Mongabay.co.id

Kala Kebun Plasma Tak Sesuai Janji, Petani Bualemo Ganti Sawit dengan Beragam Tanaman

 

 

 

 

 

Kiri kanan jalan sepanjang Desa Toiba, Bualemo, Banggai, Sulawesi Tengah ini hamparan sawit.  Kebun sawit ini merupakan konsesi PT Wira Mas Permai (WMP), anak perusahaan PT Kencana Agri. Kebun sudah ada sejak 2009.

WMP mengantongi izin lokasi 17.500 hektar dari Pemerintah Banggai waktu itu dengan nomor surat 525.26/15/Disbun/2009. Izin usaha perkebunan (IUP) pada 2011 dengan Nomor 525.26/1922/Disbun, lalu tahun sama keluar izin hak guna usaha (HGU) seluas 8.773, 38 hektar.

Desa Toiba, satu dari 10 desa yang masuk dalam izin HGU WMP di Kecamatan Bualemo. Pusat perkebunan sawit terletak di Desa Malik.

Selain di Bualemo, kaki-kaki bisnis Kencana Agri juga bersemayam di dataran Banggai lain. Ada PT Sawindo Cemerlang (Scem) dan PT Delta Subur Permai (DSP) tersebar di dua kecamatan,  Batui dan Batui Selatan.

Dari dua anak perusahaan Kencana Agri ini, PT Delta Subur Permai berperan sebagai pabrik pengolahan yang resmi beroperasi pada Januari 2020. Pabrik DSP berada di Desa Seseba, Batui Selatan.

DSP menerima hasil panen tandan buah segar (TBS) baik dari Sawindo dan WMP untuk jadi minyak sawit mentah (crude palm oil (CPO). Hasil CPO oleh Kencana Agri dikirim melalui Pelabuhan Tangkiang, di Kecamatan Kintom, Banggai. Dari Tangkiang, Kencana Agri mengirim hasil CPO-nya ke Kalimantan.

Isal Khan, Ketua Forum Petani Bualemo Bersatu, terlibat langsung dalam pengawasan aktivitas WMP. Dari masalah sengketa tanah, janji plasma, dan pelanggaran ketenagakerjaan.

“Sudah lama masyarakat dan petani menderita akibat masuknya perusahaan sawit di daerah kami,” kata warga Desa Bualemo A, Kecamatan Bualemo ini.

Kesepakatan ganti rugi tanam tumbuh (GRTT) yang disepakati oleh petani dan perusahaan merupakan langkah awal masalah.

“GRTT yang diterima masyarakat itu bervariasi, ada yang 750.000 per hektar, ada juga Rp1 juta. Masyarakat memahami GRTT adalah tanah mereka dipinjamkan ke perusahaan dan saat panen mereka dapat keuntungan. Kenyataan berbicara lain,” katanya.

Saat panen tiba, para petani tak pernah merasakan sepersen pun hasil panen dari sawit yang ditanam di tanah mereka.  Melihat itu, para petani mulai berinisiatif panen mandiri. Mereka pun terkena masalah karena dituduh mengambil sawit perusahaan.

Isal bilang, GRTT tak sesuai kesepakatan antara masyarakat dengan perusahaan. Kondisi itu, katanya, jadi titik awal masalah antara perusahaan dan warga di Bualemo.

“Maka ketika GRTT terjalin, petani sudah tidak bisa mengolah kembali tanah mereka. Mereka kehilangan pekerjaan dan ada yang harus melamar jadi buruh lepas di perusahaan.”

Isal bilang, andai masyarakat dulu tidak tergiur tawaran perusahaan saat sosialisasi ke desa, kehidupan mereka aman-aman saja. Warga desa yang dulu petani tak perlu banting setir jadi buruh di tanah sendiri.

Menurut dia, sikap para petani jadi buruh adalah soal pilihan mereka untuk tetap bertahan hidup. Sembari berharap dapat kehidupan lebih layak, malah jauh dari harapan.

