Mongabay.co.id

Peremajaan Kebun Sawit Belum Selesaikan Berbagai Persoalan Petani Mandiri di Landak

 

Mobil bak terbuka menelusuri jalan tanah di antara tanaman sawit muda. Jalan hanya bisa satu mobil. Kendaraan roda empat itu berhenti tepat di sebelah tumpukan tandan buah segar (TBS) sawit.

Yunus, petani mandiri dari Desa Amboyo Utara, Kecamatan Ngabang, Landak, Kalimantan Barat, bersama seorang rekan turun dari mobil membawa dodos. Dengan alat panen ini, satu persatu TBS mereka masukkan ke bak mobil.

“Kemarin panen, hari ini buahnya diangkut,” katanya,  tahun lalu.

Buah sawit terbilang masih kecil. Berat sekitar 3-4 kilogram. Ini buah dari tanaman baru berusia tiga tahun. Lahan sawit milik Yunus ini merupakan hasil dari program peremajaan sawit rakyat (PSR).

Yunus cerita, pada 2019 mendengar ada program peremajaan sawit rakyat (PSR) dari pemerintah untuk kebun sawit tua dan tak lagi produktif. Karena merasa perlu, dia pun memberanikan diri mengikuti program itu.

Dia termasuk di antara petani sawit di Kabupaten Landak yang ikut PSR pertama kali.

“Lahan saya yang ikut PSR itu 1,9 hektar,” katanya.

Setelah menunggu sekitar tiga tahun, tanaman mulai berbuah. Pertama kali panen sekitar April 2022. Beberapa bulan tidak panen karena buah masih kecil hingga sulit terserap pabrik. “Kalau sekarang buah sudah lebih besar.”

Petani mandiri lain, Oren juga mulai memetik hasil dari program PSR tiga tahun lalu. Lahan satu kaveling atau sekitar 1,9 hektar hasilkan 1,5 ton sekali panen.

Di antara tanaman  sawit berukuran lebih satu meter itu, ada beberapa tanaman pisang. Tanaman buah ini merupakan tumpang sari yang menyokong pendapatan warga sambil menunggu sawit berbuah.  “Sekarang pisang tinggal sedikit karena sawit makin tinggi,” kata warga Desa Amboyo Utara ini.

Ismail Lapan, Ketua Koperasi Produsen Titian Sejahtera Mandiri, mengatakan,  lebih setengah dari sekitar 100 anggota koperasi mengikuti peremajaan sawit. Sebagian lahan yang ikut peremajaan tahap pertama sudah mulai memanen hasil.

“Satu petani rata-rata (lahan yang diremajakan) satu kaveling atau sekitar 1,8-2 hektar,” kata petani sawit mandiri ini.

Ismail bilang, para petani sawit mandiri sebagian besar eks plasma Perusahaan BUMN PTPN XIII. Perjuangan para petani mandiri yang mengikuti program ini tidaklah mudah. Mereka tidak memiliki contoh dan gambaran riil peremajaan kebun.

 

Petani mandiri yang ikut program PSR mulai panen sawit. Mereka juga tanam sawit di sela pisang. Foto: Siti Salbiyah/ Pontianak Post

 

Petani, katanya,  harus merelakan tanaman sawit diganti dengan tanaman baru meski berisiko kehilangan pendapatan sekitar tiga tahun. Sambil menunggu tanaman tumbuh dan berbuah, petani pun memanfaatkan lahan yang masih terbuka untuk menanam aneka sayuran dan buah dengan sistem tumpang sari.

“Ada yang menanam timun, kacang, ubi, pisang, dan sayur-sayuran. Ada juga yang menanam tebu dan jagung. Hasilnya nanti bisa dijual kembali untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari,” katanya.

Petani juga bekerja di lahan sawit yang masih produktif milik petani lain. Mereka kerja serabutan guna memenuhi kebutuhan sehari-hari, selain untuk perawatan sawit yang diremajakan.

