Mongabay.co.id

Kala Masyarakat Lembah Grime Nawa Tolak Sawit, Pemerintah Jayapura Evaluasi Izin Perusahaan

 

 

 

 

 

 

Berburu dan meramu dan berkebun, begitulah kehidupan masyarakat adat di Lembah Grime Nawa, Papua. Mereka hidup dari hutan. Setidaknya, ada tujuh suku berdiam di lembah yang terletak di Kabupaten Jayapura, Papua ini. Ada Suku Kemtuk, Gresi, Namblong, Uria, Elseng, Aotaba, dan Tecuari. Mereka tinggal dan berpencar di lembah yang mengalir dua sungai besar, Grime dan Nawa di Distrik Yapsi, dan Unurumguay.

Suku Kemtuk, Gresi, Namblong, Uria, Eleseng, Aotaba berdiam di dekat Airu, berbatasan dengan Yalimo. Kemudian di Distrik Kemtuk, Kemtuk Gresi, Namblong, Nimbokrang, Nimboran, Unurumguay, dan Yapsi tinggal marga sisanya.

Matias Sawa,  Ketua Dewan Adat Suku (DAS) Namblong, mengatakan, masyarakat Lembah Grime Nawa hidup sangat bergantung dari hasil kebun, berburu dan meramu di hutan, maupun menangkap ikan.

Hasil dari sana, katanya, mereka gunakan untuk konsumsi keluarga, dan jual ke Pasar Genyem, Hamadi, atau Pasar Pharaa di Sentani.

Dalam hutan Grime Nawa ini, kata Matias,  tersimpan kekayaan keragaman hayati flora dan fauna. Setidaknya, satwa di dalam hutan ini ada rusa, babi, burung taun-taun, kakatua merah, kakatua hitam, kakatua putih, cenderawasih, nuri, burung nazar, kuskus pohon, maleo, beo, dan masih banyak lagi. Untuk flora antara lain, anggrek, rotan, tali kuning– sebagai bahan obat-obatan–, masoi, gaharu dan lain-lain lagi.

Kehidupan mereka yang bergantung alam sedang terusik dengan kehadiran perusahaan perusahaan sawit skala besar, PT Permata Nusa Mandiri (PNM).  Perusahaan dapat izin usaha perkebunan (IUP) seluas 30.920 hektar dari Gubernur Papua melalui Badan Perizinan Terpadu dan Penanaman Modal Papua pada 28 Maret 2014 di Distrik Unurumguay, Namblong, Nimboran, Nimbokrang, Kemtuk, dan Kemtuk Gresi.

Pada tahun sama,  izin pelepasan kawasan hutan (IPKH) keluar dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) seluas 16.182,48 hektar.  Sebagian izin berada pada areal penggunaan lain (APL) seluas 15.817,52 hektar.

“Masyarakat ini tidak tahu ada perusahaan perkebunan sawit masuk ke wilayah adat mereka, bukan merupakan budaya mereka untuk menanam sawit. Hari ini, mereka sangat risau karena tanah dibuka untuk lahan sawit,” kata Matias, tahun lalu.

PNM mendapatkan izin lokasi melalui surat keputusan Bupati Jayapura pada 2011 seluas 32.000 hektar.  Izin diperpanjang pada 2014, perpanjang lagi pada 2017 di Distrik Unurumguay, Namblong, Nimboran, Nimbokrang, Kemtuk, dan Kemtuk Gresi.

Untuk hak guna usaha (HGU) dari Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertahanan Nasional (ATR/BPN) pada 2018 seluas 10.370,47 hektar di Kampung Beneik, Distrik Unurmguay dan Kampung Benyom Distrik Nimbokrang.

Dari luas HGU, perusahaan sudah membuka hutan dan melakukan pembibitan di Kampung Beneik, Distrik Unurumguay.

Di hutan adat keret (kepala suku) Tecuari perusahaan sawit yang sama sudah masuk dan membuka lahan sejak 2001.

Abner Tecuari, Kepala Suku Tecuari mengatakan, PNM adalah perusahaan sawit pertama yang masuk di wilayah adatnya.

Penandatangan pelepasan tanah adat saat itu adalah kakak laki-lakinya yang saat itu menjabat sebagai kepala suku, Costant Tecuari.

Mereka sempat bersitegang antara saudara, tetapi karena Costant kepala suku, tidak ada yang berani melawan.

Berawal dari situ, perusahaan membabat hutan adat mereka. Abner Tecuari,  Kepala Suku yang baru berjuang melawan kembali PNM agar meninggalkan wilayah adat mereka.

”Saya tidak setuju ada perkebunan sawit di tanah ini. Jadi saudara-saudara yang pasang portal saya sudah peringatkan harus jaga hutan, tanah, kali, lestarikan hutan.”

