- Hantaman ombak di pesisir Kota Padang, Sumatera Barat, makin kuat. Abrasi terus mengikis tepian pantai. Pondok-pondok warga pesisir mulai terdampak. Perahu nelayan mulai susah tambat.
- Abdul Muhari, Plt Kepala Pusat Data, Informasi dan Komunikasi Kebencanaan BNPB bilang, sepanjang pantai Padang ternyata memiliki karakteristik abrasi berbeda-beda. Misal, di sekitar Monumen Merpati Perdamaian hingga Muaro, karakteristik abrasi dominan dalam arah tegak lurus pantai. Berbeda dengan kawasan di bagian utara di sekitar Bandara Internasional Minangkabau (BIM), gelombang dan arus masih dominan bergerak sejajar pantai. Prinsip dan karakteristik ini yang harus kita petakan satu-persatu untuk menentukan pelindung pantai seperti apa agar efektif untuk mencegah abrasi.
- Adanya infrastruktur lepas pantai akan mendorong kemunculan sedimen di belakangnya. Selanjutnya, sedimen ini bisa untuk menanam vegetasi seperti mangrove, cemara udang dan vegetasi lain yang tentu saja bermanfaat menahan abrasi dan mengurangi risiko tsunami. Pembangunan fisik harus paralel juga dengan upaya mitigasi berbasis vegetasi.
- Medi Iswandi, Kepala Bappeda Sumatera Barat mengutip data Kementerian Kelautan dan Perikanan, Padang kehilangan 21–49 meter per tahun di sepanjang 24,7 dari 74 km garis pantai di sejak 2009 sampai 2018. Selain itu, ada kenaikan air laut 0,37 cm per tahun.Garis pantai Padang juga mengalami kemunduran enam meter per tahun ke arah darat.
Pagi cerah, angin laut berhembus kencang pada pertengahan 2022. Ombak pun menghempas batu pemecah ombak dan air laut masuk ke jalanan.
“Itu namanya galoro,” kata Asri, nelayan Pantai Air Manis Kota Padang, Sumatera Barat. Kami sedang duduk di pondok kecil yang punya sedikit dinding penghalang angin.
Sambil meluruskan topi hitamnya, lelaki 52 tahun ini cerita, kalau galoro adalah ombak besar yang datang tanpa disertai angin kencang. Beberapa orang menyebut ombak pasang.
Pondok itu makin dekat dengan ombak. Tak jauh dari situ ada rumah Edi, kawan Asri. Lantai kamar Edi sempat jebol karena tiap malam ombak berdentum ke dinding kamarnya.
Perahu-perahu nelayan harus diangkat ke permukaan yang lebih tinggi kalau tidak bisa terbawa gelombang ke tengah laut. Padahal dahulu ada pondok berdiri di titik 20 meter dari daratan tempat kami duduk. Pada titik itu, kini sudah jadi batu susun memanjang ke arah laut.
Seminggu itu angin kencang, cuaca tak menentu, hanya nelayan-nelayan nekat tetap berangkat mencari ikan.
Nelayan-nelayan di Pantai Air Manis bisa membaca cuaca. Dia menunjuk ujung laut. Cakrawala yang saat itu sedang ada garis hijau. “Itu angin yang sedang kencang. Sebentar lagi angin itu ke daratan,” katanya.
Tak berapa lama angin datang ke darat dan membuat ombak makin besar jatuh ke darat. Angin itu, kata Asri, akan membawa awan hujan ke darat. Nanti, awan itu akan memunculkan hujan dan hujan itu dihantam kilat. Selanjutnya hari akan cerah.
Meski pun bisa membaca cuaca kondisi alam dia akui makin sulit ditebak. Abrasi memakan ruang hingga menyulitkan perahu-perahu nelayan untuk sandar. Mencari ikan juga makin jauh.
Apa rencana pemerintah?
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) bersama Pemerintah Kota Padang menggelar diskusi soal rancangan infrastruktur abrasi pesisir pantai Padang berbasis mitigasi bencana Senin pada 6 Februari lalu.
Ada dua jenis bencana yang berpotensi terjadi di Sumatera Barat yaitu tsunami bersifat rapid on set dan abrasi yang bersifat slow on set.
Abdul Muhari, Plt Kepala Pusat Data, Informasi dan Komunikasi Kebencanaan BNPB bilang pada prinsipnya setiap pantai memiliki sirkulasi masing-masing.
“Waktu musim barat dan timur, misal gelombang dominan membawa sedimen pasir dalam arah tegak lurus pantai. Sedangkan pada musim peralihan, gelombang membentuk arus sejajar pantai yang akan membawa sedimen dalam arah sejajar pantai, baik dalam arah utara-selatan, maupun sebaliknya,” katanya.
Sepanjang pantai Padang ternyata memiliki karakteristik abrasi berbeda-beda. Misal, di sekitar Monumen Merpati Perdamaian hingga Muaro, karakteristik abrasi dominan dalam arah tegak lurus pantai. Berbeda dengan kawasan di bagian utara di sekitar Bandara Internasional Minangkabau (BIM), gelombang dan arus masih dominan bergerak sejajar pantai.
Pola arus atau karakteristik ini juga dapat berubah-ubah seiring berjalannya waktu dan pertambahan bangunan pelindung pantai.
“Prinsip dan karakteristik ini yang harus kita petakan satu-persatu untuk menentukan pelindung pantai seperti apa agar efektif untuk mencegah abrasi,” katanya.
Adanya infrastruktur lepas pantai akan mendorong kemunculan sedimen di belakangnya. Selanjutnya, sedimen ini bisa untuk menanam vegetasi seperti mangrove, cemara udang dan vegetasi lain yang tentu saja bermanfaat menahan abrasi dan mengurangi risiko tsunami.
