Mongabay.co.id

Harapan Kosong Perkebunan Sawit di Malang

 

Wahyudi (44), sedang membersihkan tanaman liar yang merambat pada pohon sawitnya, ketika kami jumpai di Desa Tumpakrejo, Kabupaten Malang, Jawa Timur. Meski merugi, dia masih mempertahan dua pohon sawitnya, dengan harapan suatu saat nanti pohonnya bisa mendatangkan keuntungan.

Niki sisane (ini sisanya),” ujarnya.

Wahyudi satu dari sekian petani yang masih menggantungkan harap pengepul itu datang lagi, dan membali buah sawit mereka. Meski, pohon sawit di Tumpakrejo sudah tidak banyak lagi.

Sebelumnya, Wahyudi juga hampir semua petani di desa itu, sempat menanam sawit awal 2000-an. Di tanah satu hektar, dia menanamnya dengan bentuk mengelilingi tanaman lain, seperti pagar. Ubeng kandang namanya.

“Katanya, dulu sawit baik gitu harganya perkilo. Katanya, akan ada pabrik dekat sini di daerah Blitar,” jelas Wahyudi, Rabu (9 November 2022).

Petani membeli bibit sawit seharga Rp1.500 per biji. Berdasarkan keterangan Wahyudi, harga jual yang dijanjikan waktu itu berkisar antara Rp900-Rp1.000 per kilogram. Sekali tanam bibit, petani diberi bayangan oleh pedagang bibit langganan Tumpakrejo, akan mendapatkan keuntungan berlipat ganda.

“Biasanya memang dropping,” ujarnya.

Penjual bibit seringkali menitip dagangannya ke rumah Rukun Tetangga (RT). “Katanya dulu dibeli langsung dari Kalimantan,” imbuh Wahyudi.

Selain membual soal harga tinggi, jaminan buah yang pasti diambil juga terus digaungkan. Sebuah pabrik di Blitar, Jawa Timur, digadang-gadang bakal jadi pembeli seluruh hasil panen sawit.

Narasi ini sejalan dengan wacana Bupati Kabupaten Malang yang mendukung pabrik pengolahan sawit guna mendukung produksi biofuel, bahan bakar ramah lingkungan versi pemerintah. Wahyudi lantas melihat peluang, meski tidak tahu keabsahan pabrik tersebut.

Pada tiga tahun pertama, hasil panen membawa keuntungan. Wahyudi sempat mendapat Rp200.000-Rp300.000 sekali panen, dengan harga jual Rp800 per kilogram. Namun kian tahun, angka itu turun. Tahun keempat, harga jual terjun bebas menjadi Rp500 per kilogram. Pun dengan harga jual semurah itu, buah yang sudah dibeli tidak langsung dibayarkan. Pengepul masih menunda hingga tiga bulan. Sejak itu, panennya tidak jelas.

**

 

Wahyudi tengah membersihkan rumput liar yang merambat di pohon sawitnya, di Desa Tumpakrejo, Kabupaten Malang, Jawa Timur, Kamis (10/11/2022). Lelaki ini hanya memiliki dua pohon sawit yang dipertahankan. Foto: Reka Kajaksana

 

Beda cerita dengan Marimin (70). Pembayarannya diangsur tiga bulan.

“Dikasih uang (pembelian) nunggu tiga bulan, tapi barang (hasil panen) sudah dibawa, kalau petani tiga bulan yo selak kaliren (ya keburu kelaparan),” tuturnya, Rabu (9 November 2022).

Marimin tak jauh berbeda dengan Wahyudi, petani biasa, modal tanah garapan, tergiur menanam sawit karena harga jual tinggi. Dia tidak cukup mengetahui keberadaan pabrik pengolahan sawit di Blitar. Modal percaya, membuatnya menanam sawit di ladang satu hektarnya. Dia belum pernah mendapat hasil. Terakhir, pengepul membawa hasil panen dan berjanji akan membayarnya tiga bulan kemudian, lalu menghilang.

