Mongabay.co.id

Banjir Rob di Pesisir Demak, Siswa Belajar dengan Kaki Terendam

 

 

 

 

Banjir pasang air laut mulai surut, jalanan pun belum sepenuhnya kering. Pagi itu, Cantika Ariani, ke sekolah bertelanjang kaki. Rok putih dia angkat setinggi betis sambil menenteng sepatu.

Sampai di jalanan kering, Cantika numpang cuci kaki di rumah tetangganya baru pakai sepatu. Hal ini rutin Cantika lakukan karena jalanan, kerap terendam banjir rob.

Kalau banjir rob sedang tinggi-tingginya, Cantika terpaksa berjalan bertelanjang kaki sampai ke sekolahnya di Madrasah Aliyah Nu-3 Ittihad Bahari, sekitar 1,5 kilometer.

“Jika tidak ada rob bisa sambil lari-lari (ketika berangkat sekolah). Cepat. Tidak sampai setengah jam,” katanya. Ketika banjir, jadi perlu waktu lebih lama sampai ke sekolah.

Tak hanya jalanan ke sekolah, rumah Cantika pun sering terendam banjir rob. Rumah Cantika sekitar 1,6 km dari bibir Pantai Morodemak, Kecamatan Bonang, Kabupaten Demak, Jawa Tengah.

Sejak tiga tahun lalu, rumahnya jadi langganan banjir rob bahkan terendam sampai 30 cm. Satu kamar tidur di rumahnya sudah ditinggikan 60 cm dari lantai awal. Lemari, meja, peralatan elektronik, dan barang-barang lain diganjal agar tak terendam air ketika rob datang.

Kalau rob datang saat bersiap ke sekolah, Cantika harus ekstra berhati-hati, seperti ketika mengambil pakaian. Dia harus pelan-pelan, supaya baju tidak terjatuh ke genangan air. Ketika mandi pun, kaki Cantika terendam.

Banjir rob pun bikin jam belajar Cantika tak menentu. Kalau ada tempat kering bisa belajar, kalau tidak ada, dia harus belajar di kamar yang sudah ditinggikan. Untuk mengerjakan tugas sekolah, tak jarang, dia numpang ke rumah teman yang tak kebanjiran.

“Kalau ada tugas atau PR  [pekerjaan rumah] ke teman yang rumahnya datar, tidak kebanjiran,” katanya.

Di Demak ini,  siswa tak hanya sulit akses ke sekolah, bahkan ada sekolah dengan bangunan terendam banjir air pasang laut ini. SD Negeri Purworejo 1, Desa Purworejo, Kecamatan Bonang, Demak, salah satunya.  Sejak 2020, akses maupun sekolah selalu terendam rob.

Lapangan di sekolah itu, tak lagi bisa jadi tempat upacara, bermain, olahraga, maupun aktivitas fisik lain. Ketinggian air bervariasi mulai dari mata kaki sampai betis orang dewasa. Ada satu bangunan tinggi, yakni, ruang kelas 5 yang direnovasi jadi lantai panggung.

Selama belajar mengajar berlangsung,  siswa maupun guru tak pakai sepatu. Siswa pakai sandal. Sebagian guru memilih pakai sandal. Ada juga pakai pelindung kaki berupa sepatu boots karet.

 

Cantika berangkat sekolah melewati sisa banjir rob semalam dengan menenteng sepatu. Foto: Alisa Qottrun

 

Dinding pembatas kelas terbuat dari papan triplek pun jebol. Meja, kursi, dan lemari lapuk serta ditumbuhi karang-karang kecil. Lantai selalu tergenang air.

“Pembelajaran masih sama, normal sesuai kurikulum. Cuma terganggu. Misal, anaknya datang dengan keadaan basah biasa suruh pulang terus ganti. Selanjutnya, guru akan memantau supaya anak tidak basah lagi,” kata Hadi Ihsanul Majid, Guru Kelas 5 SD Negeri Purworejo 1.