“Hidup para petani tetap begitu-begitu saja.Tidak ada yang berubah,” kata Isal.

Buntut dari masalah ini, masyarakat protes kejelasan tanah mereka yang ditanami sawit dan menghentikan aktivitas panen perusahaan di lahan-lahan petani.

Kata Isal, 10 desa lingkar kebun yang masuk hak guna usaha (HGU) perusahaan dalam masalah, terutama soal sengketa tanah, kebun plasma, dan bagi hasil.

Sepuluh desa itu,  antara lain, Desa Toiba, Lembah Tompotika (Samaku), Longkoga Barat (Salu), Sampaka, Nipa Kalemoa, Malik Makmur, Malik, Bima Karya, dan Desa Binsil Bersaudara (Binsil K dan Binsil Padang).

 

Lahan masyarakat yang memiliki sertifikat yang bermasalah dengan perusahaan. Foto: Zulkifli Mangkau.

 

 Plasma bermasalah

Masda, warga Desa Nipa Kalemoa itu heran bukan kepalang. Sejak datang pada 1991 dengan program transmigrasi di Bualemo berharap hidup membaik dan tenang.

Perkiraan dia, pemerintah akan membantu menyuplai lahan-lahan garapan. Lahan yang bersertifikat jadi hak Masda yang diakui negara.

Kenyataan, lahan Masda masuk HGU WMP. Hampir semua lahan warga transmigran beresertifikat masuk konsesi perusahaan.

“Ada 15 hektar lahan saya dan keluarga yang masuk dalam HGU perusahaan,” kata Masda.

Perusahaan sawit masuk bawa janji warga akan dapat keuntungan dengan lahan jadi ‘plasma.’ Dia pun biarkan perusahaan tanami sawit.

“Perusahaan sudah berapa kali panen, tapi saya pemilik lahan belum pernah merasakan sepersenpun,” katanya. Bahkan,  pajak lahan ini masih aktif. “Saya bayar tanpa menunggak.”

Safi’i juga senasib dengan Masda. Lahan seluas satu hektar ditanami sawit perusahaan. Tanah itu bersertifikat, tetapi tetap masuk HGU.

“Saya heran, kami ini ikut program pemerintah tapi malah dipersulit dengan masalah-masalah yang kami hadapi. Apalagi persoalan tanah dengan perusahaan,” katanya.

Sejak mendapatkan izin lokasi pada 2009,  perusahaan mulai beraktivitas di Bualemo. Saat perusahaan masuk, janji plasma kepada masyarakat masih mengambang, belum menemui titik jelas. Bahkan,  ada beberapa orang tidak mengetahui bagaimana skema kebun plasma itu.

“Kejelasan antara kebun plasma dan kebun inti perusahaan juga belum diketahui yang mana,” ujar Isal.

Seharusnya, soal plasma sudah selesai diselesaikan saat perusahaan awal masuk dan selesai dibahas dengan warga desa di wilayah konsesi HGU perusahaan.

Agus R. Tattu, warga Desa Malik, yang tanahnya masuk dalam HGU perusahaan juga belum mengetahui mana luasan kebun plasma kepada masyarakat.

“Hanya pernah dibahas saat sosialisasi perusahaan masuk, tapi sampai sekarang belum ada juga. Harusnya saat panen kita sudah merasakannya,” katanya.

Untuk plasma, perusahaan mengklaim sudah membuatnya sejak perusahaan dan koperasi hadir di Bualemo.

“Kalau itu sudah regulasi. Namanya kewajiban. Ada nama koperasi di situ. nanti dicek lagi,” kata Lukito Wisnu Putro, External Affair Manager Kencana Agri.

Meski sudah dibentuk koperasi, Wisnu bilang, koperasi tidak berjalan dengan baik.

