Mongabay.co.id

KIARA: Perppu Cipta Kerja adalah Bentuk Inkonstitusional Masa Kini

 

Kehadiran Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja atau Perppu CK masih menuai polemik sampai sekarang. Peraturan yang diterbitkan pada 30 Desember 2022 itu, masih dinilai inkonstitusional karena ada proses yang tak dijalani secara wajar.

Dengan cap yang melekat itu, segala perkembangan yang berkaitan dengan Perppu CK dinilai hanya sebagai bentuk inkonstitusional. Termasuk, kegiatan sosialisasi Perppu Ck itu yang dilaksanakan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).

Sosialisasi yang dilakukan Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap (DJPT) KKP pada 30 Januari 2023 itu disebutkan bertolak belakang dengan penolakan oleh seluruh lapisan masyarakat, baik pakar hukum tata negara, akademisi, organisasi masyarakat sipil, buruh, tani, mahasiswa hingga nelayan dan perempuan nelayan tradisional.

Kabar penolakan itu disampaikan sendiri oleh Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) Susan Herawati. Bagi dia, penolakan tersebut dinilai tepat, karena Perppu CK diterbitkan dengan cara yang inkonstitusional.

KIARA sendiri mengakui menjadi salah satu pihak yang menolak kehadiran Perppu CK, karena selain inkonstitusional, Perppu CK bisa memicu dampak buruk terhadap kehidupan sosio ekologis. Mereka bergabung dengan masyarakat bahari yang salah satunya adalah nelayan tradisional.

Kemudian, ada juga perempuan nelayan, petambak garam, pembudi daya ikan, pelestari ekosistem pesisir, dan masyarakat adat pesisir. Semuanya kompak menolak tegas Perppu CK yang bisa memicu banyak dampak negatif dan berbahaya di masa mendatang.

“Perppu Cipta Kerja disusun tanpa adanya situasi kegentingan yang memaksa, tanpa partisipasi yang bermakna, dan hanya menjadi cara untuk membangkang dari Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020,” jelas Susan Herawati pekan lalu di Jakarta.

baca : Menyoal Perppu UU Cipta Kerja [1]

 

Suasana di Pelabuhan Perikanan Nusantara Brondong, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur, 3 Juli 2022. Foto : A. Asnawi/Mongabay Indonesia

 

Menurut dia, Perppu CK hanya akan mengulang kerentanan terhadap masyarakat bahari sebagaimana termaktub dalam UU CK. Selain itu, Perppu CK juga disusun bukan untuk melindungi dan memberdayakan masyarakat bahari, melainkan untuk memberikan kepastian hukum kepada investor dengan segala kepentingannya dalam mengeruk sumber daya alam, khususnya sumber daya perikanan dan kelautan.

Saat DJPT KKP menggelar sosialisasi Perppu CK, ada empat hal yang menjadi fokus dan perhatian mereka. Pertama, adalah tentang peraturan pelaksana Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020. Kedua, tentang Perppu CK akan mengubah Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI) dan Surat Izin Kapal Pengangkut Ikan (SIKPI) menjadi perizinan berusaha.

Kemudian ketiga, Perppu CK bertujuan untuk mempermudah investasi di sektor perikanan dan kelautan. Terakhir atau keempat, Perppu CK hadir untuk mengubah kewenangan penerbitan perizinan.

Namun, dari analisis yang dilakukan oleh KIARA, Susan Herawati menyebut kalau Perppu CK mengandung sejumlah permasalahan dalam substansi untuk penerapan pada subsektor perikanan tangkap.

 

Subtansi Permasalahan

Catatan pertama, Perppu CK menghapus batas ukuran skala ukuran tonase kapal (gross tonnage/GT) dalam definisi nelayan kecil, dan mengubahnya menjadi skala usaha yang terdiri dari mikro, kecil, menengah dan besar.

Penghapusan ini akan menciptakan celah bagi nelayan yang mengoperasikan kapal perikanan di atas 10 GT untuk tidak patuh terhadap kewajiban membawa kelengkapan dokumen administrasinya, serta sistem pemantauan kapal perikanan.

Kedua, kehadiran Perppu CK dinilai hanya akan menjadi karpet merah terhadap investor perikanan dalam mengeruk sumber daya perikanan dan kelautan di Indonesia, bahkan memberikan keleluasaan bagi investasi korporasi asing di zona ekonomi eksklusif Indonesia (ZEEI).

Catatan ketiga, Perppu CK bisa mengubah kewenangan penerbitan perizinan. Detailnya, kapal dengan ukuran maksimal 5 GT wajib mengurus perizinan langsung ke KKP jika beroperasi di wilayah kawasan konservasi nasional.

Sementara, untuk kapal di atas 5 GT yang tidak beroperasi di wilayah kawasan konservasi nasional juga tetap wajib mengurus perizinan ke pusat, jika wilayah operasinya ada di atas 12 mil laut dan masuk dalam kategori lintas provinsi.

