Mongabay.co.id

Menolak Ikan Batak Punah, Apa yang Perlu Dilakukan?

 

Sejak beratus tahun lalu suku Batak yang berdiam di sekitar pesisir Danau Toba memiliki keterikatan dengan spesies ikan asli yang ada di perairan danau tersebut. Adalah ikan batak (Neolissochilus thienemannie), jenis ikan yang sering digunakan dalam ritual dan upacara adat, maupun untuk kuliner tradisional.

Degradasi lingkungan dan introduksi spesies ikan luar seperti nila dan mujair semakin meminggirkan keberadaannya. Dikarenakan kelangkaannya dan menuju kepunahan, ikan batak dilindungi sebagai spesies ikan dilindungi berdasarkan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 1 Tahun 2021.

“Masuknya jenis ikan yang bukan habitat asli menjadi kompetitor bagi ikan batak,” jelas Sekar Larashati, ahli Limnologi dan Sumberdaya Air BRIN kepada Mongabay melalui wawancara telepon.

Menurutnya, penyebab populasi ikan batak di kawasan Danau Toba semakin berkurang yaitu faktor perubahan lingkungan seperti menurunnya kualitas air, masuknya limbah pertanian yang masuk ke perairan Danau Toba, penangkapan berlebihan, serta alat tangkap yang tidak ramah lingkungan.

Sebagai contoh para nelayan di Bakkara, Humbang Hasundutan saat ini mengaku sudah tak pernah lagi menemukan ikan batak di daerah tangkapan. Hanya ada tinggal ikan jenis nila dan ikan-ikan kecil yang bukan asli perairan Danau Toba.

 

Ikan batak (Neolissochilus thienemannie). Jenis ikan hanya di Danau Toba dan daerah aliran sungainya

 

Pada Tahun 2016 Tim Pusat Penelitian Limnologi dan Sumber Daya Air LIPI pernah meneliti keberadaan Ikan Batak di Sungai Bonan Dolok, Kabupaten Samosir, yang merupakan Daerah Aliran Sungai Danau Toba

“Saat itu kami tak jumpai jenis N. thienemanni di situ. Orang-orang tahunya ikan batak seperti ikan jurung, memang sekilas mirip,” sebut Sekar.

Ikan batak memang berbeda dengan genus ikan tor atau yang biasa disebut ikan jurung atau ikan dewa. Jenis tor ini dijumpai di sungai-sungai di Sumatera.

Adapun jenis N. theimemanni memiliki badan pipih berwarna perak memanjang, terdapat 10 sisik di depan sirip punggung dan 26 sisik di sepanjang gurat sisi. Ada 10 baris pori-pori yang tidak teratur pada sisi moncong dan di bawah mata. Alur bagian belakang sampai ke bibir bawah terputus di bagian tengah.

Ikan famili Cyprinidae ini merupakan ikan omnivora dan hidup di sungai beraliran deras dan jernih. Pada tahun 2020 IUCN Red List menyatakan Ikan N. Thienemannie masuk jenis yang terancam punah.

Rachmad, Sihombing dan Sabariyah dalam penelitiannya yang diterbitkan dalam jurnal Kelautan dan Perikanan Terapan (2019) menemukan ikan batak sebanyak 25 ekor jantan dan 13 ekor betina dengan ukuran panjang sekitar 16 cm – 41,9 cm di tiga sungai di tiga kabupaten di Sumatera Utara.

 

Perbandingan jenis tor (kiri) dan ikan batak (kanan). Dok: Haryono (LIPI)

Baca juga: Swarno Lumbangaol, Pulang Kampung buat Lestarikan ‘ihan Batak’

 

Fungsi ikan batak dari sisi antropologis

Lalu bagaimana agar ikan batak dapat dilestarikan keberadaanya? Robert Sibarani, Guru Besar Antropologi Universitas Sumatera Utara menyebut kearifan lokal masyarakat lokal dapat menjadi alternatif penyelamatan.

“Dulu semua kegiatan upacara memakai ikan, mulai dari siklus kelahiran hingga kematian. Orang Batak menggunakan ikan batak sebagai sajian dalam pesta,” jelasnya.

