Mongabay.co.id

Menongkah, Aktivitas Selancar Mencari Kerang di Pesisir Lingga

 

Pemandangan pesisir Tanjung Buton, Daik, Kabupaten Lingga sore itu cukup menawan. Matahari yang mulai menghilang di bawah garis cakrawala di sebelah barat, membuat langit berwarna orange kemerahan. Suasana itu membayang ke permukaan laut. Belum lagi sebelah timur pemandangan gunung Daik Lingga memanjakan mata.

Suasana itu menjadi pemandangan bagi warga yang sedang bersantap makanan di kawasan Pelabuhan Tanjung Buton. Kawasan ini memang menjadi destinasi kuliner di Daik Lingga Provinsi Kepulauan Riau (Kepri).

Dari atas pelabuhan juga terdapat pemandangan menarik. Tampak jelas dua orang warga Daik sedang asyik mencari kerang. Proses mencari kerang itu tidak dengan cara berjalan menyusuri pesisir laut. Tetapi berselancar di atas papan kayu yang disebut tongkah

Dua orang itu seolah-olah berlomba menyusuri pesisir laut yang sudah surut sejak siang tadi. Duduk di atas papan, kemudian papan didorong dengan dua tangannya. Papan membawa mereka melanju. Tingkah ini seperti bak atlet selancar yang siap menerjang ombak besar.

Saat melaju, sesekali mereka berhenti memungut karang dan memasukkannya dalam ember yang sudah disediakan di atas papan. Begitulah yang mereka lakukan ketika air surut, hingga azan magrib dikumandangkan di masjid-masjid kabupaten berjulukan ‘Negeri Bunda Tanah Melayu’ ini.

baca : Ini Tantangan Pembudidaya Kerang Hijau di Gresik

 

Beberapa warga melihat warga mendongkah di perairan Bunton, Daik Lingga, Foto : Yogi Eka Sahputra/Mongabay Indonesia

 

Menongkah Kearifan Lokal Turun Temurun

Salah seorang warga Daik Lingga yang mencari kerang sore itu adalah Abdurrahman. Ia ditemui kami temui sedang asik membersihkan papan yang digunakannya mencari kerang.

Setelah papan itu bersih dari lumpur, ia  menyimpan papan itu di salah satu teras rumah warga di pesisir Tanjung Buton. Papan itu siap untuk digunakan lagi keesokan harinya.

Yus, sapaan akrabnya, bercerita aktivitas perihal mencari kerang sore itu. Warga Lingga menyebutkan aktivitas ini ‘menongkah’. “Kalau alat ini namanya tongkah,” kata Yus sembari menunjuk tongkah yang terbuat dari papan membentuk sampan mungil.

Mencari kerang sebenarnya bisa dengan berjalan seperti yang dilakukan masyarakat pesisir lainnya. Tetapi pesisir Lingga lebih banyak lumpur. Sehingga menongkah menjadi solusi mencari kerang.

“Kalau mencarinya berjalan kita terbenam lumpur, lama juga kalau jalan,” kata Yus bercerita kepada Mongabay Indonesia, 26 Desember 2022 lalu.

Aktivitas ini sudah dilakukan warga turun menurun. Tidak hanya di Tanjung Buton, menongkah hampir dilakukan masyarakat Lingga di setiap pesisir. “Sudah dari dulu datuk nenek kami sudah ada menongkah ini,” katanya.

Dalam satu tahun Yus hanya menongkah dua bulan saja. Biasanya di bulan-bulan menyambut tahun baru, atau pada musim angin utara dan angin timur.

baca juga : Kerang Menghilang, Nelayan Mulai Mencari Teripang

 

Aktivitas mendongkah warga di Pesisir Pelabuhan Bunton, Daik Lingga, Desember 2022. Foto : Yogi Eka Sahputra/Mongabay Indonesia

 

Menongkah juga tidak dilakukan Yus sepanjang hari. Tetapi ketika air mulai surut. Biasanya siang hari sampai petang. “Hari ini air surut tidak terlalu lama, makanya kita hanya dapat 2 kilogram kerang saja,” kata pria 40 tahun itu.

Ia menunjukan isi kantong kresek yang berisi kerang. Sekilas kerang ini terlihat seperti kerang dara (Anadara Granosa) atau kerang darah. Kerang ini sangat mudah ditemukan, dan biasanya juga dijual di pasar tradisional maupun pasar modern.

