Mongabay.co.id

Karang Porites, Bank Data Perubahan Iklim Dunia

Pengukuran karang porites di Pulau Gelasa. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

 

Karang porites [baca: poraitis] banyak ditemukan di laut tropis termasuk Indonesia. Kadang disebut karang punuk atau karang jari karena pada umumnya menyerupai punuk atau kubah dan jari yang bercabang, seperti tanduk rusa namun kecil.

Kelestarian porites sangat penting bagi umat manusia, terutama terkait krisis iklim. Sebab, karang ini menyimpan catatan perubahan iklim ratusan hingga ribuan tahun lalu, dengan perbedaan waktu identifikasi sampai bulan. Dengan begitu, umat manusia bisa memprediksi perubahan iklim di masa datang sekaligus memitigasi pemanasan global.

“Semakin besar ukuran karang tersebut, semakin banyak informasi yang dipelajari dari skeleton-skeletonnya [kerangka kapur] sehingga informasi perubahan iklim dapat diketahui. Ukurannya yang besar bermanfaat sebagai barrier [pelindung] bagi pantai dari ancaman abrasi,” kata Muhammad Rizza Mufitiadi, dosen sekaligus peneliti dari Prodi Manajemen Sumber Daya Perairan Fakultas Pertanian Perikanan dan Biologi Universitas Bangka Belitung, kepada Mongabay Indonesia, beberapa waktu lewat.

Sebagai negara kepulauan, Indonesia memiliki 18 persen luas terumbu karang dunia. Namun, dalam laporan UNEP itu disebutkan juga Indonesia menjadi pengekspor karang hidup terbesar di dunia, sekitar 70 persen. Selain peluang ekonomi, ini sekaligus menjadi ancaman kelestarian terumbu karang di Indonesia, jika tidak dilakukan secara bijak.

Karang porites banyak ditemukan di Indonesia, tersebar di Raja Ampat, Pulau Komodo, Wakatobi, Bunaken, Pulisan, Derawan, juga Ujung Kulon. Selain itu juga terdapat di Togean, Banggai, Bali, Bunaken, Tombariri, Luwuk, hingga Pulau Weh. Di Pulau Gelasa, 31 kilometer dari Pulau Bangka, porites juga ditemukan di sana.

Baca: Karang Porites Ditemukan di Perairan Bangka Belitung. Apa Fungsinya?

 

Pengukuran karang porites di Pulau Gelasa, Pulau Bangka. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Catatan iklim

Di bawah sinar X, para ahli bisa membaca catatan perubahan lingkungan dari gelap terang potongan karang porites. Bisa dianalisa dampak lingkungan terhadap pertumbuhan karang, baik regional maupun global. Data fisik dan kimiawi lingkungan laut terkubur dan tercetak dalam guratan porites. Guratan itu seperti halnya lingkaran pohon yang biasa dipakai untuk memperkirakan umurnya.

Sri Yudawati Cahyarini, peneliti BRIN dalam sebuah tulisan menjelaskan, Indonesia memiliki data iklim masa lalu yang tersedia dalam berbagai bentuk. Di antaranya tersimpan di karang, sedimen laut, sedimen danau, speleoterm, lingkaran pohon, juga inti es Puncak Jaya, Papua.

Studi iklim masa lampau atau paleoclimate dengan memakai berbagai medium memiliki keunggulan masing-masing. Sehingga, akan lebih baik jika menggabungkan data yang didapat untuk bisa melengkapi satu sama lain.

Misalnya, data iklim sedimen laut diketahui mampu menyediakan informasi iklim sampai jutaan tahun, namun dengan resolusi data puluhan sampai ratusan tahun. Sementara data iklim karang mampu menyediakan data ratusan hingga ribuan tahun, namun dengan resolusi hingga bulan.

“Dalam arsip iklim, terkandung unsur-unsur kimia yang dapat digunakan untuk merekonstruksi suhu permukaan laut, salinitas, curah hujan, dan lain-lain yang dikenal dengan istilah data proxy geokimia,” tulisnya.

Misalnya, kandungan srontium [Sr] dan calcium [Ca] karang porites bisa merekam data suhu permukaan laut. Sementara kandungan oxygen isotope dalam karang mampu memberikan informasi kadar salinitas.

“Pertumbuhan karang satu sentimeter per tahun. [Kalau] kita punya karang [panjangnya] tiga meter berarti kita bisa mengekstraksi data 300 tahun ke belakang dari sekarang,” katanya, dikutip dari Tempo.

 

Karang dari Genus Porites ini berada di sekitar perairan Pulau Gelasa. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Peneliti Indonesia bersama peneliti dari Australia, Amerika, Taiwan, dan China dengan menggunakan karang porites berhasil mengungkap fenomena IOD [Indian Ocean Dipole] positif yang jarang terjadi pada masa lalu. IOD positif berarti suhu permukaan laut dan curah hujan meningkat di wilayah barat Samudera Hindia.

Akibatnya, terjadi kekeringan di wilayah Asia Tenggara dan Australia karena rendahnya curah hujan di sebelah Timur Samudera Hindia. Diperkirakan, IOD positif masa kini lebih sering terjadi dan diprediksi makin memburuk andai manusia tak mengupayakan pengurangan emisi gas rumah kaca.

BRIN memanfaatkan karang porites mati yang diambil dari perairan terumbu karang di Selat Sunda, Teluk Lampung, yang mewakili kondisi iklim masa lampau. Dari karang mati ini peneliti bisa mengungkap data iklim hangat abad pertengahan yaitu periode tahun 1100 sampai 1140. Sementara karang hidup porites yang diambil dari kepulauan Enggano mewakili data iklim sepanjang tahun 1968 hingga 2008.

 

Karang porites di Pulau Gelasa yang menyimpan informasi perubahan iklim. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Jadi semakin banyak alasan mengapa kita harus melestarikan terumbu karang. Karang dengan berbagai bentuk dan warna ini menjadi habitat biota laut yang menjadi gantungan hidup nelayan. Karang yang kuat dan sehat bisa menjadi pelindung dari terjangan ombak yang mengikis daratan.

Karang juga diketahui menyimpan karbon yang mengurangi dampak pemanasan global. Selain itu, keindahannya bisa kita nikmati dengan cara diving ataupun snorkling.

 

Exit mobile version