Kini buahnya tidak terawat. Dia kebingungan bagaimana menjual sawit di Malang dan sempat berupaya meletakkannya di pinggir jalan. Untuk mengangkut, dia menyewa motor sebab jarak antara rumah dan jalan besar sekitar tiga kilometer. Dia harus merogoh kocek Rp20.500. Sekali angkut, satu motor bisa menampung 50 kilogram sawit.

Jika terjual habis, Marimin hanya mendapat keuntungan Rp35.000, dikurangi sewa motor praktis ia hanya mengantongi Rp14.500.

“Makan apa petani?” ucapnya.

Marimin orang lugu, tidak mengerti jika penjualan buah sawit hanya dibeli industri pengolahan. Bukan seperti buah kelapa yang bisa dikonsumsi dan dibeli perorangan.

Yo gak payu (ya tidak laku),” terangnya. Buah itu, tergeletak di pinggir jalan utama menuju desa.

**

Sumarsih (54), mengaku mendapat bibit dan pupuk gratis. Dengan harapan untung besar karena harga jual tinggi, Asih biasa dipanggil, menanam sawit di ladang miliknya. Awal berbuah, dia sempat sekali menjual dengan keuntungan Rp200.000.

Setelahnya, pengepul tak lagi datang dan buah terbengkalai. Asih menebangnya. “Karena tidak menghasilkan dan mengganggu tanaman lain,” ujarnya, Kamis (10 November 2022).

Tanaman monokultur ini rakus air, membuat tanah tidak produksi. Wahyudi, Marimin, dan Asih mengeluhkan hal serupa.

Wahyudi bahkan membutuhkan waktu enam bulan untuk benar-benar bisa “membunuh” pohon sawit. Dia mencoba beberapa cara, mulai menggunakan obat pembunuh rumput liar, sampai membakarnya menggunakan ban, tapi tidak mempan.

“Daunnya yang lebar saya potong sampai habis. Pucuknya saya pangkas lalu ditaburi obat rumput, baru mati,” terang Wahyudi.

Kini Wahyudi dan mayoritas petani di Tumpakrejo menanam tebu. Penghasilannya lebih teratur dibandingkan sawit. Hasil panennya pun dibeli pabrik gula yang memang sudah sejak zaman Belanda ada di Kabupaten Malang.

“Cukup buat hidup,” ungkapnya saat disinggung soal penghasilan.

Pengalaman Wahyudi, Marimin, dan Asih mencerminkan minimnya perhatian pemerintah kabupaten terhadap nasib petani. Absennya sosialisasi dan analisis yang matang dalam rencana ekspansi sawit di Kabupaten Malang, akhirnya mengorbankan warga, khususnya petani.

Transparansi program kerja juga jadi pertanyaan. Pemerintah Kabupaten Malang melalui Bupati Sanusi, kerap menyatakan dukungan pada ekspansi tanam sawit. Hingga akhir 2021, Sanusi sering mengucapkan jargon Sawit Baik atau Sawit Tidak Merusak Lingkungan di sejumlah media. Berdasarkan laporan beritajatim.com 21 Maret 2021, Sanusi mengatakan hendak membangun pabrik sawit di Malang Selatan.

Rencana pendirian pabrik dikatakan sudah dibicarakan dengan Pemerintah Provinsi Jawa Timur, hingga Menteri Koordinator Perekonomian. Pabrik dipercaya akan meningkatkan ekonomi petani Kabupaten Malang.

Sanusi mengatakan, beberapa investor sangat tertarik untuk menanamkan modal untuk alokasi lahan seluas 60.000 ha.

Saat dikonfirmasi terkait pernyataan tersebut beserta program kerjanya, hingga artikel ini tayang, Sanusi enggan memberi komentar baik melalui pesan singkat maupun janji temu. Pesan serupa juga ditujukan pada Kepala Dinas Pertanian dan Perkebunan Kabupaten Malang, Budiar Anwar. Akan tetapi, respon serupa kami dapati.

Kami juga menghubungi Tomie Herawanto, Sekretaris Daerah Kabupaten Malang. Dia justru memberi respon diluar dugaan. Menurut kesaksiannya, tidak ada program kerja khusus yang menyasar pada sektor perkebunan sawit.

