Mongabay.co.id

Mayoritas Rumpon di Perairan Maluku Utara Tak Berizin, Kenapa?

 

Pemerintah Indonesia telah menerbitkan berbagai kebijakan untuk pengelolaan rumpon sejak tahun 1997, yaitu Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen KP) No.26/2014 dan saat ini telah direvisi menjadi Permen KP No.18 tahun 2021. Meski begitu, di Maluku Utara pemasangan rumpon tanpa izin masih marak. Ribuan rumpon tak berizin masih berseliweran di berbagai wilayah laut di daerah ini.

Sebelumnya pertengahan Juli 2022 lalu, Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Maluku Utara (DKP Malut) dibantu TNI AL dan nelayan, memutus tali puluhan rumpon di Selat Obi, Halmahera Selatan Maluku Utara. Ini sekaligus menjawab aspirasi nelayan yang resah dengan keberadaan rumpon  illegal yang menganggu aktivitas nelayan setempat.

Kepala DKP Maluku Utara Abdullah Assagaf waktu itu meyampaikan bahwa rumpon itu menyalahi Permen KP No.26/2014 tentang rumpon.

“Penempatan rumpon itu jaraknya berkisar  2 s/d 5 mil, sementara dalam aturan menegaskan,  harus berjarak 10 mil, sehingga kami mengambil langkah tegas melakukan pemutusan rumpon tersebut,” jelasnya.

baca : Merugikan Nelayan Pulau Obi, Rumpon Liar Dibersihkan

 

Proses pelepasan rumpon yang penempatannya tak sesiai aturan oleh tim DKP Malut bersama petugas dari Lanal Ternate bersama nelayan. Foto : DKP Maluku Utara

 

Dia menjelaskan Surat Izin Pemasangan Rumpon (SIPR) itu bisa diurus nelayan di Dinas Penanaman Modal Terpadu Satu Pintu (DPMTSP). Ada syarat yang harus dipenuhi, salah satunya tidak mengganggu alur  pelayaran.

“Dalam  Permen No.34/2014 tentang rumpon diatur satu kesatuan dengan armada  tapi di Malut tidak. Bikin rumpon sandiri tidak ada kapal akhirnya tidak bisa mengajukan perizinan. Kalau ada yang ajukan, kita tidak akan rekomendasi ke DPMTSP untuk diproses,” katanya. Dalam Permen No.34/2014, rumpon satu kesatuan dengan kapal mulai dari 5 GT, 10 GT sampai 20 GT.

Tahun ini DKP Malut berencana kembali menertibkan rumpon ilegal di wilayah perairan Maluku Utara.  Abdullah Assagaf, Kamis (12/1/2023) mengungkapkan, berdasarkan data yang ada, rumpon tak berizin mencapai 1.300 unit, tersebar di 10 kabupaten/kota. Dari jumlah itu, baru 89 rumpon berhasil ditertibkan.

“Kita keterbatasan biaya dan sarana untuk mendeteksi sekaligus menertibkan rumpon ilegal di 10 kabupaten/kota. Tahun 2023 ini kami akan lanjut menertibkannya,” jelasnya.

Diakui rumpon ilegal kebanyakan berasal dari nelayan provinsi tetangga, seperti Maluku dan Sulawesi Utara. Hal ini menganggu nelayan lokal, serta mengancam kelestarian sumber daya kelautan dan perikanan di wilayah perairan Malut.

baca juga : Pentingnya Alokasi Ruang dan Perizinan Rumpon untuk Menjaga Keserasian Ruang Laut

 

Salah satu rumpon di di perairan Obi, Halmahera Selatan, Maluku Utara. Foto : MDPI

 

Dewan Pimpinan Daerah Himpunan Nelayan seluruh Indonesia (HNSI) Provinsi Maluku Utara Hamka Karapesina ikut menyayangkan   penyebaran rumpon di perairan maluku utara yang tidak lagi mempertimbangkan jarak dan kuato yang diijinkan dalam satu wilayah sesuai aturan Permen KP No.18/2021 dan Kepmen KP No.7/2022 .

Sehingga DPD HNSI mendukung langkah DKP Malut menata rumpon karena banyak rumpon yang belum berizin dan kebanyakan perusahan besar dari luar Malut, dan banyak rumpon tidak menjadi kesatuan dengan armada kapal. Selain itu kuota rumpon dalam satu perairan sudah melebih batas acuan jarak dan jumlah .

Kondisi itu membuat DPD HNSI Malut menggelar berbagai diskusi publik dan talkshow radio yang menghadirkan pihak DKP, Kepala PTSP, Danlanal, Kepala PPN dan beberapa instansi terkait.

Penempatan rumpon ilegal itu menjadi embrio konflik antara nelayan lokal dengan nelayan dari luar Malut. Di beberapa lokasi, rumpon sangat padat seperti laut Halmahera Utara di perairan Loloda, Perairan Kepulauan Sula bahkan sekitar perairan Ternate, sehingga perlu ketegasan stakeholder terkait terutama DKP dan PSDKP.

HNSI Malut merekomendasikan penertiban dan penataan rumpon, regulasi dan mekanisme perizinan SIPR yang mudah, dan izin penggunaan ruang laut yang sebelumnya diajukan ke KKP agar dikembalikan ke daerah.

Selain itu, sosialisasi Permen KP No.18/2021 kepada nelayan agar tidak menambah rumpon sebelum dilakukkan penataan, serta distribusi dan penyebaran serta pengawasan rumpon milik nelayan luar Malut oleh DKP dan PSDKP KKP.

Kuota rumpon di bawah 12 mil yang merupakan kewenangan Gubernur Malut sesuai aturan Permen KP No.18/2021 sudah seharusnya di tetapkan sebelum dilakukan penataan. Perlu juga penambahan alokasi rumpon di wilayah kurang dari 12 mil di WPP 715 karena alokasi 75 unit sangatlah kecil.

baca juga : Pintu Masuk bagi Para Pencuri Ikan adalah Rumpon

 

Aktivitas seorang nelayan tuna di sekitar rumpon di perairan Obi, Halmahera Selatan, Maluku Utara. Foto : MDPI

 

Sedangkan Putra Satria Timur, Fisheries Lead Masyarakat dan Perikanan Indonesia (MDPI) lembaga pendamping nelayan fair trade di Maluku Utara melihat keberadaan rumpon semakin menjamur dan tidak terkontrol. Pemasangannya banyak tidak sesuai aturan, dan tanpa mempertimbangkan kesesuaian pemanfaatan ruangan, seperti pemasangan rumpon di jalur kapal, dan beririsan dengan kabel bawah laut.

Putra mengatakan keberadaan rumpon yang berlebihan menyebabkan ikan semakin banyak dan mudah tertangkap. Hal ini juga, membuat laju pertumbuhan ikan tidak sesuai laju penangkapan dan mengganggu ruaya ikan.

Selain itu penangkapan di rumpon juga biasanya akan menghasilkan ikan dengan ukuran jauh lebih kecil. Belum lagi rumpon yang tidak diatur telah banyak menimbulkan konflik di antara nelayan.

 

Exit mobile version