“Kalau sampai perusahaan masih membangkang saya akan mengundang massa ke camp perusahaan.”

Setelah pasang portal, ada konsolidasi ke kampung-kampung.

Masyarakat menyerahkan surat penolakan atas kehadiran PMN dibawa sampai ke Pemerintah Kabupaten Jayapura pada 7 Maret 2022. Dengan dukungan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), seperti, Pengkajian dan Pemberdayaan Masyarakat Adat Papua  (PT-PPMA), Walhi Papua, Jaringan Kerja Rakyat (Jerat) Papua, dan LBH Papua, DAS Namblong. Kemudian, Dewan Adat Daerah Grime Nawa, DAS Oktim, Yayasan Pusaka Bentala Rakyat, Greenpeace Indonesia, dan Yayasan Auriga Nusantara.

 

Pembukaan lahan di konsesi PT PNM, yang masuk wilayah adat. Foto:
Putri Nurjannah Kurita

 

Hutan adat mulai terbabat

Jalan Kampung Beneik, Distrik Unurumguay, berbatu, dan rusak. Sebagian jalan yang dibangun Pemerintah Kabupaten Jayapura, beraspal.  Sekitar 500 meter dari jalan itu, ada portal masuk dari kayu, sebagai pembatas area perusahaan. Memasuki areal perusahaan,  ada satu jembatan besar dan beberapa jembatan kecil mulai rusak. Jalan beraspal hitam.

Dari jauh ada asap mengepul ke udara, sebuah rumah kecil di tengah hutan yang terbuka. Bagian belakang rumah sudah jadi seperti lapangan bola.

Blok pertama, kedua, ketiga, dan seterusnya. Di sebelah kiri ada blok-blok sudah ditumbuhi rumput. Di sebelah kanan kering kerontang. Tidak ada satu pohon berdiri. Pohon-pohon tumbang dimana-mana. Luas seperti tak berujung. Tak ada aktivitas di lokasi itu. Begitu pemandangan saat kami turun ke Kampung Beneik, Distrik Unurumguay.

Kala itu, ada pertemuan konsolidasi ke-13 oleh Dewan Adat Suku Namblong (DAS) dan Organisasi Perempuan Adat (ORPA) Namblong membahas pembukaan lahan untuk jalan oleh perusahaan sawit PNM di Kampung Ketmug, Nimboran.

Matias Sawa, Ketua DAS Namblong,  mengatakan, kehadiran perusahaan mengkhawatirkan bagi pemilik ulayat di Lere. Kalau perusahaan beroperasi, hampir 40.000 hektar hak ulayat masyarakat hilang. Untuk itu, mereka berupaya meminta bantuan berbagai pihak agar tanah ulayat  tak terganggu perusahaan.

Dia bilang, masyarakat berencana membentuk Badan Usaha Milik Masyarakat (BUMA) guna melindungi tanah-tanah ulayat mereka. “Buka usaha diatas tanah tanah kami sendiri. Akan dilibatkan seluruh masyarakat adat. Kami akan mengelola sendiri tanah ini,” katanya.

Pada 2011,  saat ada pembukaan lahan,  DAS dan Organisasi Perempuan Adat (Orpa) Namblong sudah mengetahui. Kala itu, Tecuari bersaudara sedang berkelahi pro kontra serahkan lahan.

“Kami langsung bicarakan masalah ini. Masalah sawit ini bermula dari Benyom dan Nimbontong yang sudah berikan tanah seluas 2.000 hektar. Dari situlah kami mulai bangkit dan melawan,” kata Matias.

Rosita Tecuari, Ketua ORPA Namblong, mengatakan, perusahaan tidak akan tinggal diam hingga masyarakat perlu melindungi wilayah mereka agar tetap hijau. Dari hutan itulah, katanya,  tempat lebah yang hasilkan madu.

“Lembah ini tetap jadi lembah puji-pujian bukan lembah air mata. Jadi, bersama berpikir membangun tanah kita bersama,” katanya.

Mereka konsolidasi memperkuat pertahanan demi melawan perusahaan yang mendapat surat peringatan penghentian aktivitas pertama dan kedua dari Bupati Jayapura, Mathius Awoitauw.

Abner khawatir,  aktivitas perusahaan menebangi hutan bakal berdampak pada masyarakat. Aktivitas masyarakat, katanya,  berkebun dan berburu juga tangkap ikan di Kali Grime pada musim panas. Kalau hutan hilang, katanya, kemungkinan besar masyarakat harus membeli keperluan pangan yang biasa diperoleh dari hutan dan sungai sekitar.

Yustus Mame, pemuda adat Grime Nawa mengatakan, pemetaan citra satelit dari pantauan lapangan tim Yayasan Auriga Nusantara menujukkan,  ada pembatatan hutan alam sekitar 67 hektar akhir Oktober 2022.

