Mongabay.co.id

Cerita Tolak Tambang Batubara dari Lereng Bukit Biru

 

 

 

 

 

Pondok berlantai tanah ini berisi tumpukan pupuk kandang. Dari pondok ini tampak gunung menjulang tinggi. Orang-orang biasa menyebut Bukit Biru, terletak  di Kecamatan Loa Kulu, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur.

Di kaki bukit inilah tersimpan batubara yang diperebutkan para penambang.  Legimin,  Ketua RT9 Desa Sumber Sari mengatakan, Pemerintah Kutai Kartanegara menetapkan desa yang mayoritas dihuni transmigran asal Jawa ini sebagai lumbung pertanian.

Di desa itu, 90% warga sebagai petani. Mereka tanam padi, sayur mayur, ikan dan peternakan semua tersedia di sini.

“Pertanian lengkap,” katanya.

Peternakan  sapi di Loa Kulu, banyak dilakukan warga RT 9. “Petani ya nabung. Tiap hari kita nabung rumput. Kita nda bisa  uang. Setahun dua tahun baru jadi uang.”

Tarno, petani di Desa Sumber Sari bilang, memilih tanam sayur mayur.  Dia kelola lahan seluas satu hektar, tanam sayur jenis daun, seperti, kangkung, bayam, selada, kemangi.

Hampir setiap hari panen sayur.  Omzet sudah puluhan juta rupiah sekali panen.

Sapi dan sayuran, sama sama menguntungkan bagi warga. Di RT 7, pengelola peternakan sapi ada yang kelompok dan mandiri.

Karena predikat yang menjaga sistem pertanian, berbagai penghargaan sudah diterima desa berpenduduk 3.800 jiwa ini.

Kapolri berikan penghargaan sebagai kampung tangguh. Kodim juga menetapkan kampung andalan dan DLH Kukar pada 2018 sebagai kampung iklim.

Sutarno, Kades Sumber Sari bilang, saat COVID-19 orang repot pangan, tetapi masyarakat  desa ini tidak terpengaruh. “Kemarin bupati pengadaan beras, saya sempat mencarikan sekitar 30 ton untuk membantu wilayah lain,” katanya.

Disebut kampung tangguh predikat dari polri,  kata Legimin, karena prestasi masyarakat dalam mempertahankan lumbung pangan saat puncak COVid-19.

“Dapat nomor satu kemarin se Kalimantan Timur.”

 

Baca juga: Tambang Batubara Ilegal Masih Marak di Kalimantan Timur

Petani di Desa Sumber Sari, bertekad bertani tak ingin ada tambang batubara. Foto: Abdallah Naem/ Mongabay Indonesia

 

Warga pun diberikan 700 pengajuan pengurusan sertifikat gratis dari pemerintah.  Keberhasilan lain dari sini adalah sebagai desa wisata sejak 2013.

Di desa beredar kabar akan ada tambang masuk. Warga bergerak mencari akal menolak tambang. Titik tambang itu tepat di kawasan strategis pertanian mereka.

Sejak 2011,  mereka menolak kehadiran PT Borneo Mitra Sejahtera (BMS). Perusahaan tambang batubara yang izin diterbitkan ke Pemerintah Kutai Kartanegara.

Dengan julukan desa wisata,  mungkin tambang akan susah masuk.

Apakah masyarakat bulat menolak tambang batubara? Menurut Legimin, awalnya terbelah jadi dua. Ada yang menolak dan terdapat warga diam diam  menerima.

Cara perusahaan membelah warga melalui isu kepemilikan lahan. Cara ini sudah lazim dilakukan perusahaan tambang di Kalimantan Timur. Baik tambang skala besar maupun yang kecil.

Perusahaan menggunakan nama seseorang yang konon katanya pemilik lahan warga sebelumnya. Orang ini mengaku mendapatkan hak dari Kedaton Kutai Kartanegara mengklaim menguasai lahan warga yang berstatus kepemilikan resmi seluas 170 hektar.