Ngapunten (maaf) belum ada (program), hanya potensi dalam analisa dan kajian Dinas Pertanian,” terang Tomie, Selasa (15 November 2022).

Ditemui terpisah, Andre Barahamin, Senior Forest Campaigner Kaoem Telapak, menjelaskan kasus sawit di Kabupaten Malang tidak menggunakan analisa mendalam. Perkebunan sawit biasanya dimulai dari inisiatif pihak swasta dan pemerintah.

“Jika ada petani yang kemudian mengalihkan jenis tanamannya dari tanaman keras atau holtikultura ke sawit, itu karena daerah sekitarnya sudah menjadi perkebunan sawit. Artinya, infrastruktur pendukung sudah ada lebih dulu,” terangnya, Sabtu (12 November 2022).

Menurut Andre, sosialisasi penting agar tidak ada disinformasi. Dalam kasus Kabupaten Malang, sosialisasi pun tidak dilakukan.

“Di Malang ini petani bisa dibilang dibohongi, diiming-iming karena ada tren sawit di Sumatera dan Kalimantan, tanpa dilengkapi penjelasan lebih komplit. Sosialisasi yang lebih holistic,” tuturnya.

 

Sisa buah sawit warga Desa Tumpakrejo, Kabupaten Malang, sengaja ditinggal sebab harganya jatuh dan tidak ada pengepul mengambil, Rabu (9/11/2022). Foto: Reka Kajaksana

 

Modus baru rasa lama

Pola ekspansi tanaman sawit di Kabupaten Malang termasuk paling baru. Dengan dalih koperasi, memberi bibit dan pupuk gratis, juga jaminan harga jual tinggi membius siapapun untuk menjajal peruntungan. Apalagi jika sudah berkaitan dengan sumber penghasilan.

Kaoem Telapak menjelaskan, mendekati petani adalah upaya untuk menghindari perizinan. “Memang ada tren begitu dari perusahaan kecil yang tidak punya cukup modal, kemudian mengambil jalan melingkar dengan cara mendorong menyediakan bibit gratis kepada petani,” terang Andre.

“Petani yang menanam di lahan sendiri menjadi justifikasi awal bagi mereka untuk mendirikan pabrik,” imbuhnya.

Ada banyak celah dalam skema ini. berdasarkan pengamatan Kaoem Telapak, meski mencium afiliasi pemerintah daerah dengan industri untuk mendekati petani, skema koperasi bisa mempermudah pemerintah daerah untuk lepas tangan.

“Permainan industri sawit yang ingin mengakali peraturan, namun di satu sisi pemerintah  tidak mau ikut campur karena merasa itu bukan tanggung jawabnya, memang tidak ada relasi formal atau afirmasi alternatif, sebagai bukti untuk meminta pertanggungjawaban daerah,” jelasnya.

Rino Afrino, Wasekjen Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) dalam diskusi yang diadakan Forum Jurnalis Sawit, di Jakarta, menjelaskan tidak meratanya harga jual yang diterima petani perlu menjadi perhatian serius pemerintah sebagai pembuat regulasi. Sebab, penetapan harga seringkali dirasa tak adil oleh petani swadaya.

“Anjloknya harga jual tandan buah segar (TBS) perlu menjadi perhatian pemerintah. Petani swadaya menerima perlakuan tidak adil meskipun ada penetapan harga TBS sawit oleh pemerintah,” katanya.

Masih menurutnya, harga TBS di tingkat petani cenderung rendah. Khususnya yang diterima petani sawit swadaya. Di daerah sentra sawit, harga TBS sawit di level petani swadaya berkisar Rp800-Rp900 per kilogram.

 

Warga Desa Tumpakrejo, Kabupaten Malang, Jawa Timur ini menjelaskan pengalamannya menanam sawit yang berbuah kesulitan. Foto: Reka Kajaksana

 

Ekspansi sawit di Pulau Jawa

Kami berusaha menelusuri distribusi bibit sawit di Kabupaten Malang. Sejumlah informasi beredar, bibit dijual melalui seseorang bernama Rusman, pedagang yang sudah lama jadi langganan warga.

