Mongabay.co.id

Menguatkan Perlindungan Cenderawasih dengan Kearifan Masyarakat Adat Papua

 

 

 

 

 

 

Hitam, cokelat kemerahan, orange, kuning, putih, biru, dan hijau. Warna warni bulu Cenderawasih, burung endemik Papua ini  biasa dipakai untuk mahkota di kepala seorang pimpinan adat atau ondoafi (ondofolo) untuk menunjukkan kehormatan.

Pemakaian mahkota cenderawasih dapat dilihat di berbagai acara besar adat, tarian, penyambutan, dan perkawinan. Ia sebagai simbol.

Pada Pekan Olahraga Nasional XX di Papua 2021, cenderawasih hampir jadi souvenir atau oleh-oleh ribuan peserta PON XX, namun kala itu Mathius Awoitauw,  Bupati Jayapura menegaskan, tidak boleh ada cinderamata cenderawasih.

Pada Kongres Masyarakat Adat Nusantara (KMAN) VI di Wilayah Adat Tabi 2022, Jayapura,  pemakaian cenderawasih terlihat hanya oleh pemimpin adat.

George Alwi, Ketua Lembaga Masyarakat Adat Port Numbay sekaligus Ondoafi Nafri mengatakan,  cenderawasih perlu dijaga agar dapat diwariskan kepada anak cucu. Dalam aturan adat,  cenderawasih hanya bisa dipakai ketika pengukuhan Ondoafi.

“Hanya Ondoafi-lah yang berhak untuk memakainya. Cenderawasih punya nilai sakral karena dinobatkan dalam prosesi adat,” katanya Januari lalu.

Karena sistem adat terstruktur, Ondoafi merupakan jabatan yang tidak dipilih tetapi dikukuhkan menurut garis keturunan. Jadi, penggunaan cenderawasih pun terbatas.

“Jika semua pakai maka populasi tentu saja berkurang. Karena itu, seseorang yang memakai cenderawasih menujukkan status di dalam kampung.”

Penggunaan cenderawasih sebagai mahkota juga disampaikan Ondofolo Kampung Sereh, Yanto Eluay. Kampung Sereh terletak di Sentani, Distrik Sentani, Kabupaten Jayapura, Papua.

Yanto mengatakan,  zaman dahulu sesuatu yang unik dan langka jadi simbol adat karena adat berkaitan dengan alam dan sakral.

“Jadi,  pemimpin masyarakat adat turun temurun telah menggunakan cenderawasih jadi simbol pemimpin masyarakat adat. Seperti kerajaan lain identik dengan mahkota. Ondofolo menandakan, seorang pemimpin masyarakat adat itu dengan pemakaian cenderawasih,” katanya.

Tak semua orang bisa menggunakan mahkota cenderawasih itu. Sisi lain, ada orang yang mengkomersialkan burung langka dan dilindungi ini.

Padahal,  dalam masyarakat adat di Papua, untuk pemakaian pun ada ritual khusus. Selain itu, cenderawasih hanya bisa dipakai Ondofolo yang sekaligus untuk mencegah penggunaan sembarangan hingga ganggu populasi.

 

Cenderawasih awetan. Foto: Putri Nurjannah Kurita/ Tribun Papua

 

Enriko Kondologit, antropolog juga peneliti dari Universitas Cenderawasih,  mengatakan,  berbicara perburuan satwa ini bukan hal baru. Ada dua hal kalau bicara cenderawasih, katanya, mengenai pemanfaatan dan budaya.

Sebelum masuk dalam aspek pemanfaatan, katanya, cenderawasih harus masuk dalam tatanan adat terlebih dahulu. Manusia dan lingkungan seperti “dua sisi uang koin.”

Tak dapat dipisahkan karena dalam lingkungan itu membentuk karakter manusia dan mempengaruhi semua unsur kebudayaan.

Berhubungan dengan lingkungan, cenderawasih secara budaya memang dalam tatanan adaptasi dengan korelasinya sebagai penghargaan hidup sepadan dan selaras dengan alam sekitar. Jadi, katanya, di Papua, kalau berhubungan intens manusia dan alam termanifestasi dalam suatu sistem kepercayaan yang mereka sebut totem.

Totem adalah kepercayaan terhadap leluhur yang termanifestasi dalam bentuk flora dan fauna.

“Seperti saya,  kepercayaan leluhur berasal dari penyu. Karena itu, berkolerasi dengan sistem konservasi, di kampung orang tidak boleh membunuh penyu sembarangan karena berkaitan dengan Marga Kondologit. Totem ini juga berhubungan dengan konservasi,”katanya Januari lalu.

Totem ini, kata Enriko,  mempengaruhi kepercayaan kalau leluhur berasal dari satu binatang atau flora dan fauna hingga manusia berhak gunakan itu sebagai simbol bagi leluhur.