Dari tangan orang inilah perusahaan BMS berurusan membeli tanah yang akan ditambang. Tanah yang diklaim ini terus dihibahkan ke beberapa warga untuk mengurusnya. “Jadi, warga kami bentrok dengan warga kami juga,” katanya.

Padahal,  Legimin pernah mengumpulkan 25 sertifikat milik warga.  “Saya legalisir ke BPN, itu diakui,” katanya.

Dia bilang, warga tak pernah menerima uang harga yang disebut sebagai pembalian dari perusahaan.

Dari pengalaman jadi ketua RT dua periode sejak 2012, dia lihat salah satu ancaman dan teror dari preman.   Dulu,  katanya, hanya  RT9 kuat menolak tambang.

Sebagain warga diiming iming mendapat pemasangan PDAM gratis. Warga di RT 9 tetap kompak menolak tawaran itu.

 

“Kalau ada yang mau dianggap sudah jadi musuh.”

 

Hamparan pertanian warga Desa Sumber Sari, di Kutai Kartanegara. Foto: Abdallah Naem/ Mongabay Indonesia

 

Sebagian RT lain justru banyak pasang PDAM gratis dari perusahaan.

Warga kemudian temukan dokumen analisis mengenai  dampak lingkungan (Amdal) perusahaan.

Di dalam amdal itu,  kata Legimin, masyarakat sudah menyatakan persetujuan yang dibuktikan dengan tanda tangan warga.

“Padahal, warga menolak semua.”

Belum lagi,  dalam Amdal itu disebut di kawasan yang akan dibongkar tidak terdapat pemukiman.

Alat berat sudah masuk di desa sebelah saat BMS sudah mengklaim membebaskan sebagian lahan. Saat melintas di lahan warga desa menghadang alat berat.

Dia memberi tahu untuk memutar pulang tetapi operator perusahaan tetap tidak mau. Warga memukul kunci alat berat itu. Tari kemudia dilaporkan ke Polres sebagai perusakan alat berat. Legimin dipanggil ke kantor polisi mewakili warga.

Legimin bilang, sebetulnya perusahaan lebih dulu merusak lahan warga. “Masuk tanpa izin. Pohon kopi sudah digusur. Sayuran warga digusur sudah mau panen.”

Saat itu, polisi tidak melanjutkan perkara ini karena perusahaan sudah melakukan perusakan  lebih dahulu di lahan warga.

 

Jalan menuju tambang batubara ilegal yang diprotes warga. Foto: Abdallah Naem/ Mongabay Indonesia

 

Anti tambang  

Kini,  warga Sumber Sari ada kesepakatan bahwa kepala desa, atau rukun tetangga (RT) yang terpilih harus menolak tambang. Kalau kades atau RT ketahuan menerima pemberian dan terbukti menyokong tambang, warga desa akan melengserkannya. “Syarat utama menjadi pemimpin harus menolak tambang,” ujar Legimin.

Sutarno, Kepala Desa Sumber Sari yang menjabat sejak 2019 bilang, kalau mendukung tambang akan ditinggalkan warga.

Kades juga memiliki prinsip sama dengan warga dan Ketua RT. “Kita mendukung warga karena dari awal menolak tambang,” katanya.

Alasan penolakan sederhana, katanya, karena tempat hidup dengan pertanian dan sumber mata air.

Dia bilang,   sungai sebagai sumber pengairan pertanian ke sawah dan perikanan budidaya.

Apalagi,  kata kades pengelolaan limbah dan lingkungan tidak jelas. “Paling gali, tinggal. Gali tinggal, maka warga menolak.”

Sebagai pemerintah desa, katanya, sama-sama  ingin tidak ada tambang. “Perjuangan juga tidak gampang. Mulai rapat, demo. Demopun dinamikanya begitu. Sudahnya kita  mengusir tapi mereka tetap jalan.”

Cerita tentang naiknya Legimin menjadi Ketua RT berawal dari ketua RT sebelumnya ternyata diam-diam mendukung tambang.

Warga mencoba menghadirkan ketua RT sebelumnya di balai, tetapi karena kerap menghindar maka mereka berembuk tanpa kehadiran RT.