“Sudah bentuk koperasi dengan harapan dapat mengakomodir identitas para petani plasma di Bualemo. Tapi sepertinya waktu itu masih mandek, tidak berjalan dengan baik,” kata Wisnu.

Penjelasan perusahaan mengenai kebun plasma dan koperasi dibenarkan Dinas TPHP Bidang Perkebunan.

“Persoalan kebun plasma dari WMP sudah ada. Bahkan koperasi sudah dibentuk oleh perusahaan sejak lama. Nama koperasinya SMIL (Sawit Mekar Indah Lestari),” jelas Dewi Wahyuni, Kabid Perkebunan.

Data dari Dinas Tanaman Pangan, Holtikultura, dan Perkebunan (TPHP) Banggai, WMP mulai panen pertama atau buah pasir di penghujung 2014.  Dari luasan 8.773, 38 hektar HGU, WMP buka 2.488,87 hektar dan aktif berproduksi 1.482,56 hektar.

Data melalui Koordinator BPP Bualemo memperlihatkan, perusahaan punya plasma, dengan luas 17,02 hektar yang aktif 5,60 hektar.

 

Tanaman sawit PT WMP yang hidup di lahan bersertifikat milik warga Desa Malik Makmur. Foto: Zulkifli Mangkau.

 

Hanya, kata Sahbudin, kebun plasma di Bualemo ini belum jelas. Petani pun kebingungan.

“Yang menjadi dilema soal kejelasan lahan mereka yang telah kerjasama dengan perusahaan namun belum ada hasil dirasakan.”

Sahbudin bilang, sudah 11 tahun tak jelas mengenai kesepakatan soal plasma seperti apa. Untuk itu, warga mau minta kembalikan lagi lahan mereka yang kena HGU perusahaan.

Menurut Isal, lahan-lahan warga transmigran bersertifikat yang diberikan negara lewat juga masuk HGU. Keadaan ini,  katanya, menciptakan konflik di masyarakat.

“Kebanyakan lahan dua hektar masyarakat transmigran di Desa Nipa Kalemoa dan Malik Makmur yang bermasalah dengan perusahaan. Masa di tanah bersertifikat bisa masuk HGU?”

Sejak perusahaan masuk pun, katanya, tak ada kejelasan soal plasma. “Kalau sudah ada koperasi siapa ketuanya? Mereka itu ada di mana?”

Lingkaran Gerakan Rakyat (Larra), organisasi masyarakat lokal di Banggai, juga nyatakan WMP tak menyediakan kebun plasma bagi masyarakat.

“Dari 2008, masuk sampai 2021 belum ada plasma,” kata Syamsul Bahri Panigoro, Ketua Larra.

Bahkan,  dalam catatan Larra, data di lapangan berbanding terbalik dengan yang diberikan Dinas TPHP Banggai.

Data Larra menunjukkan, luas HGU WMP yang terpakai 2.505,88 hektar dan kewajiban 20% kebun plasma yang harus dipenuhi perusahaan di 10 desa sekitar kebun seluas 501,18 hektar.

“Di Desa Malik, misal, ada 646,16 hektar HGU dan kewajiban 20% plasma 129, 23 hektar. Desa Malik ini pusat perkebunan, tak ada sama sekali plasma apalagi bagi hasil panen.”

Syamsul bilang, setidaknya ada 996 hektar tanah bersertifikat dan 446 hektar tanah warga dengan dokumen SKPT masuk konsesi perusahaan sawit WMP. Data itu, dia kumpulkan dari warga dan perusahaan.=

Apa yang dilakukan perusahaan, katanya,  merupakan penyerobotan hak atas tanah warga.

Edi Sutrisno, Direktur Transformasi untuk Keadilan (TuK) Indonesia, mempertanyakan soal koperasi sawit yang jadi indikator dan jadi alasan sudah ada kebun plasma perusahaan.