Sebelumnya,  pembukaan lahan berturut-turut seluas enam hektar pada Januari lalu, kemudian, 50,60 hektar pada Februari, dan 75,04 hektar pada Maret 2022.  Jadi, perkiraan pembukaan lahan di Kampung Beneik, Distrik Unurum Guay sekitar 198,64 hektar.

 

Pembukaan lahan di konsesi PT PNM. Masyarakat adat Lembah Ginme pun khawatir hutan adat mereka hilang berubah jadi kebun sawit. Foto: Putri Nurjannah Kurita

 

Pro kontra?

Kehadiran PMN ini menuai pro kontra di masyarakat. Masyarakat Adat Suku Uria yang mendukung perusahaan dan Masyarakat adat yang tergabung dalam Koalisi Lembah Grime Nawa menolak.

Masyarakat aksi demonstrasi di Kantor Bupati Jayapura, Sentani. Pertama, dari Masyarakat Adat Suku Uria, pada 2 September 2022 dengan motor Alexander Tecuari,  meminta pemerintah tetap mempertahankan perusahaan agar anak cucu mereka dapat bekerja. Lahan seluas 5.400 hektar di wilayah adat Suku Uria masuk izin HGU.

Kedua, aksi Masyarakat Adat Lembah Grime Nawa pada 7 September 2022 mendesak Bupati Jayapura menghentikan aktivitas perusahaan, mencabut izin lokasi dan izin kawasan hutan yang dikoordinir Yustus Mame.

Ketiga, pada 11 November 2022 menyusul surat peringatan ketiga kepada perusahaan. Yustus bilang, perusahaan membuka lahan seluas 130 hektar di Kampung Beneik, Distrik Unurumguay.

Ridwan, Kepala Kantor Perwakilan Permata Nusa Mandiri, melalui pesan WhastApp mengatakan, tetap mengikuti dan mentaati pemerintah.

Dia bilang, ada pengerjaan non land clearing (non-CL) yang harus mereka selesaikan karena terikat kontrak dengan pihak ketiga dan masyarakat pemilik hak ulayat.

Sedangkan pembangunan portal di Kampung Beneik, Distrik Unurumguay, itu merupakan permintaan pemilik hak ulayat. Dia pun belum melihat langsung portal itu. Ridwan tidak ingin menyebut, masyarakat adat mana yang meminta bangun portal.

Mathius Awoitauw, Bupati Jayapura,  pada 12 September 2022 mengatakan, masyarakat adat yang pro kontra ini sebaiknya memberikan kepercayaan kepada pemerintah dan mengikuti prosedur hingga tak terjadi masalah berkepanjangan.

Pemerintah Kabupaten Jayapura, katanya,  telah membentuk tim evaluasi perkebunan sawit sesuai arahan Presiden Indonesia, Joko Widodo soal pencabutan kebun sawit. Pada pada 6 Januari 2022, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan pun keluarkan surat pencabutan izin konsesi kawasan hutan termasuklah punya PMN.

Bupati Jayapura mengeluarkan surat peringatan pertama penghentian sementara aktivitas PMN pada 23 Februari 2022 , surat peringatan kedua 8 September 2022.

Pada 24 September 2022,  di Kampung Berap surat pernyataan bupati tak memperpanjang izin lokasi dan izin lingkungan. Kemudian, surat peringatan ketiga pada 8 November 2022.

 

Area ini sebelumnya hutan bertutupan lebat, tetapi sudah bersih untuk kebun sawit di Kabupaten Jayapura. Foto:
Putri Nurjannah Kurita

 

Evaluasi izin kebun sawit di Kabupaten Jayapura

Masyarakat Adat Lembah Grime Nawa khawatir dan protes kehadiran perusahaan sawit, PMN. Sejalan dengan itu, awal 2022,  Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan,  mencabut izin pelepasan kawasan hutan perusahaan sawit ini.

Kala itu, sebanyak 137 izin persetujuan pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan didominasi perkebunan sawit tersebar di 19 provinsi antara lain, Papua dan Papua Barat.

Sambodo Samiya, Kepala Dinas Perkebunan dan Peternakan Kabupaten Jayapura, mengatakan,  Bupati Jayapura, telah membentuk Tim Evaluasi Perkebunan Sawit di Kabupaten Jayapura.

“Pada dasarnya izin tidak diperpanjang lagi dan perusahaan telah mendapatkan surat peringatan terakhir. Perusahaan tidak beroperasi beberapa tahun dan izin tidak diperpanjang lagi,”katanya.

Setidaknya,  ada enam hasil evaluasi Pemerintah Kabupaten Jayapura terhadap perusahaan ini. Pertama, Pemerintah Kabupaten Jayapura bisa berkoordinasi dengan Pemerintah Papua menyampaikan kepada KLHK mengenai tidak ada pemanfaatan atas izin pinjam pakai Kawasan hutan (IPKH).