Sama seperti di rumah Cantika, barang-barang di SD Negeri Purworejo 1 terutama elektronik sudah dipindahkan ke tempat lebih tinggi, di atas kursi atau meja.

Banjir rob tak hanya merusak fasilitas sekolah,  suasana belajar pun tak nyaman. Jumlah siswa pun berangsur turun. Dulu, rata-rata 140-an orang, sejak 2020, tinggal 124 siswa.

Akses ke sekolah ini juga ada yang tergenang rob, seperti dari Pasar Gandong ke sekolah sekitar 500 meter terendam lebih 40 cm.

SD Negeri Purworejo 3,  terletak kurang dari satu kilometer dari laut juga alami masalah serupa. Sekolah yang terletak di dalam gang ini lantai dasar, kantor guru, ruang kelas IV, kelas V, dan kelas VI lebih rendah dari jalan gang. Mereka punya pompa air tetapi tak akan berguna kalau banjir besar datang. Ruang-ruang kelas tetap tergenang.

Mereka mulai alami rob sejak lima tahun lalu dan makin parah sejak 2019. Walau mereka sudah meninggikan bangunan empat kali, tetapi tetap terendam air ketika gelombang laut sedang tinggi.

 

Penurunan muka tanah memperparah kondisi banjir rob di sepanjang pesisir utara Kabupaten Demak. Foto: Adam Khatamy

 

Makin sulit

Banjir rob menyulitkan hidup warga. “Kapan bisa meninggikan rumah. Supaya aku bisa tumakninah, khusyuk shalat,” kata Rohmatin, nenek Cantika.

Kegiatan sehari-hari Rohmatin bertambah sejak rob datang. Dia harus menguras rumah dan menggendong cucu yang masih SD sampai jalan yang kering.

Jalan yang tergenang juga ditutupi lumut hingga membuat dia sering terpeleset ketika menggendong cucunya ke sekolah.

Rob membatasi gerak masyarakat mengakses pendidikan aman dan nyaman.

Anis Soraya, warga Morodemak juga mengalami kendala sama. Anaknya di MTs harus ikut pekerja pabrik untuk ke sekolah berjarak sekitar 4,8 km dari rumah mereka.

Kalau tidak begitu, ongkos pergi ke sekolah akan membengkak, sedang hidup keluarga hanya dari warung kecil dengan pendapatan tak menentu.

Ada tiga pilihan transportasi umum bisa dipilih anak Anis. Ada becak motor pulang pergi Rp10.000. Ada angkot tarif Rp5.000 berjarak 1,5 km dari rumah atau pakai delman Rp3.000-Rp10.000.

“Sekolahnya bergantung tebengan pekerja pabrik. Itu saja jika dapat. Jika tidak, ya tidak berangkat sekolah,” kata Anis.

 

 

Menanti tenggelam

Banjir rob terus terjadi. Sekolah-sekolah di pesisir Demak, berupaya agar bisa tetap  menjalankan proses belajar mengajar, salah satu dengan peninggian lantai sekolah. Namun, akses jalan sulit—terendam air rob dan licin—membuat sebagian pemborong menolak mengambil proyek merenovasi sekolah. Lokasi terendam air rob juga membuat material sulit ditimbun.

“Rata-rata pemborong tidak ada mau karena akses membawa material sulit. Jika rob datang, tidak bisa bekerja. Pasir yang ditimbun akan hilang ketika rob datang. Tidak bisa menimbun material bangunan,” kata Mahbub Junaidi, staf Sarpras SD dan SMP, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Demak.

Badan Perencanaan Pembangunan, Penelitian dan Pengembangan Daerah (Bappelitbangda) Demak pun merencanakan,  bangun sabuk pantai. Ia akan menghubungkan beberapa daerah antara lain, Kecamatan Genuk, Sayung, Karangtengah, Bonang, dan Wedung sampai ke Jepara.

Dari pemerintah pusat juga punya rencana. Ahmad Nur Azizul Miftah,  Kepala Bidang Ekonomi dan Prasarana Wilayah Bappeda Litbang Demak, mengatakan, ada bahasan mengenai “tanggul penahan rob dan abrasi” di kementerian.

Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), katanya,  menekankan pada pendekatan penanganan bencana dalam menanggulangi banjir rob.

Sabuk pantai berupa tol dan tanggul laut sudah mulai dalam skala kecil di Kecamatan Sayung. Tol dan tanggul laut ini, hanya melindungi daerah sekitar, sedangkan air laut terus bergerak, makin bergeser ke arah timur.

“Karena ada rob, dibangunlah tanggul, mangrove, atau apa pun itu. Pembangunan hanya terjadi ketika ada peristiwa. Tidak ada usaha sebelum terjadi itu bagaimana,” kata Mila Karmilah, Kaprodi Studi Perencanaan Wilayah dan Kota, Unissula.

 

Siswa SD N Purworejo 1 melewati gundukan tanah di tengah lapangan yang tergenang banjir rob. Foto: Adam Khatamy

 

Pesisir Jawa Tengah,  terdampak abrasi seluas 7.957,89 hektar, dengan Brebes tertinggi seluas 2.392,95 hektar, Demak 2.218,23 hektar, dan Semarang 1.919,57 hektar.

Kalau kondisi ini terus dibiarkan, katanya, pesisir pantai akan tenggelam, dan sekolah-sekolah tutup. Pendidikan anak-anak yang tinggal di pesisir, katanya,  terancam tak ada kejelasan.

Muhammad Helmi,  pakar kelautan Universitas Diponegoro dalam buku “Maleh Dadi Segoro: Krisis Sosial-Ekologis Kawasan Pesisir Semarang-Demak,” mengatakan, penyebab abrasi di Demak makin intens adalah bangunan yang menjorok ke laut terutama di Semarang.

Ekstraksi air tanah, katanya,  kerap kali jadi penyebab amblesan tanah hingga kawasan ini jadi makin rawan banjir rob.

Bagi Mila Karmilah, penyebab banjir rob di Demak, khusus Kecamatan Bonang karena arus yang berubah. Dulu, arus dapat ditahan oleh Pelabuhan Tanjung Emas dan Sayung. Ketika beberapa dukuh di Bedono tenggelam, air laut bergerak menuju Timbulsloko, kemudian sampai di Kecamatan Karangtengah, masuk ke Bonang.

Dia menduga, pembangunan tanggul dan tol Semarang-Demak memperparah banjir rob di beberapa desa di Kecamatan Bonang. Pembangunan di atas daratan, katanya,  berdampak pada penurunan muka tanah hingga air laut merangsek ke daratan.

Mila  juga katakan kalau penurunan muka tanah belum kompak hingga masih terus terjadi sampai pada posisi yang sudah padat dan kompak.

Dia tawarkan beberapa solusi mengatasi banjir rob, antara lain, tak membangun secara ekstensif di wilayah pesisir. Ketika suatu wilayah memiliki karakteristik tanah yang tak cocok untuk pembangunan masif seperti industri dan infrastruktur berat, katanya, rencana harus dihentikan.

Penanaman mangrove, katanya,  dapat menghambat arus masuk ke daratan hingga sedikit mengurangi dampak banjir rob.

Kota Semarang, kata Mila, punya 43 rumah pompa dengan 78 mesin pompa. Sedang Demak,  tak memiliki satu pun mesin pompa untuk menyedot banjir keluar dari daratan.

Penggunaan pompa air ini, terbilang efektif menangani banjir di Kota Semarang tetapi tidak di wilayah lain.

“Seharusnya, penggunaan pompa air terintegrasi dengan wilayah lain.”

 

Karena terus tergenang setiap hari guru dan siswa di SDN Purworejo 1 tidak lagi memakai sepatu dalam berkegiatan di sekolah. Guru memakai sepatu boots karet, sementara siswa mengenakan sandal untuk mengikuti kegiatan belajar mengajar. Foto: Adam Khatamy

 

*******

Exit mobile version