Mongabay.co.id

Masih Turun Hujan, Riau Tetap Waspada Karhutla

 

 

 

Badan Meteor0logi Klimatologi dan Geofisika (BMKG)  menyatakan, curah hujan pada 2023 ini relatif lebih rendah dibanding tahun sebelumnya. Dengan kata lain, kemarau tahun ini diprediksi seperti 2019. Bagi daerah rawan kebakaran hutan dan lahan (karhutla).  Riau pun, meski hujan masih turun tetapi tetap waspada kebakaran hutan dan lahan.

Marzuki, Kepala Seksi Data dan Informasi Stasiun Meteorologi Kelas I Sultan Syarif Kasim II Pekanbaru, Unit Pelaksana Teknis (UPT) BMKG  mengatakan, sebagian wilayah Riau, sudah mengarah ke musim kemarau pertama. Ia merupakan kemarau singkat, antara Februari sampai Maret.

Waktu kemarau pun tak sama masing-masing kabupaten dan kota. Ada akhir Januari dan awal Februari lalu berakhir pada awal maupun pertengahan Maret.

Setelah itu,  kembali masuk musim hujan singkat sampai April. Intensitasnya bervariasi,  ringan hingga sedang. Terkadang lebat. Selanjutnya, Mei, sebagian wilayah kembali beralih ke musim kemarau.

Di Riau, ada dua kali musim kemarau dan dua kali musim hujan. Terkait la nina lemah, Marzuki bilang,  mungkin tak terlalu berpengaruh secara signifikan. Sebab, awal sampai pertengahan tahun diprediksi relatif normal.

“Memang pemantauan BMKG pusat ada indikasi  itu (la nina melemah). Artinya,  tidak ada kontribusi penambahan curah hujan cukup siginifkan. Namun, saat musim kemarau tidak terlalu kering juga,” katanya.

Meski begitu, Stasiun Meteorologi Pekanbaru terus memantau dan memperbarui informasi dinamika atmosfir terakhir, apakah la nina lemah jadi normal tau bertambah jadi moderat. Bahkan, bisa jadi indikasi el nino  mengingat kondisi alam atau dinamika atmosfir terus bergerak.

Di Riau, wilayah dengan tingkat kekeringan pada umumnya hampir sama hanya terjadi tak serentak. Biasanya,  mulai dari bagian utara, seperti sebagian Rokan Hilir dan itu pun tidak merata. Kemudian, Dumai, Bengkalis terutama di Pulau Rupat, bergerak ke Siak sampai Rokan Hulu.

Selanjutnya,  bagian tengah, seperti Pelalawan, sebagian Siak dan Kepulauan Meranti—umumnya lebih dulu masuk musim kering seperti wilayah pesisir lain—termasuk Pekanbaru.

Ke selatan, giliran Indragiri Hilir, Indragiri Hulu dan Kuantan Singingi. Ada pun Kampar, selain berada di bagian  barat, biasa juga memasuki musim kering serentak dengan wilayah Riau bagian tengah.

“Kalau sudah masuk kemarau, biasanya tetap harus waspada terkait dengan indikasi bencana kebakaran hutan dan lahan. Karena curah hujan lebih kurang dari biasanya. Jarang terjadi hujan lebat. Masih ada potensi tetapi sangat jarang. Lebih banyak kategori ringan sampai sedang,” kata Marzuki.

Jim Gafur, Kepala Bidang Kedaruratan, senada dengan Marzuki. Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Riau, biasa selalu memulai awal tahun dengan mengerahkan sumber daya di daerah pesisir dalam mengatasi karhutla. Mulai Rokan Hilir, Dumai, Bengkalis, Kepulauan Meranti, Siak serta Pelalawan.

Selain karena diterpa kemarau lebih awal, wilayah itu bergambut yang dikenal rentan kering.

BPBD Riau mengikuti terus perkembangan cuaca berdasarkan informasi BMKG. Meski begitu, hasil pantauan, Januari tahun ini, hanya ada kurang 10 hotspot dengan tingkat kepercayaan pun rendah sampai menengah alias belum ada titik api.

Kondisi itu,  agak berbeda dengan dua tahun sebelumnya. Biasanya, BPBD sudah sibuk memadamkan api mulai awal tahun.

 

 

Masih hujan

Sebaliknya, Jim Gafur bilang,  awal tahun ini lebih mirip 2016 dan 2017, BPBD provinsi maupun kabupaten dan kota masih bergelut mengatasi banjir sejumlah daerah karena masih diguyur hujan.

Senada, Eko Setiawan,  Kepala Pelaksana BPBD Kepulauan Meranti bilang,  wilayahnya belum terpantau hotspot. Mereka justru masih menanggulangi banjir hampir di seluruh Meranti.