“Hal ini bertolak belakang dengan kekhususan yang sebelumnya diberikan kepada nelayan kecil (0-10 GT) yang hanya diwajibkan mengurus Tanda Daftar Kapal Perikanan (TDKP),” ungkap dia menukil catatan yang diterbitkan KIARA itu.

baca juga : UU Cipta Kerja Makin Mengancam Petani dan Nelayan

 

Para nelayan menepikan perahunya di sungai Cilincing, Jakarta Utara, usai mencari ikan di laut. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Catatan keempat, KIARA melihat bahwa kewajiban nelayan 0-10 GT untuk mengurus penerbitan perizinan ke pusat hanya untuk mengeruk dan meningkatkan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari nelayan kecil dan tradisional.

“Hal tersebut sejalan dengan target peningkatan PNBP yang ditetapkan oleh KKP dengan nilai Rp12 triliun pada 2024,” tambah dia.

Itu berarti, perubahan kewenangan penerbitan perizinan nelayan kecil ke pusat tersebut hanya akan memberatkan dan merugikan nelayan kecil, terutama karena mereka juga dipungut PNBP. Kondisi itu akan meningkatkan diskriminasi nelayan kecil dari ruang kelola dan ruang produksinya di laut.

Melalui kebijakan ini, publik jadi tahu bahwa pemilik modal dan KKP menjadi pihak yang akan mendapatkan keuntungan besar. Padahal, sebagai pemimpin di sektor kelautan dan perikanan, KKP harusnya mendengarkan keluhan nelayan, khususnya nelayan tradisional.

 

Perppu CK untuk Keberpihakan Nelayan 

Sebelumnya, Dirjen Perikanan Tangkap KKP M. Zaini Hanafi saat sosialisasi Perppu CK pada 30 Januari 2023 mengatakan tidak ada perubahan substansi pada Perppu CK PERPU CK. Sosialisasi dilakukan agar stakeholders perikanan tangkap dapat lebih memahami ketentuan dalam aturan tersebut.

“Perubahan di subsektor perikanan tangkap pada PERPU CK ada pada teknis penulisan dan redaksional saja. Sudah jelas disebutkan, hadirnya aturan ini menunjukkan keberpihakan kepada nelayan serta memberikan kepastian berusaha,” jelasnya saat membuka sosialisasi tersebut.

baca juga : Tantangan UU Cipta Kerja dalam Menguji Kepatuhan Pelaku Usaha Perikanan

 

Dirjen Perikanan Tangkap KKP M. Zaini Hanafi saat melakukan sosialisasi Perppu CK di Jakarta, 30 Januari 2023. Foto : KKP

 

Senada dengan Zaini, Kepala Biro Hukum KKP, Effin Martiana menyampaikan Perpu CK memuat beleid sektor kelautan dan perikanan yang sama. Diantaranya Undang-Undang (UU) Perikanan, UU Kelautan, UU Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam serta UU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.

“Perppu CK telah ditetapkan Presiden RI tanggal 30 Desember 2022 dan berlaku di tanggal yang sama, sebagai pelaksanaan Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020. Salah satu tujuannya untuk menciptakan dan meningkatkan lapangan kerja seluas-luasnya,” paparnya.

Perppu CK memberikan keseragaman terminologi dokumen terkait perizinan usaha perikanan tangkap. Perizinan dalam sektor perikanan tangkap tidak lagi menggunakan frasa Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI) atau Surat Izin Kapal Pengangkut Ikan (SIKPI), melainkan menggunakan terminologi perizinan berusaha.

Sedangkan Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Jenderal Penguatan Daya Saing Produk Kelautan dan Perikanan (PDSPKP) KKP Ishartini pada kesempatan berbeda berusaha meyakinkan publik bahwa kehadiran Perppu CK adalah jawaban atas kebutuhan masyarakat akan perlindungan dan peningkatan kesejahteraan.

“Perppu ini merupakan respon cepat pemerintah terhadap dinamika global yang terjadi saat ini dan antisipasi dampak yang akan datang,” ucap dia.

Ishartini mencontohkan, Perppu CK mengharuskan pelaku usaha perikanan untuk memenuhi standar mutu hasil perikanan dalam melaksanakan bisnis perikanan. Hal ini, bertujuan untuk menjaga keamanan dan kenyamanan konsumen dan memperluas akses pasar bagi produsen.

“Substansi bidang PDSPKP yang diatur dalam Perppu tersebut, meliputi standar mutu hasil perikanan, perizinan berusaha berbasis resiko, dan impor komoditas perikanan,” papar dia.

Sebagai informasi, jumlah perizinan berusaha yang diterbitkan untuk subsektor pemasaran ikan sampai dengan Desember 2022 mencapai 48.233 ijin usaha dengan jumlah pelaku usaha yang mengajukan sebanyak 34.895 orang.

 

 

Exit mobile version