Mongabay.co.id

Populasi Bulu Babi Hilang dari Pesisir Buton Timur, Faktor Alam atau Dikonsumsi?

 

Sekelompok anak remaja laki-laki dan perempuan dengan penerang headlamp berhamburan ke laut yang surut setinggi betis di Lasalimu Selatan, pesisir pulau Buton bagian timur yang menghadap laut Banda, Sulawesi Tenggara.

Mereka membawa ember, parang, panah ikan dan tombak. Tangan-tangan mereka terampil membidik ikan-ikan yang sembunyi di antara terumbu karang. Bagi mereka, mengais hewan-hewan laut menjelang air pasang serasa bermain petak umpet selama berjam-jam sampai malam hari di bawah ribuan gemintang. Jika salah satu diantaranya mendadak teriak kegirangan, penanda memperoleh buruan gurita.

Sementara Wa Suriati, ibu rumah tangga usia paruh baya beranjak dari padang lamun untuk pulang setelah mendapatkan hasil satu jerigen lima liter berisi ikan-ikan karang seukuran telapak tangan orang dewasa, kepiting, dan gurita yang terjebak di karang. Hasil tangkapan itu dijual ke pasar terdekat dengan keuntungan Rp100 ribu. Sebagian tangkapannya dikonsumsi sendiri untuk dua hari.

Sejak tahun 2020 hasil buruannya menurun drastis, membuat perekonomian rumah tangganya goyang, lantaran populasi bulu babi hitam (Diadema setosum) terus menyusut di hamparan lamun. Mentahan isi dalam tubuh bulu babi (gonad) dikumpulkan hingga padat ke dalam cangkang-cangkang yang telah dikosongkan, kemudian dikukus hingga matang menjadi produk makanan siap saji disebut disebut cie cie dalam bahasa lokal.

Suriati menjual Cie cie seharga Rp10 ribu untuk 3 cangkang berisi gonad di pasar. Masyarakat pesisir di Buton mengkonsumsi hewan bulat berduri ini untuk menjaga daya tahan tubuh, sehingga menjadikan organisme ini bernilai ekonomis.

Suriati mengatakan dahulunya sekali dia sanggup menumpuk bulu babi setinggi bentuk gunung satu meter di atas pasir. “Dulu banyak betul, sekarang tidak ada,” katanya saat ditemui Agustus lalu.

baca : Tangkapan Ikan Melimpah, Dampak PAAP yang dirasakan Nelayan Pulau Buton

 

Aktivitas mengais ikan pada malam hari di padang lamun pesisir Lasalimu Selatan, Pulau Buton, Sulawesi Tenggara. Foto : Riza Salman/Mongabay Indonesia

 

Ambang batas

Diadema setosum merupakan jenis bulu babi berwarna hitam yang bergizi. Bagian tubuh yang dikonsumsi adalah gonadnya. Organisme ini menjadi sumber pangan mengandung asam amino, vitamin B kompleks, vitamin A, mineral, asam lemak omega-3, dan omega-6. Cangkangnya memiliki potensi sebagai anti bakteri. Kandungan itu termaktub dalam jurnal penelitian yang diterbitkan Litbang Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) berjudul “Kandungan Gizi Gonad dan Aktivitas Antibakteri Ekstrak Cangkang Bulu Babi (Diadema setosum).”

Menurut peneliti bulu babi dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Indra Bayu Vimono, mengatakan penyebab hilangnya bulu babi dalam suatu ekosistem pesisir harus diidentifikasi, apakah faktor alam atau dikonsumsi masyarakat.

“Bulu babi (akan) mencari tempat-tempat bersembunyi di liang-liang dan sebagainya,” jelas Indra saat dihubungi pertengahan September lalu. Berdasarkan riset-riset terdahulu, bulu babi berwarna hitam (Diadema setosum) merupakan jenis yang layak konsumsi.

Bulu babi berfungsi ekologis mengontrol keseimbangan laut dalam kompetisi perebutan tempat antara alga dan karang. Bulu babi memakan alga yang tumbuh subur di tempat karang yang mengalami pemutihan (bleaching), membuat karang lain kembali hidup di tempat itu. Namun jika alga sudah terlanjur banyak, kompetisi karangnya rusak.