Untuk program PSR, awalnya petani dapat insentif Rp25 juta per hektar. Terbaru, pemerintah melalui Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) menaikkan jumlah insentif jadi Rp30 juta per hektar. Nominal ini, kata Ismail,  hanya cukup sampai tahap penanaman, tak cukup buat biaya perawatan seperti pupuk.

Kondisi ini menyulitkan petani. Terlebih saat ini, harga pupuk naik hingga dua sampai tiga kali lipat. “Belum lagi masalah jalan dan gorong-gorong jembatan yang rusak membuat kami kesulitan membawa buah,” katanya.

Landak,  merupakan kabupaten pertama di Kalimantan Barat yang menjalankan PSR sejak awal program ini bergulir.

Yulianus Edo Natalaga, Kepala Dinas Perkebunan Landak, mengatakan, sebagian besar lahan PSR mulai berbuah.

Mereka yang ikut PSR, katanya,  adalah petani yang sudah dapat rekomendasi teknis (rekomtek) pada 2018 dengan tahun tanam 2019. Setidaknya, ada empat koperasi dengan kebun sawit sudah panen.

“Karena masih tanaman baru, produksi sekitar 500-750 kg per hektar. Produksi TBS ini memang tergantung perawatan.”

Edo menceritakan, proses pengajuan PSR mulai 2017. Akhir 2018, rekomtek  keluar 2.500 hektar. Meski sudah keluar rekomtek, namun dalam pelaksanaan tak langsung bisa cepat eksekusi.

“Tantangan dalam pengerjaan saat itu cukup besar. Karena petunjuk teknis bisa dibilang masih meraba-raba saat itu,” katanya.

Data Dinas Perkebunan dan Peternakan (Disbunnak) Kalbar, menunjukkan, terdapat 72,806 hektar kebun sawit tua ataupun rusak. Muhammad Munsif, Kepala Disbunnak Kalbar,  mengatakan,  terus meningkatkan capaian PSR guna mendorong industri sawit berkelanjutan.

Menurut dia, berbagai kemudahan diberikan pemerintah guna mempercepat realisasi PSR. Salah satunya,  dengan menerbitkan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 03/2022 tentang Pengembangan Sumber Daya Manusia, Penelitian dan Pengembangan, Peremajaan, serta Sarana dan Prasarana Perkebunan Sawit.

“Peraturan itu memberikan ruang kolaborasi perusahaan melalui jalur kemitraan.”

Melalui kemitraan dengan perusahaan ini, dia optimis capaian PSR lebih progresif. Dia juga berharap,  berbagai kendala dapat teratasi dengan aturan baru ini.

Data Disbunnak Kalbar, rekomtek keluar dari Dirjenbun dari 2018-Agustus 2022 sebanyak 16.674 hektar. Rinciannya, pada 2018-2021 secara berurutan adalah 2.867 hektar, 5.251 hektar, 6.247 hektar, dan 2.085 hektar. Untuk 2022, per Agustus rekomtek keluar 4.400 hektar.

 

Saeit petani mandiri di Landak. Foto: Siti Salbiyah/ Pontianak Post

 

Berbagai tantangan

Tantangan di lapangan juga tak sedikit. Pada tahapan merobohkan tanaman (tumbang chipping), misal, mendatangkan alat berat tidaklah mudah karena jumlah terbatas. Lahan yang ingin dibersihkan pun tersebar di banyak titik.

Kelangkaan bibit juga jadi kendala hingga kini. Persoalan bibit ini klasik karena dalam kondisi normal pun petani harus menunggu cukup lama. Apalagi,  dengan ada PSR, bibit makin sulit.

“Ketika dana (untuk PSR) masuk, kemudian ke tahap tumbang chipping dan begitu selesai benihnya belum siap. Akhirnya ada waktu tunggu tanam. Bahkan ada yang sampai menunggu satu tahun,” sebut Edo.

Menurut Edo, lahan yang menganggur ini oleh sebagian petani untuk menanam berbagai jenis tanaman. Pada 2019, mereka memiliki program pembagian benih jagung bagi petani yang mengikuti program PSR.

