Mongabay.co.id

Gantikan Merkuri, Ini Fungsi Penting Ijuk saat Nambang Emas

 

 

Dalam hal emisi merkuri secara global, Indonesia termasuk yang tinggi. Menurut data UNEP, Indonesia menempati urutan ke tiga setelah India dan China. Emisi terbanyak berasal dari pertambangan emas kecil yang dikelola masyarakat, seringkali ilegal. Sebuah laporan lain menyebutkan, para penambang menggunakan merkuri lebih dari tiga ribu ton per tahun di seluruh Indonesia.

Merkuri, hydrargyrum [Hg], atau orang awam mengenalnya sebagai air raksa, digunakan secara luas dalam pertambangan emas rakyat untuk memisahkan bijih emas dari logam atau mineral lain. Biasanya oleh para penambang emas, merkuri dicampurkan ke larutan pasir atau debu hasil mereka menambang.

Merkuri mengikat emas dan membentuk amalgam atau campuran lunak logam. Penambang kemudian mengumpulkan amalgam ini untuk selanjutnya dipanaskan hingga merkurinya menguap dan emasnya tertinggal.

Namun, merkuri diketahui merupakan logam sangat beracun, karsinogenetik, dan berbahaya bagi lingkungan. Merkuri yang berwarna keperakan ini merupakan satu-satunya logam yang berbentuk cair dalam suhu ruangan [25 derajat Celcius], akan membeku pada suhu -39 derajat Celcius dan memiliki titik didih 356,7 derajat Celcius.

Baca: Nambang Emas Pakai Ijuk Hasilkan Lebih Banyak dan Bebas Merkuri, Seperti Apa?

 

Pohon aren yang menghasilan gula aren dan buah kolang-kaling. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Saat proses amalgamasi, sebagian merkuri akan larut ke air dan mencemari sungai hingga lautan. Merkuri bersifat mengikat protein sehingga dengan mudah misalnya masuk ke biota laut dan menjadi fatal saat dikonsumsi manusia.

Dalam praktik pertambangan rakyat, penguapan merkuri sering kali juga tanpa prosedur yang aman. Akibatnya, banyak pekerja tambang yang terpapar uap merkuri.

Paparan merkuri bisa menyebabkan keracunan, kanker, cacat permanen, bahkan kematian. Peristiwa terkait merkuri yang terkenal adalah tragedi Minamata. Saat itu, sekitar 50 ribu orang terpapar merkuri dari tahun 1932 hingga 1968. Lebih dari 2.000 kasus di antaranya terbukti terkait dengan limbah ini menurut WHO.

Di Indonesia kasus pencemaran merkuri juga ditemukan di wilayah yang terdapat pertambangan emas skala kecil. Sebuah laporan menyebutkan kandungan merkuri ditemukan di air seni dan rambut pekerja tambang di Nusa Tenggara Barat. Di Pulau Buru, Maluku, kandungan merkuri ditemukan di sedimen kolam limbah. Hal yang sama juga terjadi di Lombok.

Penelitian di sejumlah daerah, yang terdapat pertambangan, juga menemukan kandungan methyl mercury di pepaya, kakao, dan beras di atas ambang batas yang ditetapkan WHO.

Baca: Pohon Aren, Kolang-Kaling, dan Jasa Musang

 

Pohon aren disadap tandan buahnya untuk diambil air niranya sebagai bahan utama pembuatan gula. Sementara ijuknya dapat dimanfaatkan sebagai sapu dan pengganti merkuri saat menambang emas. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Serat alam

Indonesia akan menghapus penggunaan merkuri 100 persen pada sektor Pertambangan Emas Skala Kecil [PESK] pada 2025. Sebenarnya, penambangan emas bisa dilakukan tanpa merkuri. Salah satunya adalah dengan memanfaatkan ijuk, seperti yang diperkenalkan oleh Yayasan Tambuhak Sinta.

Ijuk berasal dari pohon aren, yang bisa tumbuh hampir di seluruh wilayah Indonesia. Secara tradisional. Ijuk dimanfaatkan oleh masyarakat untuk sapu, juga atap rumah. Ijuk berwarna hitam, dengan tekstur halus hingga kasar.

Sebagai pengganti merkuri, serat organik ini dimanfaatkan untuk menangkap butiran emas yang terlarut dalam air. Metode ini diklaim dua kali lebih banyak bisa menangkap konsentrat emas dengan butiran paling halus sekalipun. Metode ini juga disebut metode manado, karena pertama kali dipraktikkan oleh penambang di Manado.

Caranya, sebelumnya ijuk dipotong sekitar 40 hingga 50 cm. Pilih ijuk bagian tengah karena biasanya bentuknya rapi. Bagian ujung dibuang, lidi ijuk juga dibuang. Selanjutnya, ijuk disusun bertingkat mirip memasang genting dan diletakkan pada jalur yang akan dilewati air, yang mengandung bijih emas.

Air ini merupakan larutan dari batuan mengandung bijih emas yang sebelumnya sudah dihancurkan dalam mesin penghancur, yang disebut gelondong. Umumnya, penambang akan memasukkan merkuri langsung ke dalam gelondong ini. Bisa dibayangkan bagaimana akibatnya jika air yang tercemar merkuri masuk ke perairan.

Baca juga: Terumbu Karang Kolang Kaling, Bagaimana Bentuknya?

 

Emas yang dihasilkan dari metode manado. Hasil tambang bisa lebih banyak dari menggunakan mercuri. Foto: Yayasan Tambuhak Sinta

 

Di antara ijuk dipasang kayu. Saat memasang, kayu sedikit ditekan. Gunanya, selain menahan ijuk tetap pada tempatnya, juga berfungsi menghambat aliran air dari atas yang berisi lumpur bercampur emas. Berdasar praktik di lapangan, dari 10 karung batuan bisa mendapatkan 1 karung konsentrat dan tidak ada emas yang terbuang.

Waktu yang dibutuhkan pun kurang lebih sama jika dibanding menggunakan merkuri. Ijuk ini  berfungsi sebagai penyaring, sehingga emas tertahan di dalamnya, sementara sebagian besar lainnya berada di bawah ijuk. Air selanjutnya bisa dibuang langsung ke alam karena sama sekali tidak mengandung bahan berbahaya.

Setelah larutan dalam gelondong habis, ijuk diangkat dan dibersihkan ke dalam wadah besar berisi air sambil digoyang-goyang sehingga ijuk kembali bersih. Ijuk tidak perlu dibuang karena masih bisa dipakai kembali. Konsentrat yang tertinggal di jalur yang dilewati larutan lalu dikumpulkan. Selanjutnya, didulang menggunakan alat yang menyerupai piring tapi besar. Gunanya untuk memisahkan lumpur dengan butiran emas.

Butiran emas yang didapat dipanaskan dan dicampur boraks. Pada proses ini pun para pekerja tidak perlu khawatir akan dampak keracunan merkuri karena memang sama sekali tidak menggunakan logam cair ini. Hasilnya emas murni yang diperoleh dengan cara benar, tidak mencemari lingkungan.

Di pasaran, merkuri dijual sekitar Rp 1 juta per kilogram. Penambang biasanya menghabiskan sampai 3 kilogram merkuri, untuk sekali proses gelondongan. Dengan memanfaatkan ijuk, selain aman dan ramah bagi lingkungan, penambang juga bisa menghemat biaya dalam mendapatkan emas. Hasil yang didapat pun bisa lebih banyak karena ijuk mampu menangkap butiran emas paling lembut yang sering disebut debu emas. [Berbagai sumber]

 

Exit mobile version