“Entah itu karena karangnya dibalik dan tidak bisa tumbuh lagi,” ujarnya. Menurutnya, seharusnya populasi bulu babi tumbuh banyak karena tersedia sumber makanan (alga).

baca juga : Gelasa, Pulau Perawan Bertabur Terumbu Karang Purba

 

Tripneustes gratilla merupakan jenis bulu babi yang kerap dijumpai di padang lamun Lasalimu Selatan, Pulau Buton, Sulawesi Tenggara. namun populasinya menurun seiring waktu. Foto : Riza Salman/Mongabay Indonesia

 

Dalam penelitiannya, Indra mendapati perkembangan Diadema setosum dipengaruhi suhu, meski bulu babi jenis itu lebih tahan terhadap suhu panas. Kenaikan suhu secara tiba-tiba hingga melebihi ambang batas yang ditolerir menyebabkan Diadema setosum akan mati atau berpindah tempat ke suhu yang lebih rendah.

“Yang jadi masalah adalah toleransinya,” ujar Indra. Berapa ambang batas suhu yang ditoleransi di Indonesia? Hal itu yang kini sementara menjadi bagian dari penelitiannya.

Pada Desember 2022, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) merilis anomali suhu udara tahunan – perbandingan suhu udara pada tahun tertentu di rentang waktu 1991-2020 di Indonesia meningkat dari 26,8 derajat celcius menjadi 27 derajat celcius.

BMKG mencatat di tahun 2016 sebagai tahun terpanas dengan nilai anomali sebesar 0.6 derajat celcius. Dan tahun 2022 menempati urutan ke-13 tahun terpanas dengan nilai anomali sebesar 0,2 derajat celcius, sementara tahun 2020 dan 2019 berada di peringkat kedua dan ketiga dengan nilai anomali sebesar 0,5 derajat celcius dan 0,4 derajat celcius. Data itu sesuai dengan informasi suhu rata-rata global yang dirilis World Meteorological Organization (WMO) di laporan terakhirnya pada awal Desember 2020 juga menempatkan tahun 2016 sebagai tahun terpanas (peringkat pertama).

Di Lasalimu Selatan, nelayan mengeluhkan suhu panas tidak menentu sejak tahun 2020. Katanya sering terjadi perubahan cuaca dadakan, membuat mereka takut melaut. Di tahun-tahun itu hembusan angin timur dari perairan Banda terus menerpa, membuat sampah berserakan di pesisir, dan limbah plastik sering didapati menutupi terumbu karang.

menarik dibaca : KTP dan Kisah Perempuan Nelayan Pesisir Buton Timur

 

Perahu nelayan ditambatkan di sepanjang pantai Lasalimu Selatan, Pulau Buton, Sulawesi Tenggara selama angin bertiup kencang memicu gelombang tinggi di tengah ketidakpastian cuaca di perairan laut Banda. Foto : Riza Salman/Mongabay Indonesia

 

Nelayan-nelayan yang saya temui mengaku melihat ada pergeseran musim panas dan musim hujan terjadi di dua tahun terakhir. Contohnya, musim timur yang seharusnya terjadi di April meleset jauh dan baru terjadi pada awal Juni.

Angin kencang diselingi arus deras membuat nelayan takut melaut. “Kalau desa saya ini jadi sentra pencarian ikan dari desa-desa lain, bahkan dari ibukota. Mereka datang mencari di sini karena air surutnya bagus,” kata Kepala Desa Mopaano, La Ode Armani.

Katanya, pernah ada nelayan-nelayan yang menggunakan racun alami terbuat dari akar kayu tertentu untuk menangkap ikan. Ada juga yang membolak-balik karang dengan cara dicungkil, bahkan mengambil karang untuk membangun rumah permanen. Sayangnya karang yang dibalik tidak dikembalikan pada pada posisi semula.

Namun hal itu sudah berkurang, sejak berkembangnya kesadaran masyarakat melalui komunitas konservasi lokal yang menamakan diri Kelompok Pengelolaan Akses Area Perikanan (PAAP) Lape-lape.

 

Exit mobile version