Mongabay.co.id

Bagaimana Perkembangan Kasus Orangutan Mati Penuh Luka di Tanah Karo?

 

 

 

 

Pada penghujung Januari lalu, di Dusun Kuta Kendit, Desa Kuta Pengkih, Kecamatan Tigabinanga, Karo, Sumatera Utara, satu orangutan mati dengan tubuh penuh luka. BBKSDA  Sumatera Utara lakukan investigasi atas kasus ini. Berbagai kalangan pun mendesak penegakan hukum terhadap orang-orang yang dianggap bertanggung jawab dalam kematian satwa langka dilindungi ini.

Rudianto Saragih Napitu,  Kepala BBKSDA Sumatera Utara  menyatakan, terkait kekerasan fisik dan temuan luka pada orangutan, BBKSDA Sumut menerbitkan surat perintah investigasi untuk kasus ini.

Palber Turnip, Kepala Bidang Wilayah III BBTNGL mendukung penyelidikan dan penyidikan atas kematian orangutan Sumatera di Kabupaten Karo itu.

Untuk kasus terbaru Januari lalu itu, katanya, hasil pengecekan area petugas ketika identifikasi di tempat kejadian diketahui jarak dari Taman Nasional Gunung Leuser sekitar 9 km, namun dengan kampung terdekat hanya tiga sampai empat kilometer.

Meski demikian, katanya,  batas terdekat dengan kawasan itu tidak langsung karena ada hutan lindung sebelum masuk ke hutan Lauser.

Hutan lindung yang jadi kawasan penyangga TNGL itu dengan kondisi sangat baik tetapi ada aktivitas warga untuk perkebunan,  pertanian bahkan ada pembalakan liar.

Soal orangutan keluar kawasan, bukan masalah dari mana ia keluar– dari taman nasional atau hutan lindung—, katanya, yang pasti hasil pemeriksaan tim dokter diketahui satwa ini luka-luka di bagian punggung. Kondisi itu, menyebabkan orangutan patah tulang hingga masuk kategori konflik atau interaksi negatif.

 

Baca juga: Luka-luka, Orangutan Masuk Kebun Warga di Mardiding Akhirnya Tewas

Petugas BKSDA Provinsi Sumut dibantu YEL-SOCP dan YOSL-OIC menggotong tubuh orangutan jantan yang kondisinya sudah lemah untuk dievakuasi agar dapat mendapatkan pertolongan media lebih intensif. Foto: Sri Wahyuni/ Mongabay Indonesia

 

Dengan begitu, katanya, ada indikasi kuat terjadi pelanggaran tindak pidana konservasi yang menyebabkan kematian satwa liar dilindungi,  yakni, orangutan Sumatera.

Karena itu, katanya, perlu penyelidikan untuk mengetahui motif dari sejumlah orang melakukan itu. Jangan sampai, katanya,  ada yang bersembunyi di balik topeng ketidaktahuan hingga ada kelompok-kelompok di situ yang melakukan perbuatan keji dan tak dapat ditolerir.

Dia bilang, harus ada pertanggungjawaban hukum. Apalagi, kata Turnip,  orangutan bukan satwa agresif menyerang manusia.

Kalau ada pertemuan dengan satwa ini,  masyarakat cukup menghindar. “Sekali lagi, tidak ada alasan apapun untuk menyerangnya.”

Kalaulah orangutan masuk ke perkebunan atau pertanian dan memakan buah di sana,  katanya, cukup mengusir satwa ini dengan suara atau bunyi-bunyian lebih keras seperti mercon atau petasan atau dentuman dentuman lebih besar lagi agar bisa kembali ke hutan. Jadi, katanya, tak perlu dikejar atau dilumpuhkan kemudian diikat dan berakhir mati.

Haluanto Ginting,  Kepala Seksi Wilayah I Balai Gakkum KLHK Wilayah Sumatera kepada Mongabay  mengatakan, sudah berkoordinasi dengan BBKSDA Sumut yang tengah investigasi. Gakkum pun mendukung Investigasi ini guna membuat perkara lebih terang.

 

Kondisi orangutan dengan tangan diikat ke bambu diletakkan di mobil bak terbuka milik warga saat masih berada di Desa Kuta Pengkih Kecamatan Mardinding Kabupaten Karo Sumut. Foto: Sri Wahyuni/ Mongabay Indonesia

 

Tegakkan hukum

Andi Sinaga dari Forum Investigator Zoo Indonesia kepada Mongabay, 9 Februari lalu mengatakan, untuk kasus kematian orangutan di Kabupaten Karo itu dari kronologis proses pengamanan oleh sejumlah orang gunakan benda tumpul. Orangutan diikat, dan dipukul,  hingga merupakan tindak pidana dan masuk kategori kejahatan lingkungan hidup.

Cara-cara ini, katanya,  merupakan tindakan keji yang tak bisa ditolerir. Penegak hukum, katanya,  harus memproses dan memeriksa orang-orang yang diduga terlibat termasuk mengakibatkan kematian satwa dilindungi.

Aparat penegak hukum,  baik kepolisian maupun Balai Gakkum, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Sumatera mengusut serius kasus ini.

Dari pengakuan sejumlah pemuda di desa itu, ada beberapa orang yang ‘mengamankan’ orangutan ini bukan warga lokal tetapi pendatang pedagang yang sedang mencari durian dan mangga serta pisang petani.

Bersama dengan beberapa warga desa,  mereka sempat mengikat orangutan ini dan akan membawanya dengan mobil bak terbuka. Warga lokal melarang hingga akhirnya polisi datang dan membawa orangutan ke puskesmas untuk diobati.

Dia menduga, kedua orang yang akan membawa pergi orangutan dengan alasan untuk diobati merupakan motif. Modus jaringan perdagangan satwa liar dilindungi salah satunya dengan berpura-pura membeli hasil buah petani lokal.

Di Karo, satwa dilindungi masih banyak hidup di hutan lindung yang menjadi Kawasan peyangga Taman Nasional Gunung Leuser yang berjarak tidak jauh dari desa sekitar.

Dia bilang, perlu pemeriksaan dan pengembangan lebih lanjut kepada kedua orang luar yang ikut mengamankan orangutan yang masuk ke perkebunan penduduk itu.

“Semua orang sama di mata hukum. Siapa saja yang terlibat dalam kasus ini wajib diproses. Penyidik juga harus mencari tahu siapa kedua orang pendatang itu, benar tidak mereka orang yang membeli buah untuk dijual lagi atau hanya motif, yang sebenarnya bagian dari jaringan perdagangan satwa liar dilindungi?”

Topografi Karo berbukit dan  masih banyak hutan  cukup lebat. Di sini juga rumah orangutan Sumatera. Area ini, katanya, tersambung   dengan areal lain  mulai dari  Deliserdang hingga ke Langkat,  perbatasan dengan Aceh Tamiang,  Aceh.

Tingginya populasi orangutan Sumatera di wilayah itu, katanya, jadi incaran jaringan perdagangan satwa ilegal. Salah satu modus mereka, gunakan warga lokal untuk berburu.

Kemunculan orangutan ke perkebunan warga ketika musim buah, kata Andi,  membuat kerja-kerja para pemburu lebih ringan. Kalau mereka mau dapat untung banyak, pemburu tidak memberikan kepada jaringan lain tetapi menjual sendiri.

Orangutan terus jadi target perburuan. Adanya, orangutan masuk ke kebun warga, makin memudahkan kerja para pemburu mendapatkan orangutan Sumatera. Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia

 

******

 

Exit mobile version