“Belum selesai, langsung dicopot jabatan, saya wakilnya selama empat tahun. Langsung saya dinaikkan,” kisah pria 52 ini.

Dia dipilih warga untuk mempertahankan lahan pertanian dan melawan pertambangan. Kini, Legimin sudah menjabat dua periode.

Legimin getol melawan setiap rencana tambang yang akan masuk desa. Legimin dan tokoh masyarakat lain bekerja membangun sistem keamanan yang ketat.

Mereka menyaring warga desa yang boleh ikut dalam pembicaraan hal penting di kampung terkait perjuangan menolak tambang.

 

Pelabuhan yang jadi ‘gudang’ penyimpanan batubara ilegal. Foto: Abdallah Naem/ Mongabay Indonesia

 

Mengusir tambang ilegal

Pada 2020,  seorang warga menemui Legimin. Warga itu menyampaikan ada orang yang akan menambang batu untuk kebutuhan membangun rumah. Orang yang menyuruh menemui ketua RT adalah pemilik perusahaan tak bernama.

Orang itu tak berani menemui RT langsung.  Areal yang dimaksud masuk konsesi yang dulu IUP BMS akan menambang batubara.

Legimin memberi restu. Dia pikir kalau hanya batu untuk kebutuhan membangun rumah silakan saja. Apalagi,  katanya sekaligus memperbaiki jalur jalan.

Dua minggu bekerja Legimin tak mengecek. Seorang warga menyampaikan kepada dia bahwa itu aktivitas menggali batubara.

Legimin bergegas ke lokasi tambang. Dia minta operator berhenti menggali batubara karena berbeda dengan pembicaraan awal. Operator akskavator berhenti.

Sebulan kemudian sindikat pencuri batubara ini sudah keluar membawa batubara tiga truk di siang bolong. Mereka melintasi jalan kampung dan melewati jalan wisata ke air terjun.  Warga curiga beberapa truk pulang- pergi tertutup terpal biru.

Warga menelusuri asal truk. Ternyata penambang bergeser ke arah hulu, agak jauh dari pemukiman warga.  Di sana mereka kembali membongkar batubara.

Bersama warga lain, ketua RT melaporkan ke kepala desa perihal aktivitas tambang ilegal ini. Warga kampung menghadang truk yang memboyong batubara.

Warga membuat palang menggunakan batu di sebuah ruas jalan di Sumber Sari. Mobil pengangkut batubara terpaksa berhenti.

Tak lama tiga orang preman tambang datang menantang warga.  Warga melawan dengan menenteng kayu.

Preman itu memilih mundur. Mungkin karena jumlah warga yang makin membesar. Legimin menelpon polisi.  Polisi datang mengamankan mobil truk dan sebuah mobil sebagai barang bukti.

Beruntung,  bentrok tidak terjadi. Belakangan warga tahu kalau mobil dipenuhi  parang panjang yang sengaja disiapkan oleh preman.

“Sampai sekarang masih ada di Polres truknya,” katanya.

Kampung ini sudah dicanangkan sebagai kampung tangguh,  kata Legimin,  jadi danramil dan polsek tahu dan memihak warga.

Sindikat tambang batubara ilegal di RT 9 ini sempat bekerja dua bulan sebelum berhenti. Mereka sempat mengeluarkan tiga truk batubara ke pelabuhan.

Pada pertengahan 2022 sindikat tambang batubara ilegal lain kembali beraksi di spodono RT 5 desa Sumber Sari. Para penambang tak lagi  membawa batubara melintasi jalan di desa tetapi memilih langsung ke luar desa masuk ke jalan tambang (houling) PT MPP  lalu keluar melintasi jalan perkampungan.  Mereka tahu jika melintas di jalan desa akan dihadang warga.

Aktivitas tambang ilegal ini masuk kategori tambang ilegal besar, karena terdapat 15 alat berat ekskavator bekerja membongkar hulu kawasan pertanian desa. Mereka bekerja sudah dua bulan saat warga menggeruduk ke hulu.