“Faktanya,  tak ada lahan plasma. Hadirkan kebun plasma dulu. Untuk apa ada koperasi tapi tidak ada kebun yang dikelola. Koperasi bukan indikator apakah ada kebun plasma atau tidak.”

Keberadaan koperasi, katanya, seharusnya jadi wadah petani plasma, sedang kebun plasma ialah kewajiban perusahaan.

Edi bilang, pemerintah juga harus mempertanyakan soal kebun plasma ini, sayangnya tidak. Pemerintah, katanya,  seperti tak serius mengurusi kejelasan kebun plasma.

Achmad Surambo,  Direktur Eksekutif Sawit Watch, mengatakan, sengketa lahan dan perampasan hak tanah masyarakat oleh perusahaan sawit memang sering terjadi dengan banyak modus. Termasuk, katanya, soal lahan-lahan masyarakat transmigrasi yang masuk HGU perusahaan adalah bagian dari perampasan.

“Kalau sudah ada sertitifikat dan diklaim masuk HGU itu melanggar hukum sebenarnya. Bisa dilaporan ke pihak berwenang. Kadang juga laporan seperti ini tersendat dan butuh pengawalan,” kata Surambo.

Lahan dua hektar masyarakat transmigrasi itu awalnya berstatus hak pengelola lahan dan ditingkatkan pemerintah daerah menjadi bersertifikat.

Dia soroti soal produsen perusahaan sawit yang memiliki sertifikat Roundtable Sustainable Palm Oil (RSPO) harus terbebas dari masalah-masalah lingkungan, agraria, dan permasalahan sosial.

Kencana Agri, induk WMP itu memiliki sertifikat RSPO. Setiap penyuplai tandan buah segar (TBS) dari anak perusahaan di bawah mereka bisa dilaporkan ke RSPO.

 

Penampakan tanaman sawit di Desa Nipa Kalemoa, perlahan-lahan berkurang karena masyarakat bersikukuh ingin mengganti sawit dengan tanaman menguntungkan lainnya seperti jagung. Foto: Zulkifli Mangkau.

 

Perusahaan, melalui Wisnu, tidak ingin memberikan komentar yang pasti terkait masalah sengketa lahan ataupun masalah HGU di Bualemo.

“Kalau ditanyakan informasi soal lahan HGU jangan tanya ke saya, kurang tepat. Karena HGU itu yang memberikan adalah negara. Di dalamnya ada lain-lain seharusnya jangan tanya ke saya. Karena yang menerbitkan alas hak itu bukan saya,” jawab Wisnu.

Pemerintah Banggai, melalui Tim Pokja Percepatan Penyelesaian Permasalahan Sumber Daya Alam dengan nomor SK Bupati: 541/426/Bag.SDA tertanggal 29 Maret 2022 berkomitmen salah satu menyelesaikan persoalan di Bualemo ini.

“Laporan warga tentang WMP itu sementara kami tangani, bersamaan dengan kasus yang masuk lain,” ucap Ferlyn Monggesang, Ketua Tim Pokja.

Tim pokja yang diketuai Ferlyn pada Maret tahun lalu telah mempertemukan WMP dan perwakilan pemerintah desa. Dalam pertemuan itu, baik perusahaan dan tiga desa telah mencapai kesepakatan penandatangan nota kesepahaman (memorandum of understanding/MoU) mengenai kebun plasma. Tiga desa yang setuju itu yakni, Desa Longkoga Barat, Binsil K dan Binsil Padang.

“Tiga desa itu yang kami fasilitasi bertemu dengan perusahaan. Sisa desa yang lain yang belum mengambil sikap,” kata Ferlyn.

Menurut Wisnu, perusahaan juga akan memberikan hasil panen sawit kepada desa-desa di sekitar perkebunan WMP.

“Intinya, perusahan sangat mengharapkan desa-desa di wilayah lingkup kerja Bualemo itu yang belum menerima hasil sawit seperti desa-desa lain untuk disegerakan.”

