Mongabay.co.id

Tanpa Pupuk Subsidi, Petani Sawit Mandiri Lampung Tetap Garap Lahan

 

 

Hujan baru reda di Desa Batanghari, Kecamatan Rawa Pitu, Kabupaten Tulang Bawang, Lampung, Senin (24/10/2022) pagi.

Rokani bersiap memanen sawit. Menggunakan sepeda motor, dia membawa sabit yang nantinya disambung ke besi hingga sepanjang 11 meter.

Lelaki 58 tahun ini kesehariannya merupakan buruh upah pemanen sawit milik petani mandiri. Dia dibayar Rp250 ribu untuk satu ton.

“Bila buahnya jelek, satu hektar tidak sampai satu ton,” terangnya.

Ayah enam anak ini cemas, meski tidak memiliki kebun sawit, kebijakan tidak adanya pupuk subsidi berdampak pada dirinya.

“Perawatan yang tidak maksimal membuat hasil buah menurun. Bisa jadi, petani sawit mandiri beralih ke sistem plasma. Saya bisa kehilangan pekerjaan mengingat usia sekarang,” ujarnya.

 

Seorang petani tengah memanen sawit di Tulang Bawang, Lampung. Foto: Agus Susanto/Suara.com

 

Persoalan pupuk

Kementerian Pertanian (Kementan) tidak memasukkan sawit dalam sembilan komoditas yang mendapatkan pupuk subsidi. Fokusnya pada komoditas perkebunan yang produktivitasnya perlu ditingkatkan, sehingga bisa menggenjot ekspor atau mengurangi impor dari negara lain.

Mengutip Kata Data, Direktur Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian Kementan, Ali Jamil, dalam Sosialisasi Kebijakan tentang Pupuk Bersubsidi Sektor Pertanian, Jumat (15/7/2022),
mengatakan, ada sembilan komoditas yang mendapatkan pupuk subsidi. Komoditas itu adalah padi, jagung, kedelai, cabai, bawang merah, bawang putih, tebu rakyat, kopi, dan kakao.

Terkait tidak ada pupuk subsidi untuk sawit, Ikhwan Mulyanto, warga Desa Karyamakmur, Kecamatan Penawar Aji, Kabupaten Tulang Bawang, Lampung, mencari solusi dengan menggunakan pupuk organik.

Dia memanfaatkan kotoran sapi yang difermentasi dengan abu sekam dan EM4. Setelah satu hingga dua minggu, pupuk tersebut ditaburkan pada sawitnya seluas dua hektar.

“Pupuk saya takar 10 kilogram lalu dimasukkan ke karung dan saya letakan dekat batang sawit dengan jarak 80 sentimeter. Tujuannya, agar tidak terbawa air hujan,” terangnya, Senin (24/10/2022).

Menggunakan pupuk organik hasilnya tidak instan seperti pupuk kimia, perlu waktu hingga satu tahun untuk melihat hasilnya. Pemupukan organik dia lakukan sejak akhir 2021, sebab jika sawit tidak dipupuk akan terjadi penurunan produksi sekitar 30 persen.

“Hasilnya masih bisa satu ton dalam satu hektar,” ucapnya.

 

Perawatan sawit dengan pemupukan harus dilakukan agar produksi buah tidak turun. Foto: Agus Susanto/Suara.com

 

Berbeda dengan Cipuk, warga Desa Batanghari, yang juga petani sawit mandiri. Dia bertahan menggunakan pupuk kimia, meski pupuk subsidi dihilangkan.

“Selagi harga sawit tidak kurang dari Rp1.500 ribu per kilogram,” kata lelaki 73 tahun itu.

Sejak akhir 2021, dia tidak mendapat pupuk subsidi lagi. Perbandingan biaya pemupukan bisa mencapai Rp1,5 juta, untuk kebunnya seluas 3 hektar.

“Ketika masih disubsidi, biaya pemupukan setiap 4 bulan sebanyak Rp3,5 juta,” ucapnya.

Ketika ditanya kenapa tidak menggunakan pupuk organik, Cipuk mengatakan, sejak awal sawit ditanam hingga umur 17 tahun selalu menggunakan pupuk kimia.

“Saya berharap, harga sawit Rp1.500 per kilogram dipertahankan, agar kami bisa mengelola kebun menggunakan pupuk yang dibeli di pasar,” jelasnya.

 

Pupuk organik buatan petani sawit swadaya ini dimasukkan karung dan diletakkan di bawah pohon sawit agar tidak tergerus air hujan. Foto: Agus Susanto/Suara.com

 

Perlu pendampingan 

Ketua Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) Kampung Wonorejo, Kecamatan Penawar Aji, Tulang Bawang, Lampung, Widodo, mengatakan sejak awal 20221 petani sawit mandiri tidak mendapatkan pupuk subsidi.

Widodo yang membawahi 9 kelompok tani dengan jumlah anggota setiap kelompok 30 orang, menjelaskan sebagian petani ada yang ingin bergabung dengan perusahaan menjadi petani plasma. Namun, terkendala biaya replanting. Seharusnya, ada bantuan dari badan pengelola dana kelapa sawit, seperti lahan satu hektar mendapat Rp30 juta.