Yang paling terdampak banjir, katanya, di Kecamatan Tebing Tinggi Barat, Rangsang dan Merbau. Dia bilang, penyebab banjir hujan lebat dibarengi air pasang tinggi yang lambat surut.

Isnadi Esman, Kepala Desa Bagan Melibur, Kecamatan Merbau, membenarkan hal itu. Hujan lebat dan ringan yang hampir tak putus, sejak Imlek lalu, masih rendam sejumlah rumah di sana. Para penghuninya pun mengungsi ke tempat tinggal saudara sekitar yang tak terdampak. Katanya, banjir ini terparah yang pernah terjadi. Biasanya,  sebatas pekarangan rumah.

Meski sebagian Riau masih diguyur hujan, tiap hari, BPBD Riau tetap memantau titik panas, potensi hari tanpa hujan, sistem peringatan dini karhutla lewat berbagai kanal. Selain dari BMKG, juga Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan), dashboard Lancing Kuning, aplikasi Sipakar maupun Sipongi milik Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).

“Ini jadi acuan dalam menyiagakan kabupaten, karena informasi titik api awal dari daerah. Mereka harus segera melaporkan bila terjadi kebakaran. Kalaupun ada api harus segera dipadamkan,” kata Jim, beberapa waktu lalu.

Dia menilai, keberhasilan mengatasi karhutla selama ini tidak terlepas dari tindakan atau respon cepat. “Titik api kecil segera dipadam. Kalau sudah lebih satu hektar bisa satu sampai dua hari pemadamannya.”

Untuk respon cepat pemadaman api, BPBD Riau mengandalkan relawan Masyarakat Peduli Api (MPA). Minimal, mereka beri informasi andai tidak punya peralatan atau tak sempat ke lokasi.

MPA dibina oleh BPBD tiap kabupaten dan kota tetapi bertanggungjawab di desa masing-masing.

 

Helikopter BNPB, Januari tahun lalu melakukan bom air pada lahan terbakar di Rimbo Panjang, Kampar, Riau. Kebakaran sudah berlangsung hampir satu minggu. Foto: Suryadi/ Mongabay Indonesia

 

Antisipasi

BPBD Riau juga sudah menetapkan sejumlah desa rawan karhutla. Ia jadi acuan bagi petugas dalam mengintenskan patroli dan sosialisasi pencegahan kebakaran. Tahun lalu,  ada 159 desa dari 65 kecamatan.

Tahun ini, katanya,  akan diperbarui lagi. Pertimbangannya, antara lain karena kejadian kebakaran berulang dalam lima tahun terakhir, maupun kapasitas masyarakat desa dengan wilayah gambut.

Isnadi menyadari ini. Meski dalam suasana intensitas hujan cenderung rapat—sesekali masih hujan—dia tetap antisipasi karhutla. Terutama dari sisi penguatan MPA yang rutin dipersiapkan, tiap tahun. Baik itu penguatan kelompok, fasilitas sarana prasarana dan peningkatan kapasitas semacam pelatihan penanggulangan bencana karhutla dan asap.

Tidak hanya itu, imbauan pada masyarakat juga rutin dia sampaikan, seperti dengan baliho, pengumuman langsung tiap-tiap acara kemasyarakatan dan keagamaan di desa.

Pesannya, antara lain, agar tak membakar lahan sembarangan. Tindakan nyata lain, Pemerintah Desa Bagan Melibur juga memetakan titik-titik rawan karhutla, terutama di areal masyarakat hingga patroli gabungan bersama perangkat desa.

Pemerintah Desa Bagan Melibur juga terlibat aktif dalam rehabilitasi areal bekas terbakar, bekerjasama dengan Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM), sejak 2020. Mereka memanfaatkan lokasi rentan terbakar dengan menanami sagu, buat demplot (demo plot) tanaman hutan.

Dari sisi kebijakan, anggaran desa juga disalurkan buat pembangunan satu unit sekat kanal, selain ada dari swadaya masyarakat dan bantuan BRGM.

Saat ini, Pemerintah Bagan Melibur merampungkan rancangan peraturan desa mengenai pencegahan karhutla.

Substansinya,  mencakup tanggung jawab masyarakat terhadap lahan, teknis pengelolaan lahan sampai mekanisme pelaporan terkait kebakaran.

“Ini peraturan desa pertama membahas karhutla. Meski tidak spesifik, tapi lebih umum mengenai perlindungan dan pengelolaan gambut di desa. Ruang lingkup lebih luas. Misal, bagaimana pemanfaatan areal gambut untuk masyarakat? Lalu,  seperti apa peran swasta dan masyarakat jika terjadi kebakaran di areal mereka? Lebih pada pencegahan,” kata Isnadi, beberapa hari lalu. Kala itu dia sedang mengawasi penanganan normalisasi tali air penanggulangan banjir.