Dalam Horja Mangupaupa atau upacara perkawinan adat Batak Toba, keluarga calon pengantin wanita menyajikan ikan ini ke calon pengantin pria. Sebaliknya pengantin pria memberikan persembahan berupa daging kerbau.

Filosofinya, Ikan batak adalah simbol Boru Muli, pengantin wanita (oroan), dan pemberian ikan batak ke pria disebut sebagai Ulu ni Dekke Mulak.

“Kini ikan batak sudah langka, harga per ekor mencapai jutaan rupiah, sehingga upacara memakai ikan batak perlahan ditinggalkan, diganti ikan mas, daging kerbau, atau babi. Pergeseran ini sudah berlangsung sejak 70-80 tahun lalu,” ungkap Robert.

Dalam upacara adat, ikan batak disajikan dalam bentuk arsik’ yaitu sajian ikan bumbu kuning dengan campuran rempah-rempah.

Mitos yang berkembang di warga Desa Bonan Dolok, Samosir percaya ikan batak hanya keluar pada waktu tertentu. Bagi mereka yang melihat ikan itu akan mendapat rezeki atau keberuntungan.

Penangkapannya pun tak boleh sembarangan. Hanya dikonsumsi untuk mengobati penyakit tertentu, lewat doa dan upacara di lokasi dimana ikan batak itu ditangkap.

“Ikan yang berada di dekat pohon beringin tak boleh sembarangan diambil atau ditangkap. Kalau ikan sengaja ditangkap, dimasak 7 hari tujuh malampun ikan gak akan matang. Akan ada bala bagi mereka yang memakan,” sebut Robert.

Dia menilai mitos semacam itu bisa jadi alternatif dalam pelestarian ikan batak di habitat alaminya dan mengurangi penangkapan berlebihan. Robert pun menyebut perlunya upaya budidaya agar generasi mendatang dapat mengenal ikan batak.

 

Upacara Adat Batak Toba. Foto: Barita Lumbanbatu/Mongabay Indonesia

Baca juga: ‘Mardekke-dekke’, Tradisi Batak Gotong Royong Panen Ikan

 

Lokasi budidaya

Untuk mencari lokasi budidaya yang sesuai dengan kesesuaian habitat alaminya, maka diperlukan aliran air yang masih alami, jernih dan kaya oksigen.

Sekar Larashati menyarankan lokasi di perairan Desa Bonan Dolok. Sebagai kelompok ikan tawar divisi primer, ikan ini cocok dengan habitat di sungai dan danau di kawasan pegunungan. “Desa Bonan Dolok berpotensi untuk dikembangkan menjadi kawasan konservasi ikan batak,” sebut lulusan program doktor Denmark Technical University ini.

Bonan Dolok di Kecamatan Sianjur Mulamula, Samosir adalah desa yang berada di pinggir Danau Toba. Ia memiliki lanskap yang baik, dikelilingi perbukitan, persawahan tradisional, dan terdapat air terjun.

“Ekosistemnya masih terjaga, juga tumbuh pohon di sekitar sungai yang menjadi sumber makanan alami ikan batak. Airnya mengalir sepanjang tahun, dan bagian hulu masih hutan alami,” lanjutnya.

Dia meyakini bahwa konservasi habitat ikan batak akan melindungi biota lain yang hidup di sekitarnya, seperti keong dan cacing.

Bila Bonan Dolok dijadikan kawasan konservasi ada hal yang perlu diperhatikan, misalnya pembuangan limbah domestik (rumah tangga), limbah industri, dan aktivitas penambangan. Selain itu pemerintah perlu kerjasama dengan masyarakat lokal untuk menjaga ekosistem agar memberi dampak positif bagi kualitas air di hilir (Danau Toba).

“Upaya konservasi mesti berdasarkan kajian dan penelitian. Perlu juga keterlibatan warga sekitar, dan didukung dan menjadi program prioritas pemerintah setempat,” pungkasnya.

 

 

Exit mobile version