Mongabay.co.id

Konflik Agraria Berlarut, Lebih 20 Ribuan Orang Desak Bebaskan Petani Pakel Banyuwangi

 

 

 

 

 

Sudah jatuh tertimpa tangga. Begitulah kasus yang dialami para petani Pakel Banyuwangi, Jawa Timur ini. Konflik lahan berlarut, warga berupaya terus berjuang mempertahankan ruang hidup dari perkebunan skala besar, PT Bumi Sari, kini harus berhadapan dengan hukum. Tiga orang petani, Mulyadi, Suwarno dan Untung jadi tersangka. Ketiga kena tuduh menyiarkan berita atau pemberitahuan bohong dengan sengaja menerbitkan keonaran di kalangan rakyat.

Solidaritas mengalir. Sebuah petisi desakan “Cabut HGU PT Bumi Sari, Bebaskan 3 Petani Pakel, Banyuwangi dan Wujudkan Keadilan Agraria,” di  Change.org, sudah ditandatangani 21.986  orang sampai Minggu (12/2/23), sore.

Ceritanya, lima warga Pakel, Mulyadi, Suwarno, Untung, Ponari, dan Hariri (sopir) hendak bertolak ke Desa Aliyan menghadiri rapat Asosiasi Kepala Desa Banyuwangi menggunakan mobil desa, 3 Februari sekitar pukul 18.30 WIB.

Di tengah perjalanan di Cawang, Rogojampi Selatan,  sekitar pukul 19.30-an, mobil yang ditumpangi tiba-tiba harus mengurangi kecepatan karena mobil berwarna hitam di depan tiba-tiba berhenti.

Mobil hitam itu diduga sengaja membuat kemacetan agar mobil yang ditumpangi berhenti. Di belakang mobil yang ditumpangi warga Pakel itu ada dua mobil hitam dan putih mendekat hingga posisi terhimpit.

Tiba-tiba, mereka didatangi enam orang tak dikenal yang diduga intel. Keenam orang itu meminta penumpang mobil desa itu turun.

Mulyadi, Suwarno dan Untung, digiring masuk ke satu mobil yang mencegatnya. Hariri yang sebelumnya membawa mobil desa diminta mengendarai mobil itu dikawal empat orang.

Ponari,  juga ikut dalam rombongan mobil desa bersama keempat warga yang diculik ditinggal begitu saja di tempat kejadian.

Penangkapan keempat warga Pakel itu cenderung seperti penculikan karena tak profesional dan tak sesuai prosedur.

Saat ini,  Mulyadi, Suwarno dan Untung,  ditahan di Polda Jawa Timur. Sementara Hariri, sopir mobil desa sudah kembali ke Pakel.

Penangkapan ini diduga terkait ketiga warga Pakel pada Januari 2023 mangkir dari panggilan pemeriksaan Polda Jawa Timur.

Wahyu Eka Setiawan, Direktur Walhi Jawa Timur menilai,  sejak awal kasus ini, institusi Polri, khusus Polda Jawa Timur, menunjukkan ketidakprofesionalannya. Mereka menuntut Polda Jatim segera membebaskan ketiga pejuang Pakel Banyuwangi yang ditahan itu.

Walhi Jawa Timur mendesak ATR BPN, Komnas HAM dan lembaga terkait serius membela hak asasi manusia terutama mereka yang tengah berjuang untuk tanahnya. Pada Januari 2022, warga Pakel juga melaporkan kasus mereka ke Komnas HAM.

Sebelumnya, Mulyadi, Suwarno, dan Untung ditetapkan sebagai tersangka yang dijerat dengan Pasal 14 dan atau 15 Undang-undang Nomor 1/1946 tentang Peraturan Hukum Pidana.

Mereka bertiga dituduh menyiarkan berita atau pemberitahuan bohong dengan sengaja menerbitkan keonaran di kalangan rakyat. Melalui surat Nomor: S. Pgl/174/RES. 1.24/2023/Ditreskrum tertanggal 16 Januari, Polda Jawa Timur memanggil tiga warga Pakel Banyuwangi untuk datang ke Polda Jawa Timur,  19 Januari 2023.