Kedua, bila lahan masih berupa tutupan hutan maka Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup dapat menetapkan wilayah itu kembali jadi kawasan hutan.

Ketiga, perusahaan tak beroperasi sesuai ketentuan atau tidak ada operasional dua tahun sejak HGU terbit. Keempat, IPKH tidak dimanfaatkan tiga tahun sejak kawasan hutan dilepaskan. Kelima, izin lokasi sudah habis masa berlaku. Keenam, terjadi pro dan kontra di masyarakat pemilik hak ulayat.

Jadi, katanya, rencana tindak lanjut dari  Pemerintah Kabupaten Jayapura terhadap izin lokasi ini, bupati akan membuat surat penegasan atau teguran kepada perusahaan mengenai habis masa berlaku. Untuk HGU, apabila terbukti tak beroperasi, BPN dapat memproses pembatalan kepada PMN.

Buat IPKH, katanya, Pemerintah Kabupaten Jayapura bersama Pemerintah Papua berkoordinasi dengan KLHK.  Guna menghindari tumpang tindih dan atau sengketa di kemudian hari, kata Sambodo,  Pemerintah Papua perlu mengusulkan kepada KLHK untuk mencabut IPKH perusahaan.

Sementara terhadap izin usaha perkebunan, katanya, Pemerintah Kabupaten Jayapura meminta Pemerintah Papua berdasarkan hasil verifikasi melakukan pencabutan terhadap IUP perusahaan sawit ini.

Berdasarkan data hasil analisis mereka,  menurut Sambodo,  ditemukan beberapa hal.  Pertama,  luasan izin lokasi, IUP, dan HGU berbeda. Izin lokasi sudah tidak berlaku dan HGU baru 10,370.47 hektar dari total IUP 30.920 hektar.

Kedua, perusahaan belum beroperasi, ketiga,  IUP lingkup satu wilayah kabupaten namun diterbitkan gubernur, keempat,  IPKH terbit tahun 2014 seluas 16.182,48 hektar. Kelima,  perusahaan tak punya dokumen izin lingkungan, SK kelayakan lingkungan, dan Analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal)/DELH-DPLH. Keenam, terjadi pro dan kontra di antara masyarakat pemilik hak ulayat.

Delila Giay,  Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu, mengatakan,  pada 2014, izin sempat diperpanjang dan 2017 keluar lagi izin lokasi sampai 2020.

Sepanjang masa itu, katanya,  mereka tidak membuka lahan tetapi mengurus dokumen lain yaitu HGU.  Pada akhir 2021,  mereka mengirim surat dan memberitahu akan melalukan pembukaan lahan usai pandemi COVID-19.  Bertepatan dengan itu, katanya,  ada surat keputusan dari KLHK.

“Karena itu,  kita menyurat ke perusahaan untuk dihentikan, sambil menunggu itu hingga Maret masyarakat mulai demo.”

Alasan Pemerintah Kabupaten Jayapura melakukan evaluasi perizinan sawit antara lain, katanya, izin yang diberikan sepetti kepada PMN itu sangat luas,  hampir meliputi semua distrik, Kemtuk, Namblong, Nimboran, dan Unurumguay.  Sedang HGU sekitar 10.000 meliputi Kampung Beneik, Unurum Guay dan Kampung Benyom Nimbokrang.

 

 

Tak hanya PNM

Pemerintah Kabupaten Jayapura tak hanya evaluasi satu izin perusahaan perkebunan sawit, tetapi yang lain juga. Dia mengatakan, evaluasi yang mereka lakukan bertahap.  Tahap pertama, evaluasi terhadap PMN, kemudian  ada delapan perusahaan perkebunan di Kabupaten Jayapura dengan empat perusahaan aktif.

Ada delapan perusahaan yang ada di Kabupaten Jayapura, PT. Daya Indah Nusantara, PT. Perkebunan Murni Jaya Grup, PT. Permata Nusa Mandiri, PT. Rimba Matoa Lestari, PT. Sinar Kencana Inti Perkasa,  PT. Sumber Indah Perkasa, PT. Wira Antara, dan PT Timur Jaya Agro Karya.

Adapun perusahaan yang aktif dan terdaftar di Online Single Subsmission (OSS) adalah PT Permata Nusa Mandiri, PT Rimba Matoa Lestari, PT  Sinar Kencana Inti Perkasa di Lere, PT Sumber Indah Perkasa.

“Selain Permata Nusa Mandiri, tiga perusahaan lain sudah produksi sawit.”

 

 

*******

 

*Putri Nurjannah Kurita adalah jurnalis Tribun Papua. Liputan ini bagian dari program beasiswa bagi jurnalis yang diselenggarakan Mongabay Indonesia dan Kaoem Telapak 2022.

 

 

 

Exit mobile version