Mongabay.co.id

Mengenal ‘Sijukkot’, Tumbuhan Obat dari Tanah Batak

 

 

 

 

Orang Batak sebut tumbuhan ini sijukkot.  Ia biasa tumbuh di sekitar Danau Toba dan jadi obat tradisional orang Batak sejak dulu.

Tumbuhan ini bisa mencapai satu meter, daun memanjang dengan tepi tak teratur, dan ujung meruncing. Warna daun hijau hijau kecoklat-coklatan, serasi dengan warna batang yang putih kemerah-merahan. Batang bergetah putih dengan kandungan yang tinggi.

Saat baru tumbuh, sijukkot memiliki bunga, namun setelah dewasa daunnya melebar.

Penelitian menunjukkan, racikan tumbuhan atau dikenal dengan sebutan jamu tradisional dengan bahan sijukkot, berkhasiat sebagai obat herbal meredakan demam, batuk, flu, dan gangguan pencernaan.

Sijukkot mengandung senyawa yang berpotensi sebagai antioksidan yang dapat menangkap radikal bebas. Di kebiasaan adat Batak, sijukkot (Lactuca indica L.) dipercaya bisa mengobati berbagai penyakit. Air rebusan ekstrak daun, batang, dan akar sijukkot diminum atau bisa langsung dimakan seperti sayur.

Tumbuhan ini banyak ditemukan di daerah dengan ketinggian 1.400 mdpl, seperti di Desa Sionom Hudon, Tele, Kabupaten Samosir. Ia banyak ditemukan di dataran Asia seperti Indonesia, Korea, Jepang dan India juga jadi obat tradisional.

 

Sijukkot. Foto: Barita News Lumbanbatu

 

Dalam artikel Indonesia Journal Chemical Sicence and Technology 2020, menunjukkan,  bioaktivitas sijukkot berpotensi sebagai antioksidan, anti bakteri, antidiabetes, meredakan penyakit lambung serta risiko kanker.

International Diabetes Federation memperkirakan jumlah penderita diabetes di Indonesia mencapai 28,57 juta jiwa pada 2045, lebih besar 49% dengan 19,47 juta penderita pada 2021. Indonesia termasuk dalam negara lima terbesar di dunia penderita diabetes.

Dari penelitian itu, sijukkot bisa jadi alternatif mengurangi diabetes meilitus yang berpotensi pada kematian seseorang.

“Paman saya penderita stroke menahun. Saya kasih minum rebusan sijukkot. Bisa juga dimakan. Ada reaksi pada tubuhnya”, kata Reinheart Simarmata, warga Langkat.

Hengky Manalu, dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Tano Batak bilang, sijukkot,  punya nilai sejarah. Warga Batak mengenal sijukkot ini sebagai lalapan Raja Batak, Raja Sisingamangaraja.

“Ini punya nilai sejarah, melekat erat pada tradisi pengobatan di masyarakat Batak. Mesti dijaga kelestariannya,” katanya kepada Mongabay.

Dia bilang,  Sisingamangara XII konsumsi sijukkot saat keluar masuk hutan selama masa perburuan kolonial Belanda.

 

Sijukkot, tumbuhan obat yang hidup di sekitar Danau Toba. Foto: Barita News Lumbanbatu/ Mongabay Indonesia

 

Hengky khawatir, keberadaan sijukkot menurun bahkan hilang dengan hutan yang terus tergerus juga penggunaan pestisida. Dia contohkan,   hutan yang berubah jadi perkebunan kayu, seperti di konsesi PT. Toba Pulp Lestari, bisa mengikis keberadaan sijukkot.

Luas konsesi TPL sekitar 168.000 hektar tersebar di  Kabupaten Simalungun, Asahan, Toba, Tapanuli Utara, Humbang Hasundutan, Samosir, Dairi, Pakpak Bharat, Tapanuli Selatan, Padang Lawas Utara, Tapanuli Tengah, dan Kota Padang Sidempuan.

Sementara sijukkot tumbuh di sekitar Danau Toba yang tersebar di empat kabupaten yakni, Dairi, Pakpak Barat, Samosir, dan Humbang Hasundutan.

Menurut Eva Erika Hutagalung, dari Unit Pelaksana Teknis Daerah) Kebun Raya Samosir mengatakan, tumbuhan ini mudah ditemukan di Danau Toba. Ia tumbuh sendiri tanpa budidaya.

“Tanaman ini termasuk bandel. Gampang didapat. Bisa hidup di batu-batu juga parit. Memang belum ada yang budidaya.”

 

 

*******

Exit mobile version