Mongabay.co.id

Nasib Sang ‘Biduan’ Hutan Makin Suram

 

 

 

 

 

Ajang lomba burung kicau berhadiah satu mobil dan piala Gubernur Jambi,  baru saja usai. Salah satu kategori bergengsi dari perlombaan ini adalah lomba kicau burung murai batu (Copsychus malabaricus). Murai batu yang juga punya nama kucica hutan ini terkenal sebagai burung bersuara merdu.  Sang ‘biduan’ ini pun makin diminati para pencinta burung.

Irvan, Wakil Ketua NZR cabang Jambi, komunitas penyelenggara kontes burung kicau mengatakan, setidaknya selama 10 tahun terakhir murai batu yang ikut kontes merupakan burung dari penangkaran.

“Kami mewajibkan murai batu yang mengikuti kontes burung hasil penangkaran. Ini dibuktikan dengan ring identitas yang ada di kaki burung,” katanya.

Irvan juga bilang, sangat sulit menemukan murai batu di alam. Kalaupun ada harga sangat tinggi.

Kalau membeli burung dari penangkar harga relatif terjangkau.

Nizar, penangkar murai batu di Kota Jambi juga anggota Asosiasi Penangkar Burung Nusantara (APBN) menjual burung hasil tangkaran yang berumur sebulan harga Rp1,5 juta. Dia memulai usaha penangkaran sejak satu setengah tahun lalu.

Murai batu indukan dari kawasan Bukit Tigapuluh, Kabupaten Tebo, Jambi. Dia juga punya koleksi murai batu dari Nias dan Aceh. “Karena banyak hasil penangkaran harga murai batu di pasar sudah murah” katanya.

Pada Juni 2018,  Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengeluarkan aturan Peraturan Menteri No. 20/2018 mengenai jenis satwa dan tumbuhan dilindungi. Peraturan ini memasukkan murai batu ke dalam daftar satwa dilindungi. Hanya berselang selama beberapa bulan,  revisi aturan muncul melalui Peraturan Menteri No. 19/2018.

Dalam peraturan baru ini murai batu keluar dari daftar satwa dilindungi. Alasan pencabutan aturan ini hanya karena banyak penangkaran, pemeliharaan untuk kepentingan hobi dan sebagai bentuk dukungan perekonomian masyarakat.

Paul Jepson, peneliti dari Universitas Oxford Inggris dalam sebuah risetnya menyebutkan, lomba burung kicau mulai populer di Indonesia pada 1970an. Lomba burung kicau pertama kali diadakan sekelompok kaum elit penggemar burung di Jakarta dengan imbalan hadiah menggiurkan.

Sejak marak perlombaan burung kicau,  permintaan burung berbagai jenis termasuk murai batu makin meningkat. Kondisi ini,  menyebabkan pengambilan burung dari habitat menjadi masif hingga sulit menemui burung ini hidup alami di alam.

 

Salah satu ajajng lomba kicau burung di Jambui. Foto: Lili Rambe/ Mongabay Indonesia

 

Pada 2021,  BKSDA Jambi menambah populasi murai batu ke alam liar.  Sekitar 20 murai batu lepas ke alam ini hasil penangkaran dari 20 penangkar binaan BKSDA Jambi.

Rahmad Saleh, Kepala BKSDA Jambi kala itu mengklaim kalau penambahan murai batu di alam liar dari hasil penangkaran yang pertama di Indonesia.

Sebelum lepas murai batu ini melalui masa habituasi selama 14 hari, ini masa penyesuaian satwa dengan habitat barunya. Sekitar 20 murai batu ini diletakkan dalam kandang habituasi dalam TNKS.

Kini, BKSDA Jambi mencatat ada 24 penangkar murai batu telah mengajukan izin namun 14 penangkar belum mendapatkan izin penangkaran dari BKSDA Jambi.

Lukman, penangkar murai batu dari Tanjung Jabung Timur yang mendapatkan izin penangkaran sejak 2019 mengatakan, murai batu hasil penangkaran dijual lebih tinggi dibandingkan sebelum mendapatkan izin dari BKSDA Jambi.

“Sepengetahuan saya sekitar 300 penangkar burung di seluruh Jambi dan kebanyakan tidak memiliki izin penangkaran.” ujar Lukman.