Wahyudi dan Marimin pun mengakui jika afiliasi para petani dengan laki-laki yang tinggal di kaki Gunung Perkul itu sudah lama terjalin. Namun, para petani hanya mengetahui bibit tersebut dibeli langsung dari Kalimantan.

Kami juga coba menapaki pernyataan Bupati Sanusi soal pabrik biofuel di Blitar, Jawa Timur,  yang sering jadi andalannya untuk mempromosikan sawit di media-media. Narasi itu cocok dengan temuan kami, ada sebuah pabrik pengolahan sawit, sinkron dengan temuan Walhi Jatim.

PT. Sawit Arum Madani (PT. SAM) adalah perusahaan pengolahan sawit yang membawa sistem koperasi itu ke Jawa Timur. Berdasarkan data AHU, perusahaan ini baru didirikan 9 April 2020. Saham terbesar dimiliki Marimin Siswoyo sebanyak Rp13.878.000.000. Dalam laman Facebook-nya, PT. SAM menjual pelbagai komoditas olahan sawit seperti CPO, miko, nut, solid, janjang kosong, hingga abu jangkos.

Kami berusaha menghubungi Direktur Operasional Sigit Prasetyo melalui email dan nomor telepon yang tertera pada akun tersebut. Namun, hingga 15 November 2022 surat elektronik itu tidak berbalas.

Ekspansi sawit, nyatanya tidak hanya menyasar Kabupaten Malang, juga beberapa daerah di Jawa Timur bagian selatan, seperti Blitar, Pacitan, Lumajang, dan Jember.

Wahyu Eka, Direktur Walhi Jatim menerangkan, total lahan yang sudah dimasuki sawit sekitar 2.000 ha.

“Skema perkebunan sawit rakyat. Lokasi terpencar, karena menyasar kebun warga,” tuturnya, Senin (31 Oktober 2022).

Wacana penyediaan lahan sawit 60.000 ha Kabupaten Malang juga tidak jelas ujung pangkalnya. Sebab, lahan yang digadang-gadang itu milik perhutani. Sedikitnya, 42.365  hektar adalah hutan lindung, 43.015 hektar adalah kawasan hutan produksi. Jika pengalokasian 60.000 hektar sebagai lahan budidaya sawit, maka memakan seluruh hutan produksi dan kawasan hutan lindung.

Wahyu menjelaskan, jika proyek sawit diteruskan maka konflik akan muncul.

“Kalau dipaksakan akan memicu deforestasi dan konflik sosial. Padahal, tawaran untuk melestarikan kawasan sekaligus menguatkan ekonomi masyarakat ada cara lain, yaitu agroforestry dan wisata,” terangnya.

Ditemui waktu berbeda, Juru Kampanye Auriga Nusantara Hilman Afif, menjelaskan jika ekspansi sawit di Pulau Jawa, khususnya Jawa Timur tidak memiliki urgensitas.

“Berdasarkan laporan Kementerian Pertanian, ada 15 juta hektar kebun sawit di Indonesia. Kita tidak memiliki kekurangan produksi, ekspansi sawit ke Pulau Jawa sebenarnya tidak perlu,” tuturnya, Kamis (24 November 2022).

Menurut Hilman, pemerintah hanya perlu melakukan optimalisasi pemberdayaan petani sawit yang sudah ada. Pembagian hasil yang masih jadi persoalan hingga hari ini harus diselesaikan, bukan ekspansi.

Tak hanya itu, menurutnya upaya pemerintah daerah di Kabupaten Malang, dikhawatirkan hanya akan mengulang kegagalan serupa terhadap perkebunan sawit di Jawa Barat.

“Pulau Jawa tidak butuh sawit, karena produksi sawit di Indonesia sudah mencukupi kebutuhan,” ujarnya.

 

Liputan ini merupakan program Journalist Fellowship yang diselenggarakan Mongabay Indonesia dan Kaoem Telapak.

 

Exit mobile version