Mongabay.co.id

Cerita Dokter Bintari, Penuhi Pangan dari Kebun Organik Pekarangan Rumah

 

 

 

 

Bintari Wahyuningsih,  cekatan memasang penyangga tanaman cabai di samping rumahnya di Perumahan Agus Salim Residence, Kelurahan Taman Baru, Kecamatan Banyuwangi, Banyuwangi, Jawa Timur.

Di depan rumah, tanaman jahe berjejer rapi tepat di bagian bawah depan jendela. Di balik pagar rumah itu beragam tanaman buah dari klengkeng, alpukat, salam, sampai lemon tumbuh segar.

“Saya suka berkebun sejak 2012.  Berkebun organik mulai kenal komposting dan buat eco enzyme 2020-an,” kata  dokter Bintari, sapaan akrabnya.

Tidak hanya cabai, di sekitar rumahnya ada beragam tanaman seperti serai, jeruk purut, kare, bawang merah, laos, tomat, kencur, dan tanaman hias. Di bagian atas,  berjejer bekas wadah minyak goreng berisi saladri menempel kokoh di dinding.

Sehari-hari Bintari merupakan dokter di Rumah Sakit Islam Fatimah Banyuwangi. Selain itu, dia aktif bergiat dengan isu lingkungan hidup terutama soal sampah dan berkebun organik.

Bercocok tanam organik, dari media tanam sampai perawatan tanaman, Bintari tak gunakan bahan-bahan kimia. Media tanam dia pakai sisa komposting, dicampur arang sekam, tanah dan cocopit. Untuk pestisida dia pakai eco enzyme  dari rumah edukasi pilah sampah yang dia buat sendiri.

“Saya manfaatkan bahan alami untuk jadi penunjang kebun organik. Berkebun organik itu selaras alam. Harapan saya, bisa gunakan bahan organik di sekitar rumah kami.”

 

Pekarangan rumah Bintari, penuh dengan beragam macam tanaman pangan. Foto: Gafur Abdullah/ Mongabay Indonesia

 

Awalnya,  dia tanam tanaman hias.  Belakangan,  Bintari mulai coba tanaman pangan. “Medianya pun sebagian sudah pakai wadah bekas minyak goreng, wadah cat.”

Untuk tanaman pangan, dia mulai dari bumbu dapur, seperti laos, kunyit, kencur, jahe, jeruk parut, bawang merah, bawang daun dan lain-lain.

Hasil panen, katanya, bisa mencukupi keperluan dapur bahkan sesekali berbagi dengan tetangga, seperti daun pandan dan bumbu-bumbu dapur.

“Siapapun bisa berkebun di pekarangan rumah.   Tidak harus banyak. Intinya, bisa gunakan sisa lahan kalau ada. Atau area sekitar rumah, meskpiun dibeton. Bisa kan pakai pot atau polybag. Setidaknya, bisa memenuhi pangan untuk dapur sendiri,” katanya.

Berkebun skala rumah tangga, katanya, tak harus oleh orang yang mempunyai latar belakang petani. Selagi ada waktu, mau belajar, dan ada lahan atau tempat meskipun teras,  orang bisa berkebun.

Untuk menjaga kesehatan, katanya, tidak hanya bicara soal jaga lingkungan hidup bersih tetapi bicara makanan yang dikonsumsi. Aman atau tidak dari zat-zat beracun.

“Tenaga kesehatan bukan hanya bicara upaya mengobati pasien dari penyakit. Tidak . Perlu mengajak masyarakat hidup sehat. Ajakan itu bisa dengan memulai menerapkan hidup sehat baik perilaku hidup sehat, konsumsi makanan sehat, mencontohkan rumah sehat.”

Saat ini, kata Bintari, banyak orang datang ke dokter untuk berobat setelah sakit.  Sedang di rumah, tidak ada upaya menerapkan pola hidup sehat.

