Mongabay.co.id

Cerita Rangkong Badak dari Gunung Tilu

 

 

 

 

 

Udara mulai terasa hangat, pagi itu. Pemuda berusia 20 tahun tengah mengamati pepohonan di sisi sebelah barat Gunung Tilu, Jawa Barat. Dengan sebuah monocular dan tripod, dia sedang mencari-cari keberadaan rangkong badak yang biasa hinggap di pepohonan ara.

Hutan Gunung Tilu di Kabupaten Kuningan Jawa Barat ini merupakan habitat alami bagi rangkong badak. Kawasan hutan lindung ini di bawah kelola Perum Perhutani KPH Kuningan.

Fahrul Shobarudin Syahban, begitu nama pemuda ini. Dia mahasiswa Fakultas Kehutanan Universitas Kuningan, yang kerap mengamati keberadaan rangkong ini.

“Saya mengamati rangkong rutin tiap bulan. Data 2022, terpantau julang emas ada 30 dan rangkong badak ada 12,”  katanya, Desember lalu.

Dia dan teman-temannya adalah peminat burung. Mereka rutin pengamatan satwa di Gunung Tilu, terutama rangkong badak.

“Untuk metode [pengamatan] metode konsentrasi, terfokus pada satu titik yang merupakan titik berkumpulnya si burung rangkong. Biasanya pohon ara yang sedang berbuah.”

 

 

Ancaman rangkong badak

Keberadaan rangkong badak terancam antara lain karena perburuan dan perdagangan ilegal. “Sepengamatan kami dalam 10 tahun terakhir ada kecenderungan anakan dijual secara ilegal di sosial media untuk dipelihara,”  kata Yokyok Hadiprakarsa, pendiri dan peneliti utama Rangkong Indonesia.

Perburuan rangkong di hutan Gunung Tilu juga diakui Fahrul. Dahulu sebelum aktif sebagai pemerhati satwa, dia seorang pemburu burung.

“Awal mula saya menjadi pemburu karena ikut-ikut sama mamang. Sering dulu keluar masuk hutan untuk berburu burung. Bukan hanya burung kicau, juga burung rangkong,” katanya.

Untuk di Gunung Tilu, katanya, masyarakat kebanyakan memburu rangkong bukan untuk dijual tetapi mereka makan.

 

Fahrul, sedang mengamati rangkong badak di Gunung Tilu. Foto: Donny Akson

 

Muhdin, warga Desa Cimara, yang tinggal kaki Gunung Tilu pun mengamini ucapan Fahrul. Dia bilang, warga sekitar menangkap rangkong kebanyakan untuk konsumsi.

Pertama kali dia tangkap rangkong sekitar tahun 1980-an. “Sekitar tahun 80-an-lah kira-kira. Waktu itu ke hutan, cari jamur. Trus ada suara nguik nguik, taunya itu rangkong.”

Kala itu, dia menemukan pohon besar tumbang di dalam hutan. Ternyata, rangkong bersarang di pohon itu. Ada dua rangkong badak, induk dan anakan yang kemudian dia bawa pulang ke rumah. Burung rangkong itu pun dia potong lalu Muhdin makan bersama teman-temannya.  “Rasanya ya seperti entog gitu wae,” kenang Muhdin.

Dia bilang, kini menemukan sarang rangkong di hutan Gunung Tilu tak semudah dulu. Wasromi, warga Desa Cimara mengatakan,  rangkong badak hanya akan dijumpai saat musim buah ara.

“Kalau kelihatan kadang-kadang bulan tilu, bulan empat gitu. Saat tiara berbuah. Pasti ada itu cari makanan. Kalau sekarang mah susah.”

Pria paruh baya yang akrab disapa abah ini mengatakan, saat ini tidak lagi banyak warga berburu rangkong karena temukan sarangnya pun sulit.

“Banyak warga masuk hutan, kalau disini nyari jamur. Kan kalau rangkong sekarang susah cari sarangnya. Kalau ada juga susah diambil. Begitu orang lewat ia kabur. Matanya itu awas,” katanya.

Berdasarkan daftar merah International Union for Conservation of Nature (IUCN), status rangkong badak saat ini terancam punah.

 

 

Petani hutan

Padahal, menurut Yokie, sapaan akbrab Yokyok Hadiprakarsa,  burung ini berjasa besar terhadap regenerasi hutan. Mereka kerap dijuluki petani hutan karena kemampuan menyebar biji tanaman hutan.

Upaya pelestarian terhadap satwa yang terancam punah, seperti rangkong badak ini, diatur pemerintah dengan UU No 5/1999 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Meski demikian, tak menjamin keamanan kehidupan rangkong di alam.

“Tantangannya,  bukan hanya rangkong badak juga rangkong gading yang posisinya lebih kritis.”

Dia bilang, kalau ada pelanggaran terhadap pelaku perburuan dan perdagangan ilegal, penegakan hukum masih lemah.

“Karena pemahaman dari penegak hukum masih terbatas (pemberian hukuman terlalu ringan). Efek jera masih kurang,” kata Yokie.

Selain perburuan, penebangan dan perambahan liar kawasan hutan juga mengancam keberadaan rangkong badak.

 

Warga yang tinggal di sekitar Gunung Tilu. Foto: Radie Hardika

 

Tergantung alam

Rangkong badak atau sering disebut enggang cula, dalam bahasa latin disebut Buceros rhinoceros, merupakan burung berukuran besar mencapai 110 cm. Bulu didominasi warna hitam. Species ini memiliki ciri khas berupa paruh melengkung dan balung yang meliuk ke atas menyerupai cula berwarna kuning kemerahan.