 

Baca juga: Konflik Lahan, Petani Banyuwangi Lapor Mabes Polri

 

Aksi warga Pakel pada Juni 2021 di Polresta Banyuwangi. Foto:Rosdi Bahtiar Martadi

 

Surat baru diterima warga pada keesokan harinya, 20 Januari 2023.Namun, katanya,  dalam surat itu ditemukan kecacatan, tidak ada penjelasan kapan dan dimana peristiwa penyiaran kebohongan itu terjadi.

“Penerapan Pasal Undang-undang Nomor 1/1946 sudah tidak bisa dipakai karena Indonesia memiliki UU Hukum Pidana,” kata Ahmad Sofian, pakar pidana menanggapi penetapan tersangka ketiga warga Pakel dalam diskusi daring publik ‘Kriminalisasi Petani dan Konflik Agraria Pakel, Banyuwangi dalam Pusaran Sengkuni’ akhir Januari lalu.

Menurut dia, Pasal 14 itu baru bisa diterapkan kalau timbul keonaran karena berita bohong. “Harus di cek, itu benar berita bohong atau tidak. Kalau beritanya benar dan bisa dibuktikan di pengadilan, tidak bisa dipidana dengan pasal ini meskipun timbul keonaran. Sementara alat bukti dalam pasal ini berupa saksi, surat, selebaran atau dokumen yang disebarluaskan.”

Herlambang P Wiratrama, pakar hukum Universitas Gajah Mada pun menanggapi kasus ini. Kasus yang terjadi di Pakel ini, katanya,  bukanlah hal baru, hanya mengulang kisah kegagalan dalam penyelesaian konflik agraria.

“Politik hukum agraria kita memang tidak sungguh-sungguh diupayakan untuk selesai, terutama ketika berhadapan dengan kasus-kasus perampasan hak tanah rakyat yang terjadi di masa penguasaan orde baru,” katanya.

Dia bilang, hampir semua kasus yang berkaitan dengan konflik perampasan tanah di masa lalu terkena kriminalisasi. Kondisi ini, berhubungan dengan hukum dan penegakan hukumnya.

“Mereka hanya berhasil memenjarakan petani, tetapi tidak mengubah upaya penyelesaian konflik agraria yang mendasar,” katanya.

Kriminalisasi yang menimpa petani ini, katanya,  sebagai gambaran tanah untuk obyek agraria (Tora) yang gagal diupayakan negara.

“Kriminalisasi petani ini hanya mengulang kisah gagal negara memahami bagaimana seharusnya konflik agraria diselesaikan secara hukum yang berkeadilan.”

Dengan penangkapan petani Pakel oleh aparat ini, katanya, hanya akan menambah korban ketidakadilan agraria.

Kriminalisasi ini, katanya, harus dihentikan karena bentuk pelanggaran hak asasi manusia.

Sepanjang 2020-2023, ada 14 warga Pakel menjadi korban karena perjuangan mereka mempertahankan hak tanahnya.

Sebelumnya, pada 14 Januari 2022, Polresta Banyuwangi memasuki lahan yang warga duduki kembali. Kekerasan pun terjadi terhadap warga dan tim solidaritas perjuangan, yakni, Wulan, Har, Fauzi, dan Esa.

Jauh hari sebelum itu, data Tim Kerja Advokasi Gerakan Rakyat untuk Kedaulatan Agraria dan Sumber Daya Alam (Tekad Garuda)  menyebutkan, pada November 2021, ada 11 warga Pakel yang mendapatkan surat panggilan dari kepolisian, dua jadi tersangka.

Juni 2021, warga Pakel dan tim pendamping hukum mengadukan kasus ini dan audensi dengan Kantor Staf Presiden.  Tak ada respon berarti, bahkan pada Desember 2021, dua warga Pakel kembali mendapatkan surat panggilan dari kepolisian.

Pada 26 Oktober 2022, warga Pakel menyampaikan kasus yang menimpa mereka kepada Hadi Tjahjanto,  Menteri ATR/BPN di KATR/BPN, Jakarta.

Menurut Tekad Garuda, dalam pertemuan itu, KATR/BPN berjanji segera kunjungan ke Banyuwangi dan mengupayakan berbagai langkah penyelesaian.

