Mongabay.co.id

DPRD Sumbar Susun Raperda Tanah Ulayat, Apa Masukan Mereka?

 

 

 

 

Konflik tanah ulayat baik antara masyarakat, pemerintah dan perusahaan seperti labirin tak berujung. DPRD Sumatera Barat pun berinisiatif Rancangan peraturan daerah (raperda) Tanah Ulayat.  Berbagai organisasi masyarakat sipil memberi masukan dan catatan apa yang perlu diwaspadai dalam rancangan perda ini.

“Bersama beberapa organisasi masyarakat sipil kami mengamati ada beberapa poin penting yang menjadi masukan dan catatan,” kata Indira Suryani,  Direktur LBH Padang Januari lalu.

Mereka melihat situasi saat ini tanah ulayat digempur habis-habisan oleh konsesi dan izin kepada pemodal hingga memunculkan konflik-konflik berkepanjangan antara masyarakat adat dan perusahaan. “Ini konflik yang sulit diurai sebenarnya oleh pemerintah dan sulit diselesaikan,” katanya.

Catatan LBH terkait masalah tanah ulayat yang bersinggungan dengan proyek investasi terus berjalan puluhan tahun ini. “Lalu muncul lagi terus menerus karena memang tidak diselesaikan,” katanya.

Dalam penyusunan raperda ini, masih ada muncul anggapan bahwa tanah ulayat adalah penghambat investasi. “Ini harus diluruskan dulu. Ini sikap yang tidak adil dan tidak melindungi hak ulayat.”

Ada poin dalam raperda menyebutkan, kedudukan tanah ulayat sebagai tanah cadangan. “Tanah ulayat bukan tanah cadangan, tapi sumber daya yang digunakan atau tidak digunakan. Karena masyarakat adat punya kearifan dan tindakan untuk lahan yang boleh digunakan untuk aktivitas ekonomi dan mana yang harus dilindungi,” katanya.

Soal metode pemanfaatan wilayah dalam raperda ada dua, bagi hasl dan pembagian saha. Menurut Indira,  seharusnya dalam perda ini juga dikunci dengan saham tidak dapat diperjualbelikan baik fisik atau pun di pasar modal.

“Kita ingin, kalau pun tanah ulayat dimanfaatkan untuk investasi tidak berkurang. Harus terus bertambah atau minimal tetap.”

 

Hutan adat di Nagari Kajai Pasaman Barat, Sumbar. Foto : Riko Coubout

 

Dia ingatkan, soal pemulihan tanah ulayat juga belum terakomodir dalam raperda. Dalam rancangan ini, katanya, juga belum mengakomodir keberadaan dan peran bundo kanduang terhadap tanah ulayat.

“Padahal, di Minangkabau menganut matrilineal system. Kelompok perempuan dan anak perempuan yang paling menderita ketika ulayat sudah tergadai ataupun dialihkan kepada pihak lain.”

Paradigma inklusif, katanya,  mesti diperkuat didalam raperda ini termasuk perlindungan perempuan, anak dan disabilitas dalam pemanfaatan tanah ulayat.

Selanjutnya, dalam raperda juga belum memperkuat mekanisme free prior informed consent (FPIC) dalam pemanfaatan dan pengelolaan tanah ulayat. Prinsip ini, kata  Indira,  seringkali dilanggar berbagai pihak hingga memunculkan konflik struktural di akar rumput.

“Raperda juga masih inkosistensi terkait penyelesaian tanah ulayat.”

Dalam Perda Nomor 7/2018 soal penyelesaian sengketa tanah ulayat ada di pengadilan adat.  Dalam raperda ini diselesaikan Kerapatan Adat Nagari (KAN).

“Belum ditemukan formulasi yang baik dalam situasi ini dengan memperhatikan kondisi sosiologis dan memperhatikan konflik kepentingan para pihak,” katanya.

 

Stefanus Salimu, salah satu sikerei di Mentawai. Tabib atau sikerei akan kesulitan cari ramuan obat kalau hutan mereka hilang. Foto: Yitno Suprapto/ Mongabay Indonesia

 

Catatan lain, kata Indira,  raperda ini belum mengakomodir tanah ulayat di Mentawai. “Mestinya itu juga diakomodir karena Mentawai juga memiliki tanah ulayat. Raperda jangan berlaku diskrimiatif terhadap Mentawai karena bagian dari Sumatera Barat,” katanya.

Rifai Lubis, Direktur Yayasan Citra Mandiri Mentawai (YCMM) mengatakan,  peraturan daerah tanah ulayat perlu melihat substansi soal pemulihan tanah ulayat di Sumatera Barat yang sudah terkooptasi korporasi.

“Sekarang eksistensi tanah ulayat itu sudah parah. Ada penelitian yang menyebutkan eksistensi tanah ulayat di Sumbar tinggal 18%. Yang lain, sudah jadi HGU (hak guna usaha),”katanya.

Semestinya, rancangan ini demi menegakkan eksistensi hak ulayat, baik yang masih dikuasai masyarakat maupun yang sudah beralih. “Proses pengembalian itu perlu diatur dalam perda ini supaya ada proses pengembalian dan dipastikan berjalan.

Rifai bilang, raperda tak cukup memotret situasi  tanah ulayat. Ranperda ini sudah membatasi diri hanya mengatur penatausahaan. “Tidak melihat fakta sosial tanah ulayat dalam kondisi sekarat, eksistensinya sudah sangat lemah. Itu yang tidak dipotret dalam naskah akademik hingga tidak bermanfaat banyak dalam emngembalikan eksistensi,” katanya.

Terkait sudah ada peraturan daerah pengakuan dan penetapan wilayah adat di Mentawai, kata  Rifai,  belum mengakomodir tata cara administrasi pengakuan dari pemerintah daerah. “Belum ada terdaftar di buku tanah, karena belum diatur. Jadi sebenarnya pemanfaatan juga masih sangat umum.”

 

Aliran sungai dari air terjun Singunung yang berlokasi di hutan dusun Sirilanggai, Siberut Utara, Mentawai. Foto Vinolia/ Mongabay Indonesia

*******

Exit mobile version