Tak hanya jagung, petani secara mandiri berinisiatif menanam aneka sayuran dengan hasil untuk menopang perekonomian mereka yang hilang karena penebangan sawit.

Muhammad Pramulya,  Dosen Pertanian Universitas Tanjungpura, mengatakan,  proses penanaman dan pemeliharaan tanaman sawit baru akan memengaruhi kualitas hasil TBS. Berat TBS ideal untuk usia tiga tahun adalah berkisar 3-5 kg.

“Paling bagus itu berat buahnya lima kilogram,” katanya.

Ada beberapa faktor yang berpengaruh berat dan produktivitas buah sawit, antara lain dari benih, pupuk, hingga kondisi alam.

Pupuk, katanya, punya peran besar dalam memengaruhi kualitas tanaman. Dia bilang, 70% biaya pemeliharaan sawit terletak pada pupuk. Sayangnya, saat ini harga pupuk mengalami kenaikan juga banyak  pula beredar pupuk murah dengan mutu tak terjamin.

“Pupuk benar-benar harus menjadi perhatian. Karena korelasi antara pupuk dan hasil tanaman itu sangat erat.”

Begitu pula dengan faktor alam yang juga memberikan pengaruh pada hasil tanaman. Menurut Pramulya, respon pupuk dan pengaruh musim akan terlihat dalam dua tahun kemudian. Faktor ini memang tidak bisa dikendalikan, namun bisa diminimalisir bila penanganan tepat.

Petani, katanya,  perlu membuat manajemen air yang baik, agar tanaman tak kekurangan atau kelebihan air.

 

Mobil pick up untuk angkut TBS sawit petani mandiri di Landak. Foto: Siti Salbiyah/ Pontianak Post

 

Tak terserap pabrik?

Ketika kebun sawit PSR mulai panen, muncul persoalan baru, hasil panen tak terserap pabrik sawit offtaker secara langsung.

Rahian, petani sawit yang ikut program PSR menjual TBS ke pengepul  (loading ramp). Dia tak punya pilihan lain karena tidak ada perusahaan kebun sawit (PKS) terdekat yang membeli buah.

Meskipun, harga yang harus diterima lebih rendah bila jual ke PKS.

Dia bilang, kebun sawit warga Desa Amboyo Inti ini cukup jauh masuk ke dalam dengan medan bertanah. Untuk panen, katanya, perlu biaya angkutan yang tidak murah. Belum lagi harga pupuk yang mahal.

“Harga pupuk sekitar Rp300 ribu. Kalau dulu hanya Rp150 ribu.”

Ismail mengatakan, harga jual di loading ramp atau pengepul rata-rata Rp1.600-1.700 per kg. Harga sempat anjlok di bawah Rp1.000 per kg saat larangan ekspor CPO beberapa waktu lalu.

Menurut Ismail,  koperasi sebenarnya telah bekerja sama dengan PTPN XIII. Dalam perjalanan, perusahaan milik negara ini tidak mampu menyerap TBS petani mandiri.

Saat ini,  koperasi menjajaki kemitraan dengan salah satu PKS bersertifikasi ISPO di Ngabang. Mereka mendapat pendampingan untuk melengkapi berbagai persyaratan agar koperasi ini segera mendapat sertifikasi ISPO.

“Sekarang dokumen hampir selesai. Tahun ini, mudah-mudahan bisa diajukan,” kata Ismail.

Indra Rastandi, Ketua Asosiasi Petani Sawit Indonesia (Apkasindo) Kalbar, mengatakan,  kelompok tani atau koperasi yang sudah menanam di kebun PSR kini menghadapi kendala TBS tak terserap langsung ke PKS.

“Karena begitu dikirim TBS lalu dikembalikan dan akhirnya dijual ke pengepul.”

Kelompok tani yang mengajukan program PSR ini sebenarnya sudah melengkapi dokumen persyaratan, salah satu harus ada offtaker atau PKS penerima TBS.

Mereka berharap, ada  solusi pemerintah atas permasalahan ini, terlebih program PSR di Kalbar masih terus berjalan.