 

Para petani perempuan yang bertahan dan bertekad tak mau ada tambang batubara di Desa Sumber Sari. Foto: Abdallah Naem/ Mongabay Indonesia

 

 

Saat tambang masuk, warga mulai rasakan dampak. Sungai Pelai yang selama ini menjadi andalan pengairan pertanin keruh. Air limbah tambang masuk dalam waduk.

Tarno bilang, air keruh dari tambang mempengaruhi hasil padi. Waduk ini andalan mengairi pertanian dua desa lain yakni, Ponoragan dan Bukit Biru.

Warga beserta ketua-ketua RT,  aparat desa mendatangi area tambang. Mereka mau menghentikan kegiatan ilegal itu.  “Kita ke situ sudah tidak dihiraukan. Mungkin mereka merasa banyak dekengan. Kerja aja dia,” katanya.

Merasa tak digubris para tokoh masyarakat kecewa. Beberapa hari kemudian mereka mendatangkan massa lebih banyak menggelar aksi memaksa berhenti membongkar hulu.

Ratusan warga berbondong-bondong mendatangi areal tambang awal agustus 2022. Mereka bergantian berorasi meminta aparat dan pemerintah pusat turun tangan menghentikan aktivitas tambang itu.   Tambang berhenti.

Dalam aksi itu warga terpancing emosi. Mereka membakar tandon dan merusak pondok milik perkerja tambang. “Namanya orang banyak kita tidak bisa ngawasi satu satu,” kata Legimin.
Karena itu, penambang mengancam melaporkan warga. Hanya ancaman karena aktivitas mereka ilegal.

Pemain tambang ilegal datangkan preman untuk bujuk petinggi kampung terima tambang. Tak mempan, bos tambang juga datangkan seorang kepala sekolah SD, untuk membujuk ketua RT  agar tak menghalangi kehadiran tambang.

Orang itu bilang kalau warga menerima akan bangun jalan wisata dan dapatkan paket sembako.

Legimin tak tergiur.

Tak hanya bujuk ray uke ketua RT, Sutarno  pun sama.

 

Alat berat yang mengeruk batubara dan memasukkan dalam truk. Foto: Abdallah Naem/ Mongabay Indonesia

 

***

Mongabay juga menelusuri jejak rute batubara ilegal diangkut hingga ke pelabuhan penampungan. Batubara ini dibawa dengan truk melintasi jalan keluar dari Sumber Sari. Mereka membuat jalur tak melintasi jalan desa karena khawatir dihadang warga.

Perilintasan batubara ini ke Desa Loh Sumber, Kecamatan Loa Kulu. Di desa yang bertetangga dengan Sumber Sari ini juga menentang pengunaan jalan oleh tambang batubara.

Karena tak bisa melintasi Desa Loh Sumber, Dusun Merangan, mereka membuat jalur khusus memotong jalan untuk bisa lolos sampai ke jalan poros kecamatan hingga sampai ke pelabuhan.

Pelabuhan ini berpagar atap seng dan tembok terletak di tepi Sungai Mahakam,  persis depan Jalan poros Tenggarong– Samarinda. Di pelabuhan itu,  Mongabay melihat tumpukan batubara diduga dari Sumber Sari pada 29 Desember 2022.

 

 

Pertanian menjanjikan

Sektor pertanian maupun peternakan menjanjikan kehidupan  jangka Panjang. Warga sudah menghitung matang mengapa harus mempertahankan pertanian daripada menerima tambang. Kalau mempertahankan tanah, warga terus menerus memproduksi hasil tani.

Legimin contohkan hanya mengelola beberapa petak sayur seperti tanam kangkung, bayam dan sawi di lahan setengah hektar lebih bisa sering panen.  Dia bilang, panen kangkung tiap hari.

“ Bisa Rp5 juta setiap minggu.”

Perjuangan menolak tambang yang awalnya hanya dari RT 9, kini terus meluas. Pelan-pelan warga Desa Sumber Sari ikut menolak. Bahkan kelembagaan di desa juga ikut mendukung perjuangan warga melawan tambang

 

“Sekarang merata, satu desa menolak tambang.”

 

Exit mobile version