Namun, katanya,  tak otomatis suku di Papua pakai cenderawasih sebagai aksesoris, hiasan muka atau rambut karena berhubungan dengan totem. “Hanya yang keturunan dan mempunyai totem dari cenderawasih sajalah yang berhak menggunakan.”

Sedang dari sisi pemanfaatan, katanya, mulai ketika cenderawasih diperkenalkan di Eropa pada 1522. Dari berbagai riset dan sejarah menunjukkan,  informasi tentang satwa ini pertama kali dibawa Fernando de Magelhaens,  penjelajah dari Portugis ketika datang ke Maluku lalu ke Kepulauan Aru. Di Kepulauan Aru ini  ada juga cenderawasih.

Enriko mengatakan, bulu-bulu cenderawasih sebagai persembahan karena di Eropa kala itu pakaian dari bulu-bulu binatang. “Pakaian adalah lambang prestasi dan prestisi maka makin jauh pakaian didapat atau makin langka binatang yang dipakai maka prestasi atau prestisi orang itu jauh lebih tinggi.”

Ketika cenderawasih awetan ini dibawa ke Spanyol tanpa kaki. Mereka  menyebut “paradise” karena burung indah dengan warna kuning dan cerah seperti burung surga. Mereka juga sebut aphoda, jadi satu jenis cenderawasih, Paradise aphoda.

Aphoda dalam Bahasa Latin berarti puntung. Padahal, mereka tidak tahu bahwa orang di Kepulauan Aru mempersembahkan burung awetan itu kepada Kesultanan Tidore dengan memotong kaki agar darah keluar dari kering kemudian jadi hiasan.

Yang memperkenalkan cenderawasih sebagai komoditi unggul di Papua, adalah orang Biak. Mereka berlayar hingga ke Sultan Ternate dan Tidore untuk barter. Dari Papua, bawa cenderawasih awetan dan kulit kayu masohi.

Ketika diperkenalkan di Eropa waktu itu, Magelhaens bilang hewan ini datang dari timur. Permintaan terhadap cenderawasih pun meningkat sampai Kepulauan Aru tak dapat memenuhi.

Ketika orang Biak berlayar dan mengetahui soal ini maka mulailah dengan sistem “manibob” atau perdagangan keliling. Salah satunya, menukarkan parang dengan cenderawasih di kampung-kampung.

Sejak 1522, terjadi perburuan besar-besaran cenderawasih. Bahkan catatan sejarah mengatakan,  dalam setiap  tahun sekitar 1.000-2.000 cenderawasih dikirim ke Eropa.

“Jadi perburuan-perburuan yang terjadi sekarang bukanlah hal baru.”

 

Kalung cenderawasih imitasi. Foto: Asrida Elisabeth/ Mongabay Indonesia

 

Bagaimana regulasi pemerintah?

Surat Edaran dari Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup (KLHK)  Nomor:SE.4/Menlhk/KSDAE/KSA.2/5/2/2018 tentang upaya pelestarian cenderawasih (Paradise spp) sebagai satwa liar yang dilindungi UU. Pemerintah Papua pun resmi menerbitkan larangan penggunaan cenderawasih sebagai aksesoris maupun cinderamata.

Ia tertuang dalam Surat Edaran Nomor 660.1/6501/SET/ tertanggal 5 Juni 2017, tentang larangan penggunaan cenderawasih asli sebagai aksesoris dan cindremata.

Jhon Gobay,  anggota DPRD Papua, mengatakan,  belum ada peraturan daerah yang merujuk pada perlindungan cenderawasih secara khusus tetapi ada dalam UU Keanekaragaman Hayati.

“Kalau hanya cenderawasih saja belum ada di dalam peraturan daerah. Burung cenderawasih masuk dalam Undang-undang Keanekaragaman Hayati bersama satwa-satwa lain yang dilindungi. Tetapi bisa didorong dalam Peraturan Gubernur,” katanya Januari lalu.

DPR Papua, katanya,  punya kewajiban pengawasan konservasi hanya kembali kepada kewenangan dari pemerintah pusat, provinsi, atau kabupaten dan kota.

Untuk penggunaan mahkota cenderawasih sudah diatur dalam Perubahan Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) Nomor 16/2008 tentang Pembinaan Kebudayaan Asli Papua.

DPR Papua, sudah mengajukan perubahan perdasus ini pada penyusunan peraturan daerah (perda) 2022 tetapi belum dibahas hingga masuk usulan 2023 ini.

“Kami berharap regulasi dapat dibahas,” kata Gobay.

Dalam rancangan perdasus ini,  pertama, pemerintah dan masyarakat di Papua wajib melindungi keanekaragaman hayati yang ditetapkan pemerintah. Kedua, guna perlindungan bersama untuk mengatasi perburuan dan penjualan cenderawasih.

