Mongabay.co.id

Buku: Mangrove Kurangi Dampak Tsunami Teluk Palu 2018

 

Tanggal 28 September 2018 gempa dan tsunami meluluhlantakkan Teluk Palu, Sulawesi Tengah. Kehancuran wilayah pantai dan turunnya tanah (likuifaksi) menyebabkan kerusakan dan korban jiwa.

Di Kota Palu korban meninggal dunia mencapai 2.132 jiwa dan sebanyak 531 hilang. Sementara di Kabupaten Donggala jumlah korban meninggal dunia 249 jiwa dan hilang sebanyak 54 jiwa.

Jumlah korban diperkirakan bisa lebih banyak seandainya tak ada vegetasi pesisir di sekitar wilayah tersebut. Eskalasi dampak bisa diredam dengan keberadaan vegetasi, khususnya mangrove.

Keberadaan mangrove di Teluk Palu inilah yang kemudian diteliti oleh Yayasan Konservasi Laut (YKL) Indonesia dan Yayasan Bone Bula (YBB), didukung oleh Yayasan Keanekaragaman Hayati Indonesia (KEHATI) yang kemudian diterbitkan menjadi buku berjudul “Mangrove di Teluk Palu”.

“Hasil penelitian ini dibutuhkan untuk menilai potensi pengembangan program konservasi mangrove di daerah yang masih tersisa, serta melihat potensi rehabilitasinya,” ungkap Nirwan Dessibali, Direktur YKL Indonesia sekaligus salah satu penulis buku ini.

 

Buku ‘Mangrove Teluk Palu’, rangkuman hasil penelitian tentang mangrove. Diterbitkan oleh YKL Indonesia, YBB didukung oleh Yayasan KEHATI. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia.

Baca juga: Foto: Begini Kerusakan Dampak Gempa dan Tsunami di Kota Palu

 

Dalam diskusi dan peluncuran hasil penelitian ini di Makassar (30/01/2023), dia menyebut penting untuk memahami kondisi daerah penyebaran mangrove di Kota Palu dan sekitarnya.

Jelasnya, mangrove eksisting perlu diamati, diteliti dan dipetakan kondisinya. Mangrove yang hilang akibat tsunami ataupun perubahan lahan lainnya juga dikaji. Hal ini penting sebagai bagian perencanaan konservasi dan rehabilitasi mangrove.

“Banyak upaya rehabilitasi dan konservasi mangrove tidak mencapai tujuannya karena kurang memahami hal ini,” katanya.

Dia pun menyebut tantangan keberadaan mangrove di Teluk Palu saat ini adalah reklamasi dan perluasan pemukiman ke wilayah intertidal, dimana wilayah pasang surut yang menjadi rumah mangrove menjadi sangat tipis.

Kondisi mangrove pinggiran (fringing) menyebabkan ekosistem ini amat rentan terganggu aktivitas dari daratan maupun pengaruh ombak lautan. Kawasan yang bisa dipulihkan pun pada akhirnya menjadi amat terbatas.

 

Foto citra Google Earth yang digunakan di dalam buku ini menunjukkan aktivitas reklamasi pantai di Palu Timur yang mengambil alih ruang ekosistem mangrove. Dok. YKL Indonesia

 

Hasil Kajian Komprehensif

Kajian dari penelitian ini memadukan tren perubahan lahan melalui analisis GIS analisa ekologi mangrove, biofisik dan tipologi kawasan pesisir yang sesuai dengan pertumbuhan mangrove.

Analisa sosial ekonomi dan budaya masyarakat pun dilakukan untuk menilai faktor berpengaruh terhadap konservasi dan rehabilitasi mangrove.

Hasil penelitian mengungkapkan pentingnya peran parapihak, dalam konservasi dan rehabilitasi mangrove di Teluk Palu. Baik sebelum maupun setelah terjadinya gempa dan tsunami.

Di dalam buku, dicontohkan bagaimana warga Kabonga Kecil mengisahkan bagaimana mangrove melindungi pemukiman dan mengurangi hantaman tsunami. Mangrove pun berfungsi layaknya benteng pertahanan pesisir.

Di bagian akhir buku ini, juga dimunculkan pembelajaran dan aksi-aksi nyata komunitas di Kecamatan Banawa, Kabupaten Donggala yang mencoba memulihkan dan melindungi area mangrove di wilayahnya.

“Inilah aspek penting dari buku ini, dia lahir dari refleksi aksi nyata,” jelas Yusran Nurdin Massa, penulis lain buku ini.

Yusran berharap buku ini menjadi referensi penting untuk merencanakan upaya konservasi dan rehabilitasi Teluk Palu. Mangrove pun dianggap sebagai solusi hijau alih-alih tanggul laut dalam mitigasi dampak ombak dan potensi bencana tsunami di pesisir Teluk Palu.

Dia berharap rencana dan aksi yang disusun ke depan dapat tepat sasaran, dan didasarkan pada pemahaman kondisi lanskap dan kebutuhan di tingkat tapak.

Muhammad Najib, salah satu pendiri Mangrovers, gerakan pemuda peduli mangrove di Teluk Palu, mengapresiasi terbitnya buku ini.

“Buku ini sangat bagus sebagai dasar dalam upaya melakukan konservasi di Teluk Palu, karena menggambarkan kondisi, jenis, dan upaya yang bisa dilakukan dalam konservasi mangrove,” sebutnya.

 

***

Foto utama: mangrove, benteng alami pesisir. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version