Selain pemantauan dini, mengawali tahun untuk antisipasi karhutla, Jim sebut,  Gubernur Riau mulai menyurati bupati dan wali kota untuk siap siaga. Andai sudah ada potensi karhutla– banyak titik panas dan titik api–, katanya, kabupaten dan kota harus segera menetapkan status siaga darurat.

Tahun lalu, Pemerintah Riau menetapkan status ini pada Maret. “Kalau Februari memang sudah banyak kejadian segera status siaga darurat.”

Pemberlakuan siaga darurat karhutla untuk level provinsi, biasa oleh Gubernur Riau setelah dapat laporan status serupa minimal dari dua kabupaten atau kota. Keputusan ini, katanya,  sebagai langkah awal dalam mengerahkan sumber daya lebih besar, seperti pelibatan TNI, kepolisian dan perusahaan, termasuk minta dukungan dan bantuan BNPB maupun KLHK.

Bentuk dukungan dimaksud, berupa teknologi modifikasi cuaca atau TMC untuk hujan buatan. Kata Jim, transisi dari musim hujan ke kemarau merupakan waktu tepat karena potensi awan masih ada. TMC, katanya,  untuk pembasahan lahan kering karena kemarau, bukan memadamkan api.

Dukungan lain, minta bantuan BNPB untuk menyiagakan helikopter patroli dan water boombing. Heli patroli untuk kecepatan memantau langsung titik panas dan titik api.

 

Tim Pemadam Api memadamkan kebakaran di Giam Siak Kecil pada awal Maret 2021. Foto : BKSDA Riau

 

Sementara heli bom air untuk jangkau lokasi karhutla yang sulit ditempuh seperti wilayah perbukitan atau di tengah-tengah hutan. Ini berdasarkan pengalaman petugas pemadam dari tahun ke tahun mengatasi karhutla.

BPBD Riau juga akan memperbarui rencana kontingensi dalam mencegah dan menanggulangi karhutla. Rencana ini sudah ada sejak dua tahun lalu tetapi diperbarui sesuai kondisi. Seperti, perlindungan dan pengelolaan ekosistem gambut oleh Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Riau, sesuai Peraturan Gubernur Riau No 9/2021 tentang Riau Hijau.

Kemudian, sosialisasi larangan buka lahan dengan membakar. Sejak dua tahun lalu, Gubernur Riau turut menyiapkan 12 alat berat untuk bantu masyarakat buka lahan dengan ramah lingkungan. Tahun ini,  eksavator akan disiagakan kembali. Terakhir, mengadakan dan menyediakan peralatan pompa air maupun perlengkapan lain.

“Ini antisipasi mulai awal tahun. Kalau sudah penetapan status siaga darurat karhutla, kita akan laksanakan apel untuk pemetaan kekuatan personil dan peralatan,” kata Jim.

BPBD Riau juga memperluas perjanjian kerjasama dengan provinsi tetangga dalam mengatasi karhutla, antara lain, Sumatera Utara dan Kepulauan Riau. Tahun lalu, sudah terjalin dengan BPBD Sumatera Barat dan Jambi untuk mengatasi daerah perbatasan rawan karhutla.

Dia contohkan, Kepenghuluan Sungai Daun, Kecamatan Pasir Limau Kapas, Rokan Hilir, Riau, berbatasan dengan Kabupaten Labuhan Batu Selatan, Sumatera Utara. Kebanyakan warga Sumatera Utara tinggal dan memiliki kebun di sana.

Contoh lain, Kabupaten Kampar dengan Lima Puluh Kota, Sumatera Barat. Kemudian,  Indragiri Hilir dan Indragiri Hulu yang sebagian wilayah bersebelahan dengan Jambi.

Perjanjian ini mencakup data, informasi dan bantuan sumber daya. Pasalnya, wilayah perbatasan yang sering terjadi kebakaran juga menimbulkan persoalan asap lintas batas. Masing-masing pemerintah diharapkan saling bantu. Tidak lupa juga masalah penegakan hukum. Tetap dilakukan untuk beri efek jera.

“Perlu diingat, kebakaran terjadi karena kesengajaan atau ulah manusia. Tidak ada api tiba-tiba muncul. Unsurnya tetap tiga: oksigen, bahan bakar dan sumber api. Unsur ketiga inilah yang jadi polemik. Bisa sengaja atau ketidaksengajaan. Karena buang puntung rokok atau api unggun. Inilah yang perlu diwaspadai,” tegas Jim.

Dalam waktu dekat, BPBD Riau segera rapat koordinasi lintas sektor. Undang BMKG, TNI, Polri dan segala pihak terkait untuk mengetahui secara detail potensi atau perkembangan cuaca dan iklim di Riau.

Exit mobile version