- Indonesia sudah lama dikenal dunia sebagai negara pemilik ekosistem mangrove terluas yang mencapai 3.364.076 hektare. Luasan tersebut memberi banyak manfaat untuk kehidupan di alam, terutama kemampuan untuk menyerap karbon yang bisa mengendalikan perubahan iklim
- Bersama ekosistem gambut, mangrove ditetapkan sebagai bagian dari ekosistem lahan basah yang memiliki peran dan fungsi sangat penting untuk alam dan kehidupan. Ekosistem gambut di Indonesia sendiri luasnya mencapai 13,4 juta ha
- Ekosistem lahan basah memiliki peran dan fungsi sangat penting untuk menjaga keseimbangan ekosistem, menjadi habitat bagi banyak fauna, dan menjadi sumber penghidupan bagi masyarakat sekitar
- Agar ekosistem lahan basah bisa dikelola dengan baik dan dijaga kelestariannya, Pemerintah Indonesia membuat strategi nasional (Stranas) pengelolaan ekosistem lahan basah untuk mendukung Visi Indonesia 2045, net zero emission 2060, serta Tujuan Pembangunan Berkelanjutan/Sustainable Development Goals (TPB/SDGs).
Salah satu fungsi mangrove yang sudah dikenal luas oleh masyarakat adalah sebagai penyimpan cadangan karbon yang sangat efektif. Namun selama kurun waktu 2010 hingga 2019, tutupan mangrove sudah menghilang hingga lebih dari 190 ribu hektare.
Padahal selain fungsi tersebut, mangrove juga menjadi bagian dari ekosistem lahan basah yang sangat penting untuk menjaga keseimbangan ekosistem, menjadi habitat bagi banyak fauna, dan menjadi sumber penghidupan bagi masyarakat sekitar.
Peran yang sangat vital itu, selain diemban oleh mangrove, juga oleh ekosistem gambut tropis. Namun sayang, hutan gambut juga mengalami degradasi hingga mencapai 1,3 persen per tahun. Sementara mangrove mengalami deforestasi hingga 0,7 persen per tahun.
Semua data tersebut dipublikasikan resmi oleh Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional Republik Indonesia/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Kemen PPN/BAPPENAS) saat menggelar peringatan Hari Lahan Basah sedunia yang digelar pada 2 Februari 2023.
Menteri PPN/Kepala BAPPENAS Suharso Monoarfa menyebut, sudah terjadi alih fungsi lahan untuk kepentingan ekonomi seperti tambak, lahan pertanian/perkebunan, dan permukiman. Fakta itu diperburuk dengan ketiadaan sinkronisasi perencanaan pengelolaan ekosistem lahan basah yang disinyalir menjadi penyebab utama semakin berkurangnya kelestarian ekosistem gambut dan mangrove.
baca : Riset: Perlindungan Lahan Gambut dan Mangrove Kunci Mencapai Tujuan Iklim Indonesia
Menurut dia, melaksanakan sinkronisasi menjadi penting karena itu akan memberi hasil maksimal dalam pengelolaan ekosistem gambut dan mangrove. Terlebih, karena kedua ekosistem tersebut menjadi bagian penting dalam pembangunan rendah karbon dan pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan.
Tanpa ada pengelolaan yang baik, ekosistem gambut dan mangrove akan mengalami penurunan daya tampung dan daya dukung sebagai penyangga pembangunan dan kehidupan. Juga, kedua ekosistem bisa melepaskan kembali emisi karbon ke atmosfer.
“Kondisi tersebut secara keseluruhan menjadi tanggung jawab multi stakeholder baik di tingkat nasional maupun subnasional,” ungkap Suharso Monoarfa dilansir dari paparan resmi yang dirilis bersamaan.
Kata dia, pengelolaan dua ekosistem perlu dilakukan dengan pendekatan menyeluruh agar fungsi dan peran ekosistem bisa tetap terjaga dengan baik. Dengan demikian, pemeliharaan tutupan lahan bagi kelestarian keanekaragaman hayati, penurunan emisi karbon, dan peran ekosistem lahan basah untuk penyangga aspek perekonomian bisa terus berlanjut.
Agar kedua ekosistem bisa menjalankan peran dan fungsinya dengan baik, maka diperlukan strategi nasional pengelolaan lahan basah dengan baik. Tujuannya, agar dokumen strategi tersebut bisa menjadi salah satu rujukan dalam menyusun kebijakan, rencana, dan program pengelolaan kedua ekosistem bagi semua pemangku kepentingan.