“Saya sendiri yang mengusulkan, penggunaan mahkota sudah masuk dalam rancangan perubahan Pembinaan Perlindungan Kebudayaan Asli Papua.”

Dalam  revisi perdasus itu, katanya, sudah ada usulan melarang memakai mahkota  cenderawasih secara sembarangan, hanya bisa Ondofolo atau Ondoafi.

“Ke pemerintah,  siapa saja nanti yang bisa menggunakan? Tamu seperti apa yang boleh pakai, apakah bulu kasuari atau imitasi saja?”katanya.

 

Cenderawasih awetan di Papua. Foto:Putri Nurjannah Kurita

 

A.G. Martana,  Kepala BBKSDA Papua, mengatakan, sekitar 38 jenis cenderawasih dari Papua termasuk satwa dilindungi. Jumlah itu di luar jenis-jenis burung lain, yang mencapai ratusan.

Dalam upaya konservasi, katanya, BBKSDA Papua selalu melibatkan masyarakat dan para pihak terkait, juga siapa pun yang memiliki visi misi menjaga alam Papua.

Masyarakat Papua, katanya, memiliki kearifan lokal soal tata cara berinteraksi dengan alam. Hanya saja, zaman berubah dan kebutuhan manusia tak lagi sama seperti masa lalu.

Dalam konteks ini, semua pihak memiliki peran setara memberikan dukungan kepada masyarakat, terutama yang bermukim di sekitar kawasan konservasi untuk menguatkan nilai-nilai leluhur. Jadi, katanya, semua berjalan seiring, bersama-sama menjaga dan melestarikan alam Papua.

Data BBKSDA Papua, ada beberapa daerah rawan peredaran satwa liar dilindungi. Daerah rawan tingkat satu adalah Merauke. Titik rawan kedua adalah Jayapura, Mimika, Asmat, Mappi, dan Boven Digoel.

Mengenai upaya konservasi, pada 2015-2019,  cenderawasih kuning kecil masuk spesies prioritas untuk ditingkatkan populasinya 10 persen.  Untuk mencapai itu, BKSDA Papua menetapkan beberapa titik pengamatan cenderawasih.

Pertama, Site Monitoring Baraway, Distrik Raimbawi, Kabupaten Kepulauan Yapen. Kedua, Site Monitoring Tablasupa, Distrik Depapre, Kabupaten Jayapura. Ketiga, Site Monitoring Necheibe, Distrik Ravenirara, Kabupaten Jayapura.

 

Contoh asesoris asli dr bulu cenderawasih dan mambruk. Ini hanya bulu, biasa plus badan burung. Ada juga cenderwasih awetan. Foto: Asrida Elisabeth/ Mongabay Indonesia

 

Cari cara

Alex Waisimon,  pendiri Isio Hill’s Bird Watching, sebenarnya penggunaan cenderawasih ini tak diizinkan bagi siapapun, pejabat bahkan presiden sekalipun.   Yang boleh memakai, katanya,  hanya para pemimpin adat, seperti di Sentani Ondofolo dan di pesisir pantai Ondoafi.

“Ketika kita memakai mahkota cenderawasih di saat ada pesta adat. Tidak di sembarang tempat. Sekarang tidak pada aturan. Jadi, tidak pantas jika dipakai oleh pemerintah. Apalagi anak adat yang memakai di pucuk pemerintahan,”katanya Januari lalu.

Enrico mengatakan, penggunaan cenderawasih untuk adat tidak sebanyak dibandingkan perburuan untuk urusan ‘ekonomi’.

Menurut dia, ada beberapa cara menekan keterancaman satwa seperti cenderawasih. Sama-sama para pihak bisa rumuskan peraturan adat, atau peraturan kampung untuk perlindungan cenderawasih ini.

“Jadi kalau pemerintah tidak mau kita yang harus ambil alih ini. Karena ini kita punya. Menunggu buat regulasi percuma.”

Aksi lain, katanya, tak hanya bisa aturan atau larangan tetapi perlu ada cara lain buat ganti penggunaan cenderawasih, misal,  dengan imitasi.  “Harus ada “surat sakti” dari adat yang menyatakan nilai imitasi itu sama dengan nilai yang asli. Jadi nilai jualnya tetap ada dan sama seperti nilai aslinya.”

Alex bilang, ada solusi dengan imitasi atau kerajinan cenderawasih untuk mengurangi perburuan. Sejak ada pembalakan liar masuk Papua, katanya, cenderawasih sulit berkembang biak, populasi makin sedikit.

Sebagai pegiat lingkungan, dia menilai dari aspek ekonomi malah bukan oleh orang Papua.

“Saya lihat,  belum ada fenomena orang Papua menjual aset hutan dengan berburu cenderawasih.”

 

 * Putri Nurjannah Kurita adalah wartawan Tribun Papua.

********

Exit mobile version