Plasma itu bukan MoU, kata Edi, tetapi kewajiban perusahaan dalam membangun 20% kebun untuk rakyat.

 

Tanaman sawit yang sengaja dimatikan masyarakat pemilik lahan. Masyarakat berencana akan mengganti tanaman sawit dengan tanaman menguntungkan lainnya. Foto: Zulkifli Mangkau.

 

Melawan dengan menanam

Setelah bertahun-tahun sawit plasma tak ada hasil, warga pun mulai beraksi.  Mereka merobohkan atau membakar sawit, dan mengganti dengan berbagai tanaman lain.

Agus, sekitar 10 tahun  menahan kesal janji bagi hasil perusahaan tak kunjung datang. Ekonomi keluarga mulai sulit, dia terpaksa jadi buruh. Bekerja sebagai buruh tak seperti yang diinginkan. Agus tak bertahan lama dan memilih keluar.

Ketidakpastian yang dialami Agus, membuatnya berubah pikiran. Lahan yang sudah ditanami sawit direbut kembali. Dia mengganti sawit dengan jagung dan tanaman lain untuk kehidupan keluarga.

“Kalau tidak berani mengolah kembali tanah, saya mungkin tidak bisa menghidupi keluarga saya sekarang ini,” kata Agus.

Dia bersyukur, panen jagung lima tahun belakangan ini melimpah bisa membuat rumah dan menghidupi keluarga.

Tak jauh beda dengan Masda. Dia membakar seluruh tanaman sawit di lahannya. Aksi Masda dinilai melanggar aturan. Dia mendapatkan surat panggilan kepolisian untuk dimintai keterangan.

“Saya ingin mengolah lahan saya sendiri. Ini tanah saya, pajak saya bayar,” katanya dengan.

Kabar Masda dipanggil polisi sontak tersiar ke seluruh desa. Bukan membuat efek jerah kepada para petani, tetapi menyulut semangat beberapa petani yang lain. Petani makin semangat. “Tanah milik petani bukan milik perusahaan.”

“Beginilah bentuk marahnya petani. Ini bukti perlawanan kami kepada perusahaan,” kata  warga Desa Nipa Kalemoa sambil menunjuk bekas-bekas lahan yang dulu penuh sawit kini hangus terbakar.

Agus juga ikut membereskan tanaman sawit di lahannya.

“Saya ingin hidup di tanah sendiri, tidak mau bergantung pada sawit yang tidak tahu kejelasannya. Hidup makin melarat jika bersandar pada sawit.”

Masda pun ingin menanam jagung, kelapa, dan pohon mete. “Jagung pernah membantu saya hidup sedangkan sawit tidak.”

Begitu juga Agus. Dia menanam jagung,  kelapa dan tanaman palawija yang pernah menjadi komoditas unggul kala itu.

“Saya sudah merasakan hasil dari menanam jagung. Sudah saya rasakan sekarang,” kata Agus.

Agus mendengar tawaran kebun plasma dikumandangkan kembali oleh perusahaan setelah sekian lama mengambang alias tak jelas. Hatinya telanjur sakit saat harus berurusan dengan perusahaan sawit.

Dia hanya ingin menanam jagung. Dengan jagung,  dia bisa memberikan kehidupan bagi keluarga.

“Saya tetap menolak kalau ada plasma, saya sudah nyaman dengan jagung sekarang.”

Masda apalagi. Dia keras menolak tawaran plasma masuk ke lahannya lagi.

“Pohon kelapa dan mete saya sudah besar, saya tidak mau mengganti mereka dengan sawit,” kata Masda.

 

 

Warga mulai ganti kebun sawit dengan berbagai tanaman laion. Foto: Zulkifli Mangkau/ Mongabay

***********

 

*Liputan ini bagian dari program beasiswa bagi jurnalis yang diselenggarakan Mongabay Indonesia dan Kaoem Telapak 2022.

Exit mobile version