“Baik Pemerintah maupun non Pemerintah,” ucap dia.
baca juga : Lahan Basah dan Kearifan Permukiman Masyarakat Sumatera Selatan
Selain itu, dokumen strategi nasional juga bisa menjadi rujukan dalam melaksanakan perumusan kebijakan pengelolaan ekosistem gambut dan mangrove di dalam dokumen perencanaan nasional dan daerah, baik itu dalam jangka panjang, menengah, maupun tahunan.
Sebagai dokumen rujukan, Strategi Nasional Pengelolaan Lahan Basah sudah melewati sinkronisasi dengan berbagai dokumen dan rencana pembangunan terkait ekosistem gambut dan mangrove. Selain itu, dokumen akan terus dikomunikasikan dalam forum multpihak untuk menjawab dinamika dan tantangan pada pengelolaan kedua ekosistem tersebut.
Integrasi Kebijakan
Pelaksana Tugas (Plt) Deputi Bidang Kemaritiman dan Sumber daya Alam Kemen PPN/BAPPENAS Vivi Yulaswati menerangkan bahwa strategi nasional (Stranas) dijalankan untuk mendukung capaian target Indonesia menuju Visi 2045, net zero emission 2060 atau lebih cepat, serta Tujuan Pembangunan Berkelanjutan/Sustainable Development Goals (TPB/SDGs).
Dia menyebutkan, penyusunan Stranas dilakukan bersama dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Pertanian, Kementerian PUPR, Kementerian ATR/BPN, Badan Riset dan Inovasi Nasional, Badan Informasi Geospasial, serta Badan Restorasi Gambut dan Mangrove.
Dokumen tersebut memuat strategi yang membahas seluruh aspek dalam pengelolaan mangrove dan gambut. Strategi tersebut mencakup penguatan kerangka regulasi, manajemen data dan informasi, teknologi, partisipasi masyarakat, skema pendanaan berkelanjutan, kerangka pemantauan dan evaluasi.
“Juga, penegakan hukum dalam pengelolaan dan perlindungan ekosistem gambut dan mangrove,” ungkap dia.
baca juga : Menjaga Lahan Basah, Merawat Peradaban Bangsa Indonesia
Vivi Yulaswati menambahkan, dengan hadirnya Stranas, maka operasional lahan basah akan diintegrasikan ke dalam dokumen perencanaan di tingkat nasional. Sebut saja, Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2025-2045, RPJ Menengah Nasional (RPJMN) 2025-2029, hingga dokumen perencanaan tingkat daerah dari berbagai pemangku kepentingan.
Selain kebijakan di level nasional, dia berjanji kalau Stranas akan diimplementasikan dalam dokumen rencana pembangunan di tingkat bawah, mulai dari provinsi hingga kabupaten atau kota. Dengan demikian, pengelolaan ekosistem gambut dan mangrove diharapkan bisa lebih baik lagi.
Secara garis besar, ada empat target kuantitatif Stranas yang sudah ditetapkan. Pertama, aspek tutupan lahan. Ini diharapkan secara bersamaan bisa meningkatkan tutupan lahan dan menurunkan laju degradasi gambut dan deforestasi mangrove.
Restorasi gambut ditargetkan pada lahan seluas 3.442.455 ha, dengan target penanaman kembali vegetasi seluas 1.262.710 ha. Sementara, rehabilitasi mangrove ditargetkan seluas 245.087 ha, dengan target penurunan laju deforestasi hingga 6.989 ha per tahun pada 2045.
Kedua, aspek keanekaragaman hayati. Target ini ditetapkan untuk mempertahankan, meningkatkan kualitas, dan meningkatkan jumlah unit area konservasi, sebagai bentuk peningkatan lembaga pengelolaan.
Ketiga, aspek penurunan emisi. Pada ekosistem gambut ditargetkan penurunan emisi hingga 84-93 persen, dan ekosistem mangrove ditargetkan penurunan emisi hingga 87 persen. Target itu diharapkan bisa tercapai pada 2045 mendatang.
Keempat, aspek ekonomi. Target ini untuk mendorong pemanfaatan ekonomi dari upaya restorasi gambut dan rehabilitasi mangrove dengan meningkatkan lapangan kerja hijau, serta meningkatkan produksi produk asli gambut dan mangrove hingga mencapai 32,98 juta ton.
Diketahui, dengan total 3.364.076 ha hutan mangrove, karbon yang bisa diserap diperkirakan mencapai 11 miliar ton dengan nilai perkiraan moneter sebesar USD66 miliar. Sementara, luas ekosistem gambut luasnya mencapai 13,4 juta ha dan bermanfaat untuk pembibitan, penyediaan bahan baku, serta sebagai habitat satwa liar.