“Hal ini ingin kami bicarakan dengan Pemerintah Kabupaten Tulang Bawang atau langsung dengan pejabat perkebunan provinsi,” ujarnya.

Selama ini kata Widodo, petani mandiri di wilayah Kabupaten Tulang Bawang, nekat menggunakan pupuk non-subsidi yang diselingi pupuk organik. Artinya, jika memiliki uang mereka beli pupuk kimia.

Sejauh ini untuk membuat pupuk organik, petani hanya menggunakan naluri yaitu dengan menaburkan kotoran sapi. “Pendampingan sangat diperlukan agar petani bisa membuat pupuk organik berkualitas,” jelasnya.

Terkait penjualan buah sawit, Widodo menjelaskan, selama ini petani menjualnya ke penampung terdekat dan penampung ini menjual ke pabrik.

“Semua petani sawit di kelompok kami memiliki pelanggan. Pengurus kelompok tidak menentukan harus dijual kepada siapa, karena kami belum memiliki koperasi,” jelasnya.

Plt Kepala Dinas Perkebunan Lampung Yuli Astuti membenarkan, tanaman perkebunan yang mendapatkan pupuk subsidi hanya tiga jenis: kopi, kakao, dan tebu.

Yuli mengaku sedang membuat program pendampingan petani mandiri agar bisa mendapatkan hasil panen maksimal.

“Namun masih tahap pendataan, program belum berjalan,” jelasnya.

 

Tumpukan sawit yang baru dipanen pekerja di pinggir jalan Tulang Bawang, Lampung. Foto: Agus Susanto/Suara.com

 

Bukan hanya kotoran sapi

Praktisi pupuk kompos Suprayitno, warga Kabupaten Lampung Timur, mengatakan petani sawit mandiri tidak perlu khawatir menggunakan kompos. Menurutnya, tanaman apapun dapat menggunakan kompos yang diimbangi pupuk anorganik. Namun, belakangan ini petani tergantung pupuk kimia.

Padahal, pupuk kimia berdampak kurang baik terhadap unsur tanah yaitu bisa memadatkan tanah dan membunuh mikroba.

“Jika tanah rusak, akar tanaman sulit berkembang,” terangnya.

Menurut Suprayitno, pupuk organik cukup bagus untuk produksi buah. Namun, karena penerapannya salah seolah pupuk organik merusak tanaman.

Jika menggunakan pupuk kandang, sebelum ditabur pada tanaman harus diolah dulu. Ini dikarenakan pupuk kandang dari kotoran apapun, seperti kotoran sapi, mengandung bibit gulma bawaan rumput. Juga, mengandung bibit penyakit berupa bakteri dan jamur.

“Bila pupuk kandang langsung diberikan ke pohon sawit, akan muncul penyakit uret semacam telur kumbang. Dampaknya, pelepah muda akan rusak karena dimakan ulat.”

Penggunaan pupuk organik yang tepat membuat buah sawit lebih padat dan unsur tanah terjaga.

“Harus diakui, butuh tenaga ekstra melakukannya,” ucapnya.

 

Suprayitno, warga Kabupaten Lampung Timur, Lampung, menunjukkan pupuk organik buatannya. Foto: Agus Susanto/Suara.com

 

Dosen Jurusan Ilmu Tanah yang merupakan Guru Besar Fakultas Pertanian Unila, Dermiyati menjalaskan, pada dasarnya semua bahan organik bisa digunakan sebagai bahan baku pupuk organik. Pada sawit, batang, cangkang, dan tandan kosong bisa dijadikan bahan juga.

“Demikian pula limbah cair atau limbah padat dari proses industri minyak goreng,” katanya.

Adanya tanaman penutup tanah (cover crop) yaitu legum atau legume cover crop (LCC) selain sebagai mulsa, juga berperan untuk konservasi tanah dan air.

LCC juga bisa sebagai pupuk organik tanaman sawit. Legum dapat mengikat nitrogen (N) dari udara karena adanya bakteri rhizobium yang hidup di bintil akar.

“Sehingga LCC dapat menyumbangkan N bagi sawit,” jelasnya.

Dermiyati melanjutkan, semua sumber bahan organik bisa dijadikan pupuk organik padat, cair, dan hayati (biofertilizer). Biofertilizer merupakan pupuk organik yang mengandung mikroba, membantu ketersediaan hara tanaman, khususnya N dan P.

Pemupukan juga dibedakan antara tanaman belum menghasilkan (TBM) dan tanaman menghasilkan (TM). Ini dikarenakan kebutuhan nutrisi yang berbeda. Pada TBM untuk pertumbuhan (vegetatif) dan TM pada pembuahan (generatif).

TBM diberikan N untuk pertumbuhan, sedangkan pembuahan lebih banyak P dan K.

“Meskipun semuanya N, P, dan K dibutuhkan selama pertumbuhan, namun waktu pemupukan disesuaikan dengan kebutuhan hara tanaman. Sebaiknya berimbang, antara pupuk organik dan anorganik,” jelasnya.

 

* Agus Susanto, jurnalis Suara.com.

Liputan ini merupakan program Journalist Fellowship yang diselenggarakan Mongabay Indonesia dan Kaoem Telapak.

 

Exit mobile version