 

Bertolak ke Jakarta Harun tidak sendiri, dia mengaku ditemani dua kerabatnya yang menjadi korban kekerasan oleh oknum aparat Kepolisian. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Atas rentetan kejadian itu, tim hukum warga Pakel yang tergabung dalam Tim Kerja Advokasi Gerakan Rakyat untuk Kedaulatan Agraria dan Sumber Daya Alam (Tekad Garuda) menuntut beberapa hal.

Pertama, mendesak Komnas HAM untuk investigasi, perlindungan hukum dan berbagai upaya-langkah strategis bagi warga Pakel. Juga, mendesak Kapolri, Kapolda Jatim, dan Kapolresta Banyuwangi untuk menghentikan tindakan kriminalisasi terhadap warga Pakel.

Kedua, mendesak Kementerian ATR/BPN mencabut HGU Bumi Sari. Ketiga, mendesak Kapolresta Banyuwangi mencabut status tersangka dua warga Pakel, atas nama Sagidin, dan Muhadin.

Keempat, menurut Kapolda Jawa Timur mencabut status tersangka tiga warga Pakel:  Mulyadi (kepala desa), Suwarno (kepala dusun), dan Untung (kepala dusun).

Kelima, mendesak Kompolnas untuk evaluasi kinerja Polda Jawa Timur dan Polresta Banyuwangi atas kasus kriminalisasi yang menimpa warga Pakel.

Tekad Garuda juga mendesak, kapolri, Kapolda Jawa Timur, dan Kapolresta Banyuwangi mengusut dugaan tindak pidana penguasaan lahan secara ilegal Bumi Sari.

Persoalan lahan ini berawal pada 1925, sekitar 2.956 warga mengajukan permohonan pembukaan hutan Sengkan Kandang dan Keseran, yang terletak di Pakel, Licin, Banyuwangi kepada pemerintah kolonial Belanda.

Data Walhi Jawa Timur menyebutkan, empat tahun kemudian, pada 11 Januari 1929, permohonan itu dikabulkan. Mereka dapat hak membuka kawasan hutan seluas 4.000 bahu (3.000 hektar) dari Bupati Banyuwangi, R.A.A.M. Notohadi Suryo.

Walaupun mengantongi izin “Akta 1929”, warga Pakel kerap mengalami berbagai tindakan intimidasi dan kekerasan dari Pemerintah kolonial Belanda dan Jepang.

Pasca kemerdekaan, warga Pakel terus berjuang mendapatkan kepastian atas hak pembukaan hutan seperti yang tertuang dalam “Akta 1929”.

Pada 1980-an, lahan kelolaan warga yang masuk “Akta 1929” ini masuk konsesi perusahaan perkebunan Bumi Sari.   Konflik agraria pun terus terjadi hingga kini.

 

Ajukan praperadilan dan galang dukungan

Jauhar Kurniawan, anggota Tekad Garuda mengatakan, tim hukum warga Pakel memilih menempuh upaya praperadilan.

“Untuk mencari keadilan dan mewujudkan keadilan agraria di Jawa Timur, khusus kaum tani dan masyarakat marjinal, kami menempuh praperadilan.”

Pada 30 Januari lalu, tim mendaftarkan kasus penetapan tersangka warga Pakel ini di PN Banyuwangi.

Mulai 20 Januari 2023, katanya, Tekad Garuda juga berupaya memperluas dukungan dengan menggalang Surat Solidaritas dari akademisi dan organisasi masyarakat sipil Indonesia.

Sampai 30 Januari 2023, tercatat ada puluhan akademisi dan pakar hukum yang bergabung dalam Surat Solidaritas ini antara lain Universitas Indonesia, Universitas Gadjah Mada, Universitas Airlangga, dan beberapa akademisi kampus lain.

Surat Solidaritas yang terkumpul akan dikirimkan ke Presiden Joko Widodo, Menteri ATR/BPN, Kapolri, Komnas HAM, dan Kompolnas.

“Dalam surat itu, kami mendesak Presiden Jokowi dan seluruh institusi pemerintah terkait segera menyelesaikan kasus yang dialami warga Pakel,” kata Taufiqurochim, pengurus Tekad Garuda.

 

Sumber: Tekad Garuda

 

***********

Exit mobile version