Teguh, BKSDA Jambi yang bertugas membina para penangkar ini mengatakan, hutan-hutan di kawasan konservasi seperti Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) dan Taman Nasional Berbak – Sembilang menjadi incaran para pemburu burung kicau.  Karena hanya di kawasan itu yang masih memiliki murai batu dan jenis burung kicau lain.

 

Burung sitaan. Foto: Lili Rambe/ Mongabay Indonesia

 

Burung impor ilegal

Murai batu dan berbagai burung kicau lain yang beredar di pasaran tak hanya hasil penangkaran di dalam negeri, sebagian dari impor ilegal.

“Kurang dari 20% beredar di pasar merupakan burung kicau hasil penangkaran,” kata Marison Guciano, Direktur Yayasan Terbang Indonesia.

Saat ini, katanya, ada puluhan ribu murai batu ilegal masuk dari Malaysia.

Dalam satu kali pengangkutan mereka bisa mengirim 3.000 burung kicau dari Malaysia ke Indonesia. “Tujuan pertama burung-burung dari Malaysia ini adalah Batam dan Kepulauan Meranti yang merupakan wilayah Riau.” Burung-burung ini kemudian dikirim ke Jakarta, Bandung, Yogyakarta dan Solo.

Kota-kota di Sumatera juga jadi daerah pemasaran burung-burung impor ini. “Harga juga di bawah murai batu lokal, berkisar dari Rp500.000- Rp700.000 per ekor.”

Perdagangan burung kicau dari Malaysia ini mulai marak sejak 5 tahun terakhir.

“Ketika belum ada kerjasama antara Balai Karantina dan Dirjen KSDAE burung-burung ini bahkan bisa masuk langsung ke beberapa kota di wilayah Jawa melalui bandara,” kata Marison.

Kondisi ini,  sangat mudah dilakukan karena untuk mengangkut burung-burung ini hanya perlu surat izin dari Balai Karantina dan banyak petugas bermain.

Baru pada 2020,  ada kerjasama antara Balai Karantina dan Dirjen KSDAE yang mewajibkan satwa yang diangkut dengan pesawat udara harus memiliki SATS-DN (Surat Angkut Tumbuhan dan Satwa Liar Dalam Negeri).

Menurut Marison,  pengiriman burung melalui jalur darat dan laut tetap marak.

 

 

 

Yayasan Terbang Indonesia menaksir saat ini burung kicau, termasuk murai batu di pasar burung di Indonesia 70% dari Malaysia. Selama 2022,  mereka mencatat ada 64.714 satwa liar hidup disita dari praktik perdagangan ilegal. Sekitar 98,5 % dari satwa ini jenis burung dan hanya 2,3 % dari jenis burung yang disita bukan jenis burung kicau.

Lampung merupakan gerbang distribusi satwa ilegal dari Sumatera menuju Jawa melalui jalur darat dan laut. Saat ini,  pengawasan di pelabuhan tengah ditingkatkan namun para pelaku perdagangan satwa ilegal tak kehilangan. Mereka, katanya,  memindahkan jalur transportasi ke daerah lain.

“Pelabuhan Kasturi di Tembilahan, wilayah Riau yang berbatasan langsung dengan Jambi jadi jalur distribusi baru satwa ilegal ke Pulau Jawa.”

Burung-burung kicau berukuran kecil seperti pleci kacamata, colibri dan ciblek dari berbagai daerah di Sumatera juga dikirim melalui pelabuhan ini.

Yayasan Terbang Indonesia juga mengidentifikasi ada beberapa pelaku perdagangan burung kicau ilegal yang memiliki izin tangkar dari BKSDA. Baru-baru ini,  pihak otoritas pelabuhan di Lampung berhasil menggagalkan usaha pengiriman burung dari Sumatera menuju Jawa.  Dari penelusuran Yayasan Terbang Indonesia,  didapati pemilik burung-burung ini ternyata warga Jambi yang memiliki izin tangkar dari BKSDA.

“Komitmen dan pengawasan dari pemerintah sangat perlu agar populasi burung kicau tersisa di alam tidak mengalami kepunahan.”

 

Muri batu, yang makin sulit ditemukan di alam. Foto: Lili Rambe/ Mongabay Indonesia

 

Teguh Sriyanto, Kepala Sub Bagian Tata Usaha BKSDA Jambi mengatakan, murai batu ilegal dari luar negeri marak ini juga disampaikan para penangkar.