Yus paling banyak mendapatkan 20 kilogram kerang setiap hari. Apalagi kala air surut dalam waktu yang lama. Satu kilogram kerang dara dijual Rp25 ribu. “Ini kerja sampingan, lumayan untuk tambahan,” kata Yus.

Namun, sore itu hasil pencarian Yus hanya 2 kilogram, pasalnya air surut hanya berlangsung dua jam. “Air lambat kering, makanya dapat segini,” kata Yus, sambil menunjukan kantong kresek yang dipenuhi kerang darah.

Yus mengatakan, kerang ini tidak dijual ke pasar, tetapi jika ada yang meminta dirinya akan menjual di rumah. Kalau tidak, menyantapnya bersama keluarga. “Bisa direbus masak balade ataupun direndang,” kata Yus dengan logat Melayunya.

Jika air cukup lama surut kata Yus, masyarakat bisa sampai jauh menongkah. Bahkan jarak tempuh bisa 2 jam perjalanan menuju lokasi menongkah. “Tantangannya hanya agas dan nyamuk saja,” kata Yus.

Menongkah bukanlah aktivitas yang gampang, apalagi memastikan ada atau tidaknya kerang di permukaan laut. Saat mengayuh dan menjaga keseimbangan tongkah, Yus harus melihat dengan seksama permukaan laut. Tanda adanya kerang itu hanya melihat dari busa yang keluar dari lumpur atau nampak samar-samar seperti mata kerang di dasar balik lumpur.

baca juga : Tak Ada Lagi Kerang di Pesisir Makassar

 

Dua orang warga Lingga mendongkah di Perairan Daik Lingga. Foto : Yogi Eka Sahputra/Mongabay Indonesia

 

Didaftarkan Jadi Kebudayaan Dunia

Menongkah sebenarnya terdapat di beberapa daerah lain di Indonesia. Seperti di Indragiri, Provinsi Riau, menongkah menjadi tradisi masyarakat Douanu dan Suku Laut Desa Kuala Patah Perang. Tidak hanya menjadi tradisi yang bernilai kearifan lokal tetapi juga sebagai sumber nilai strategi untuk keberlangsungan hidup keluarga suku laut.

Begitu juga di Meranti, mendongkah juga terdapat di daerah ini. Sejak tahun 2012 di kawasan ini mendongkah dijadikan destinasi pariwisata. Beberapa kali di gelar festival mendongkah. Tidak hanya mengumpulkan kerang, di kawasan ini mendongkah juga mengumpulkan seafood.

Di setiap daerah alat menongkah ini bentuknya berbeda-beda. Jika di Indragiri Riau hanya menggunakan sebilah papan. Di Lingga Kepulauan Riau masyarakat  berbentuk papan itu menjadi kotak persegi panjang. Yang kemudian dikayuh untuk mencari kerang

Dalam sebuah penelitian berjudul “Peran Menongkah Tradisi Mencari Kerang Sebagai Upaya Peningkatan Pendapat Ekonomi Keluarga”, menyebutkan menongkah di Indragiri tidak lagi hanya sebagai tradisi penopang ekonomi masyarakat. Tetapi pemerintah menjadikan aktivitas ini sebagai tradisi budaya.

Beberapa tahun lalu, kegiatan menongkah massal yang diikuti 500 orang memecahkan rekor MURI (Museum Rekor Indonesia). Bahkan, pemerintah daerah juga bercita-cita menjadikan tradisi menongkah tersebut masuk ke dalam salah satu kebudayaan dunia yang dinaungi UNESCO.

 

Seorang warga Lingga mendongkah di Pesisir Bunton, Daik Lingga, Desember 2022. Foto : Yogi Eka Sahputra/Mongabay Indonesia

 

Namun, dalam penelitian yang sama disebutkan rencana tersebut mendapatkan hambatan, akibat kondisi alam yang mulai rusak. Masyarakat merasakan semakin hari kerang semakin sulit ditemukan.

Hal ini umumnya disebabkan karena adanya alat tangkap aktif yang ada di sekitar sungai. Tanah yang terus mengalami abrasi menjadikan salah satu sebab mulai sulitnya ditemukan kerang di Riau.

Padahal menongkah, disebut alat tangkap ramah lingkungan. Selain mudah dalam beroperasinya, menongkah juga selektif dalam menangkap kerang. Selain membawa kearifan lokal, alat ini sangat ramah lingkungan.

 

Exit mobile version