“Pembangunan fisik harus paralel juga dengan upaya mitigasi berbasis vegetasi,” katanya.
Adapun, kata Abdul, satu pilihan infrastruktur memitigasi abrasi di Pantai Padang saat ini dengan membangun offshore breakwater sejajar pantai, di laut sejauh 50-100 meter dari bibir pantai.
“Pembangunan fisik ini untuk jangka pendek 50-70 tahun, karena infrastruktur fisik makin lama makin berkurang kekuatannya. Sedangkan tsunami memiliki periode ulang 50 hingga ratusan tahun.”
Kalau vegetasi, katanya, makin lama ditanam akan makin kuat menahan gelombang.
“Secara alami, dengan pemecah gelombang offshore yang sejajar pantai, akan terbentuk tombolo atau sedimen pasir yang terbawa arus yang tegak lurus dengan pantai,” katanya.
Medi Iswandi, Kepala Bappeda Sumatera Barat mengutip data Kementerian Kelautan dan Perikanan, Padang kehilangan 21-49 meter per tahun di sepanjang 24,7 dari 74 km garis pantai di sejak 2009 sampai 2018.
Selain itu, ada kenaikan air laut 0,37 cm per tahun.Garis pantai Padang juga mengalami kemunduran enam meter per tahun ke arah darat.
“Apabila membangun infrastruktur pelindung Pantai Padang, maka sudah menyelamatkan 25% dari ekonomi Sumatra Barat,” kata Medi.
Dalam diskusi itu Hendri Septa, Walikota Padang malah mendorong program dari Kementerian PUPR terkait ‘rancangan jangka panjang’ untuk antisipasi abrasi sepanjang Pantai Padang. Dia mengatakan, ada beberapa titik Pantai Padang yang belum punya batu grip untuk tahan abrasi, salah satunya Koto Tangah.
“Kita memohon pada pemerintah pusat khusus KPUPR untuk bersama-sama melindungi kondisi Kota Padang. Apalagi melihat banyak gedung-gedung bersejarah di sekitar pantai,” katanya dalam rilis Pemerintah Kota Padang.
Jarot WIdyoko, Direktur Jenderal Sumber Daya Air Kementerian Pekerjaan Umum dan Pekerjaan Rakyat (Dirjen SDA PUPR) mengatakan, pada 2023 akan memprioritaskan pengamanan pantai sekitar Masjid Al Hakim.
Lokasi itu jadi prioritas, katanya, karena data Juli 2022 terjadi gelombang ekstrem yang menyebabkan gelombang naik ke darat sekitar 40 meter.=
***
Deddy Arsya, sejarawan dari Universitas Islam Negeri Sjech M Djamil Djambek Bukittinggi mengatakan, belum menemukan catatan peristiwa abrasi dalam koran-koran kolonial.
“Tapi kalau dalam ingatan-ingatan orang ada muncul soal abrasi. Tapi tampaknya itu setelah kolonial.”
Ceritanya, di sekitar pantai Padang itu dulu ada pertokoan Tionghoa dan kubura. Semua habis kena abrasi. Jejaknya, kadang masih kelihatan kalau pasang sedang surut. Ia berlokasi di sekitar Taman Budaya Padang.
Soal wilayah pantai yang lain, Dedi tidak menemukan dalam sejarah. “Mungkin karena wilayah pinggir laut tidak dihuni sejak dulu. Pemukiman selalu diarahkan ke daratan. Bukan problem manusia abrasi itu. Itu jadi problem karena pemukiman manusia yang makin mendesak ke arah laut,” katanya.
Penanganan abrasi dengan batu-batu pemecah ombak baru dilakukan belakangan pada era orde baru. “Sebelum itu , belum pernah terbaca ada upaya dan kebijakan serupa,” katanya.
Belanda, katanya, lebih sibuk mengurus air daratan, seperti bikin sodetan, kali buatan, drainase dan seterusnya.
Randi Reimena, penulis sejarah Sumatera Barat mengatakan, ada beberapa catatan penanganan abrasi oleh Pemerintah Indonesia, salah satunya di Buku Padang Riwayatmu Kini karya Rusli Amran.
Alumni magister ilmu sejarah Universitas Andalas ini mengatakan dalam tulisan Rusli Amran menggambarkan bagaimana lokasi pada 1907 ada bukit dan rumah kecil serta bangku tempat santai hancur oleh terjangan ombak. Lokasinya di ujung Jalan Nipah, yang kabarnya pernah ada meriam Belanda hanya dibongkar pada 1988.
Selain Rusli ada pula Randi menyebut Majalah Ganto terbit 1973. Artikelnya berjudul “Laju Erosi Pantai Padang Berhasil Dihentikan”.
Randi mengatakan, dalam artikel itu dilaporkan, ombak Samudra Hindia menyebabkan abrasi mencapai 2,2 meter per tahun.
“Sebenarnya, pada 1964, Pemerintah Sumatera Barat membuat dam darurat menahan hantaman ombak. Pembangunan dari Muara Batang Arau sampai Muara Banjir Kanal. Pembangunan sampai 1969. Dam itu juga akhirnya retak dan tergerus,” katanya.
Pemerintah Sumatera Barat tak menyerah, mereka membangun lagi dengan anggaran Rp206 juta saat itu. Mereka membuat tanggul sistem grip dengan menumpuk bongkahan-bongkahan batu gunung dan kubus beton. Batu grip beranjung ini menjorok ke laut sampai 25 meter. “Ini dibangun 1973,” katanya.
Pada 2021, pemerintah kembali menyusun batu grip di beberapa bagian pantai Kota Padang. Salah satunya di dekat Mesjid Putih Al-hakim.
*******