“Para penangkar binaan kami mengeluhkan banyak murai batu dari luar negeri yang menyebabkan harga hasil penangkaran jadi murah,” katanya.

Pengawasan terhadap burung dari luar negeri ini tetap mereka lakukan namun sejauh ini petugas BKSDA belum menemukan langsung di lapangan.

Dia sampaikan, BKSDA alami kesulitan memastikan murai batu di Jambi itu bukan burung asal dari Indonesia karena secara fisik terlihat sama. “Diperlukan uji DNA untuk memastikan asal murai batu itu,” kata Teguh.

BKSDA Jambi menemukan murai batu dari luar negeri saat proses restocking pada 2021. Murai batu yang jadi kandidat pelepasliaran melalui uji DNA guna memastikan asal burung.

Dari uji DNA ini, katanya, ada empat burung dari Vietnam dan Filipina hingga batal lepas ke alam.

Neni Fitriyani, dokter hewan Balai Karantina Pertanian Kelas I Jambi mengatakan,  untuk pengiriman murai batu harus dilengkapi surat keterangan kesehatan hewan dari Dinas Peternakan serta tiket pesawat penumpang yang membawa burung itu.

SATS-DN, katanya, kalau burung yang dikirim atau masuk ke Jambi lebih dari dua. “Karena murai batu masuk ke daftar Appendix CITES makanya harus dilengkapi SATS-DN.” katanya.

Namun sejauh ini, katanya, BKSDA belum pernah mengirimkan ataupun kedatangan burung dalam jumlah besar. “Pengiriman murai batu yang mengurus perizinan pada kami maksimal dua,  biasa hand carry (barang tentengan)” kata Neni.

 

Sejumlah peserta mengikuti lomba burung berkicau. Maraknya kegiatan lomba burung berkicau di berbagai tempat menyebabkan minat memelihara burung semakin besar. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

***

Dalam KTT Keanekaragaman Hayati (Conference of Parties CITES  19 (CoP 19 CITES)  November lalu di Panama disepakati, status murai batu dan cucakrawa dari Appendix II naik jadi Appendix I. Hal ini berarti dua jenis burung kicau ini sudah tidak boleh diperdagangkan lintas negara lagi. Perlu waktu selama satu tahun untuk peningkatan status yang diawali oleh usulan Malaysia dan Singapura ini.

TRAFFIC, lembaga nirlaba pemantau perdagangan satwa mencatat, periode 2008–2018, sebanyak 15.480 murai batu berhasil disita dari perdagangan burung kicau ilegal. Dari jumlah itu, 2/3 dari perdagangan burung ilegal internasional. Indonesia menduduki tempat teratas yaitu 7.373 burung, disusul Malaysia dan Thailand.

Maraknya perdagangan burung inilah yang menimbulkan desakan untuk menaikkan status CITES murai batu dan cucakrawa jadi Appendix I.

Achmad Ridha, peneliti Burung Indonesia mengatakan, populasi murai batu di alam sudah langka. Perburuan dan alih fungsi hutan merupakan penyebab utama langkanya burung hutan dataran rendah ini.

“Hutan tersisa di pulau Jawa ini sebagian besar di kawasan konservasi seperti taman nasional” kata Achmad.

Kalau populasi murai batu dan burung- burung kicau jenis lain punah di alam, katanya,  sudah barang tentu akan membawa dampak negatif bagi lingkungan.

“Burung-burung kicau ini, katanya,  umumnya pemangsa serangga. Kalau mereka punah di alam,  populasi serangga bisa tidak terkendali hingga berisiko jadi hama bagi pertanian.”

Selain sebagai pengendali populasi serangga, katanya,  burung juga berperan penting sebagai penyebar biji tumbuhan hingga dapat membantu meregenerasi hutan.

Hingga kini,  pemerintah—KLHK– belum memasukkan murai batu ke dalam daftar satwa dilindungi. Dia nilai, peningkatan status konservasi murai batu belum mendesak karena bukan jaminan burung ini tidak punah.

“Kalau penangkaran lebih digalakkan agar jumlah murai batu meningkat, hingga mampu memenuhi permintaan dan dapat melakukan penambahan populasi di alam hingga burung ini akan tetap lestari.”

 

Mjurai batu, banyak ditemukan di lomba-lomba kicau burung, tetapi begitu langka di alam. Foto: Lili Rambe/ Mongabay Indonesia

********

 

Exit mobile version