“Sederhana saja, jaga imun, istirahat cukup, makanan dikontrol, sebab makan bukan hanya bicara selera lidah juga bicara kondisi makanan dan tubuh. Yang jelas, nutrisi sehat dan gizi seimbang,” katanya.

 

Jahe di pekarangan rumah Dokter Bintari. Foto: Gafur Abdullah/ Mongabay Indonesia

 

Bintari berharap, makin banyak orang terapkan pola tanam organik.  Selain bahan pangan sehat, mudah dan tak banyak biaya perawatan dan ikut menjaga lingkungan.

Hayu Dyah Patria, peneliti, ahli teknologi pangan mengatakan, Dokter Bintari ini contoh kemandirian pangan dan gizi bisa tercipta dengan cara sangat sederhana, yaitu berkebun di pekarangan rumah.

“Ini contoh baik kepada masyarakat tentang bagaimana menjaga dan merawat tubuh melalui makanan yang baik. Makanan baik dihasilkan dari tanah yang baik. Tanah, air, makanan dan tubuh manusia adalah satu kesatuan,” katanya yang juga aktif di Yayasan Mantasa ini.

Aksi ini, katanya, juga membuktikan kemandirian pangan bisa mulai dari mana saja. Tidak perlu menunggu harus memiliki lahan luas dan uang banyak, katanya, cukup ada kemauan. “Sisanya, semesta akan membantu dalam perjalanan kita.”

Dia bilang, kemandirian pangan bisa oleh siapa saja, tidak harus ibu rumah tangga karena semua orang butuh makan. “Siapapun yang butuh makan,  mereka bisa berinisiatif untuk bertanam sayur, buah, rempah-rempah dan apapun yang mereka butuhkan secara kecil-kecilan, cukup untuk diri sendiri, keluarga dan komunitas sekitar.”

 

Dokter Bintari, dengan tanaman buahnya. Foto: Gafur Abdullah/ Mongabay Indonesia

 

Dyah  melihat, dalam sebuah sistem pangan, perempuan memiliki peran penting untuk menegakkan kedaulatan pangan. “Saya melihat kesamaan pola antara Dokter Bintari dengan mama-mama di Kampung Ende, Alor atau Papua,  tentang bagaimana mereka berbagi dengan orang-orang sekitar,” katanya.

Di Alor, misal, setiap pagi perempuan atau mama-mama pergi ke hutan, ladang, kebun atau mamar (hutan pangan) mereka untuk mengurus tanaman sambil mencari dan mengumpulkan tumbuhan-tumbuhan pangan liar.

Mereka, katanya,  tidak hanya mengumpulkan untuk keluarga, juga panen ekstra bahan pangan untuk berbagi dengan tetangga. Dalam perjalanan pulang, mereka akan mampir ke rumah-rumah tetangga dan menawarkan bahan pangan dari hutan itu.

Aktivitas berkebun, katanya,  menunjukkan aksi solidaritas yang seringkali dimiliki perempuan. Mereka tanpa sadar jadi pihak penting dalam mewujudkan kedaulatan pangan.

Keren banget. Diantara kesibukan sebagai dokter masih mau menanam,” kata Betty Tiominar, Koordinator Nasional FIAN Indonesia, Januari lalu.

Bintari sebagai dokter bisa jadi teladan bagi warga sekitar untuk menanam dan mengkonsumsi tanaman pangan dari kebun sendiri.

Menanam bahan pangan, katanya, meski belum bisa panen harian, bisa jadi langkah awal menuju kedaulatan pangan. “Saya membayangkan,  andaikan satu komplek melakukan hal sama dengan beliau, menanam beragam pangan organik. Saat panen mereka bisa barter. Secara ekonomi, menghemat banyak dan secara kesehatan jauh lebih sehat,” ujar Betty.

Selain itu, aksi Bintari memilah sampah dan komposting itu sangat membantu mengurangi sampah yang selalu jadi masalah  lingkungan dan kesehatan.

 

 

Pestisida alami dengan eco enzyme. Foto: Gafur Abdullah/ Mongabay Indonesia

**********

 

Exit mobile version