“Belum lagi yang tahun tanam menyusul mau dikemanakan itu TBS yang nanti dipanen oleh petani?”

Edo bilang, saat ini belum ada kerja sama resmi antara kelompok tani atau koperasi yang ikut program PSR dengan PKS.

“Belum ada kerja sama resmi. Syarat yang mengharuskan ada PKS offtaker itu sebenarnya syarat yang terbit tahun 2020, sebelumnya memang tidak ada,” katanya.

Menurut Edo, petani mandiri yang dulu eks petani plasma PTPN XIII itu sebenarnya berharap BUMN milik negara itu menyerap TBS mereka. Masalahnya, perusahaan tengah mengalami kesulitan. “PTPN XIII saat ini hanya menyerap tanaman inti.”

Dengan kondisi itu, katanya, para petani pun menjual TBS ke pengepul karena satu-satunya yang bisa menyerap sawit mereka. Ke depan, katanya, perlu didorong agar pengepul jadi bagian usaha koperasi.

“Bagaimanapun untuk memenuhi satu dump truck itu perlu 7-8 ton, produksi petani paling tinggi dua ton. Hingga koperasi yang jadi pengepul seperti ini diperlukan.”

 

Petani mandiri di Landak, yang sudah ikut program peremajaan kebun sawit. Foto: Siti Sulbiyah/ Pontianak Post

 

Saat ini, kata Edo,  ada delapan PKS beroperasi di Landak dan dua dalam proses pembangunan. Dinas sedang pendataan produksi sawit di Landak guna mengetahui seberapa banyak pasokan sawit dan kemampuan PKS dalam mengelola TBS. Terlebih, program PSR diyakini ke depan akan membuat produksi sawit di kabupaten itu terus bertambah.

“Kita sedang menata data dan meminta mereka (PKS) merapikan data pasokan bahan baku.”

Achmad Surambo, Direktur Eksekutif Sawit Watch,  menilai,  PSR semestinya melalui perencanaan simultan. Tidak hanya pada proses peremajaan tanaman, melainkan hingga pemasaran. Jangan sampai, katanya,  ketika petani panen, TBS mereka tak terserap lantaran kapasitas pabrik yang tak memadai.

“Yang jadi soal kalau pabrik kurang, bisa membuat daya tawar milik petani itu rendah hingga harga juga tidak baik,” katanya.

Dia menilai,  pemerintah daerah semestinya sudah menghitung data dan proyeksi produksi TBS petani dan kemampuan PKS sekitar dalam mengolah buah. Data ini,  bisa jadi acuan membuat kebijakan atau rencana pengembangan perkebunan sawit.

Soal dana peremajaan yang dinilai kurang, dia berpendapat perlu ada intervensi pemerintah dalam menghadirkan skema kredit paling cocok bagi petani lewat bank atau lembaga keuangan lain. Menurut dia, skema kredit saat ini tidak mengakomodir kebutuhan para petani.

Dia juga menyarankan, petani untuk peremajaan bertahap alias tak semua lahan tua tebang sekaligus. Ada baiknya mempertahankan sebagian tanaman sampai sebagian lain yang diremajakan berbuah hingga petani tak kehilangan semua pendapatan.

“Mekanisme-mekanisme seperti ini juga harus diperhatikan pemerintah, agar program ini dapat berjalan baik.”

Untuk harga pupuk yang tinggi, dia sarankan petani membeli dalam jumlah besar lewat kelembagaan seperti koperasi hingga bisa mendapat harga lebih murah.

Penggunaan pupuk sebenarnya bisa terencana sebelumnya . Solusi lain untuk mengatasi harga pupuk mahal, katanya,  dengan gunakan pupuk organik.

 

***

* Siti Sulbiyah adalah wartawan Pontianak Post. Liputan ini bagian dari program beasiswa bagi jurnalis yang diselenggarakan Mongabay Indonesia dan Kaoem Telapak 2022.

 

 

 

 

Exit mobile version