM] Misool Foundation Flores Timur.

“Sembilan kapal kami periksa, sebanyak dua kapal habis masa berlaku SIPI. Kami berikan peringatan dan meminta pemilik kapal segera mengurus perpanjangan. Pengawasan diakukan dengan menggelar operasi rutin berkala,” ujarnya.

Baca juga: Resahnya Petani Jagung di Sikka dengan Ulat Grayak

 

Perahu nelayan tradisional saat merapat pagi hari di Pelabuhan Perikanan Tenau, Kecamatan Alak, Kota Kupang, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Foto: Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia

 

Perlu kebijakan

Dosen Perikanan Universitas Nusa Nipa [Unipa] Maumere Barnabas Pablo Puente Wini Bhokaleba menjelaskan, seluruh kapal ikan skala besar dan menggunakan alat moderen, boleh melakukan penangkapan di seluruh Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Kesatuan Republik Indonesia [WPPNRI].

Namun para pemanfaat ini, perlu mengetahui kondisi stok ikan di WPPNRI yang ditarget. Provinsi NTT berada pada WPPNRI 713, 714, dan 572.

“Beberapa jenis ikan di wilayah NTT mulai mengalami penurunan stok. Untuk itu, perlu kebijakan yang mengatur daerah penangkapan ikan dan jumlah kapal yang masuk.”

Sebagai contoh, kata Barnabas, pemanfaatan di WPPNRI 572 Laut Sawu belum optimal.

“Kapal-kapal bisa didorong untuk melakukan penangkapan di wilayah tersebut,” paparnya.

 

Exit mobile version