Meski termasuk burung berukuran besar dan memiliki paruh tajam, tetapi mereka pemakan buah, terutama jenis beringin.

“Rangkong badak ini berdasarkan penelitian saya mendekati 80% pemakan buah beringin. Itu (pohon beringin) hanya ada di hutan-hutan yang baik,” kata Yokie.

Populasi rangkong badak di Indonesia, katanya,  belum diketahui dengan pasti.

“Kecenderungan populasi di alam menurun. Karena rangkong badak hanya hidup di hutan. Seiring berkurangnya hutan di Indonesia, itu juga berdampak terhadap populasi.”

Di Gunung Tilu, ada sejumlah faktor pendukung bagi keberadaan rangkong badak. Di sana, ada beberapa pohon jenis ficus, yang menjadi pakan rangkong. Tumbuhan ini berbuah sepanjang tahun.

“Jadi,  habitat bagi rangkong untuk bertengger dan mencari makanan,” kata Ilham Adhya, dosen Fakultas Kehutanan Universitas Kuningan kepada rri.co.id,  Desember lalu.

Berdasarkan kajian dari Rangkong Indonesia, secara umum ada dua faktor pembatas keberadaan rangkong di alam. Pertama, adalah pohon sarang di hutan makin berkurang. Kedua, kondisi hutan mulai rusak hingga menyebabkan pohon beringin sebagai sumber pakan bagi rangkong berkurang.

Rangkong, biasa bersarang pada pohon tinggi dan berdiameter besar. Mereka akan bersarang pada lubang pohon yang terbentuk secara alami. Selama proses pembiakan, rangkong betina akan bersarang di dalam lubang sambil mengerami telurnya. Selama itu, pula rangkong jantan yang akan menyediakan makanan dan memasukkan ke lubang sarang si betina.

Keunikan lain rangkong, katanya, bersifat setia pada pasangan hingga mati. Kalau salah satu mati karena ulah pemburu, pasangan yang ditinggalkan tak akan mencari pasangan baru.

 

Rangkong Badak. Foto: Rhett Butler/Mongabay

 

Makin sadar jaga hutan

Kawasan Gunung Tilu pernah dilanda banjir besar pada tahun 2017. Aktivitas penebangan pohon skala besar yang dilakukan masyarakat dahulu turut memperparah dampak banjir dan longsor.

“Kegiatannya (penebangan liar) cukup lama sekali dulu di atas di Gunung Tilu. Penebangan ini menyebabkan ada tumpukan kayu yang terbawa longsor ke sungai,” kata Ilham.

Dia bilang, sejak peristiwa itu, masyarakat makin menyadari betapa penting menjaga hutan. Tak hanya memperparah dampak kalau terjadi bencana, penebangan liar juga mengancam keberadaan rangkong badak karena pohon dalam hutan berkurang.

“Ini pelajaran bagi masyarakat, tak boleh ada penebangan. Rangkong salah satu pakan utamanya adalah pohon ara. Ini disebut spesies kunci. Ketika ini (pohon ara) dihilangkan, atau minimal tidak menghasilkan buah, ini akan menyebabkan kelestarian hutan terganggu.”

Hal serupa juga disampaikan Fahrul. Sebagai mahasiswa dan sekaligus masyarakat yang tinggal di sekitar Gunung Tilu, dia selalu mengajak masyarakat untuk menjaga Gunung Tilu.

“Saya perlahan mulai sadar untuk menjaga Gunung Tilu dan mengajak masyarakat untuk tidak berburu lagi,” kata Fahrul.

Saat ini,  warga di sekitar Gunung Tilu banyak yang beraktivitas bercocok tanam di sawah.

“Kebanyakan (warga) ke sawah. Menggarap lahan sawah saja, sambil ambil rumput buat (pakan) kambing,” kata Wasromi.

Sejumlah pihak juga turut mengajak masyarakat di sekitar Gunung Tilu bersama menjaga kelestarian hutan. Seperti dilakukan Universitas Kuningan, membuat riset melibatkan masyarakat.

“Seperti Fahrul misal. Kita kolaborasikan fokus meneliti rangkong dan mamalia besar. Dia dapat beasiswa dari Uniku untuk melakukan pengamatan,” kata Ilham.

Dia juga sebut Ori, warga Desa Cimara yang menaungi sekitar 15 orang putus sekolah untuk jadi petani milenial.

“Dengan membentuk kelompok tani hutan. Kita bantu risetnya.”

Dengan membekali masyarakat di sekitar Gunung Tilu,  dengan ilmu pertanian, menurut Ilham, akan membuat mereka tak lagi melakukan perburuan di dalam hutan.

Masyarakat di sekitar Gunung Tilu, kata Ilham, saat ini punya kepedulian tinggi terhadap lingkungan. Mereka meyakini,  air jernih di dalam hutan karena hutan masih berfungsi dengan baik. Sumber air di dalam hutan, katanya,  banyak untuk pengairan lahan pertanian warga.

Hutan dengan segala kekayaan adalah rumah rangkong badak. Selain mendapatkan pohon untuk bersarang dan buah-buahan sebagai sumber pakan, rangkong juga membantu hutan tetap tumbuh dan menghasilkan pohon-pohon baru dari benih yang mereka sebarkan.

 

 

*Ellyani Ratnaningsih merupakan wartawan urnalis RRI.

 

********

 

*******

Exit mobile version