Mongabay.co.id

“Hilangnya” Tradisi Kuliner Ikan di Sumatera Selatan

 

 

Sejumlah dusun di wilayah lahan basah di Kabupaten Ogan Ilir [OI] dan Ogan Komering Ilir [OKI], Sumatera Selatan, merupakan sentra ikan air tawar. Perubahan bentang alam membuat populasi ikan terus berkurang. Sejumlah tradisi kuliner ikan pun terancam hilang.

“Sudah sulit membuat sale ikan [ikan asap] dari ikan baung dan lais. Sekarang, banyak warga di sini yang membuat ikan sale menggunakan lele atau patin tambak,” kata Lithan [68], Ketua Kelompok Tani Desa Muara Penimbung Ulu, Kabupaten Ogan Ilir, Sumatera Selatan, 27 Januari 2023 lalu.

Bahkan, “Ikan asin pun sudah ada yang memanfaatkan ikan tambak, seperti nila,” ujarnya.

“Tapi rasanya berbeda dan peminatnya sedikit. Jadi, bisa bae tradisi ini hilang bersamaan hilangnya ikan air tawar.”

 

Ikan yang mulai sulit didapatkan di Sungai Kelekar, Desa Muara Penimbung Ulu, Kabupaten Ogan Ilir, Sumsel. Foto: Fadhil Nugraha

 

Dijelaskan Lithan, Desa Muara Penimbung Ulu yang dulunya sentra ikan di Kabupaten Ogan Ilir, mulai mengalami krisis ikan. “Dulu, mencari ikan baung, lais, dan seluang di Sungai Kelekar begitu mudah. Ketika musimnya, setiap hari kami dapat 10 kilogram ikan lais atau baung. Sekarang ini tiga kilogram sudah luar biasa.”

Ikan baung dan ikan lais dijual masyarakat di Desa Muara Penimbung Ulu kisaran Rp70-80 ribu per kilogram. “Harganya lumayan, tapi ikannya sulit didapat, sehingga warga yang hidupnya bergantung dengan hasil ikan air tawar kondisi ekonominya jauh dari makmur,” katanya.

Dari 408 kepala keluarga atau 1.482 jiwa penduduk Desa Muara Penimbung Ulu, tercatat sekitar 20 kepala keluarga yang bergantung dari hasil ikan.

“Dulu hampir setiap keluarga di sini mencari ikan, selain bersawah padi [pasang surut]. Tapi mereka yang tidak lagi memiliki sawah, hidupnya hanya bergantung menangkap ikan.”

 

Seorang warga di Desa Muara Penimbung Ulu, Kabupaten Ogan Ilir, Sumsel, mencari ikan menggunakan jaring. Foto: Fadhil Nugraha

 

Ikan melimpah

Desa Muara Penimbung Ulu luasnya sekitar 621 hektar. Sebagian besar wilayahnya merupakan lahan basah, berupa rawa gambut.

“Dulu warga di sini hidup dari hasil padi dan ikan. Hidup makmur,” kata Hermalia [63], warga Dusun IV, Desa Muara Penimbung.

Melimpahnya hasil ikan membuat warga memanfaatkannya menjadi sejumlah kuliner. Seperti ikan sale, ikan asin, pekasam [fermentasi ikan], dan kerupuk.

“Sementara untuk dikonsumsi hari-hari dimasak pindang.”

“Jadi pendapatan warga bukan hanya dari menjual ikan segar, juga dari pengelolaan ikan seperti ikan sale, ikan asin, pekasam, dan kerupuk,” kata Hermalia yang belasan tahun merantau ke Malaysia.

“Semua ikan yang diolah menjadi sejumlah kuliner tersebut merupakan sisa penangkapan, setelah dijual dan dimakan. Artinya tidak ada yang dibuang.”

Misalnya ikan baung dan lais. Ikan yang didapatkan pada musim tertentu di sungai, yakni pada musim kemarau, diolah menjadi ikan sale. Sementara ikan dari sawah dan rawa, seperti sepat dan gabus, dijadikan ikan asin.

“Ikan kecil-kecil yang sulit dijual, dijadikan pekasem, ikan yang difermentasi menggunakan nasi,” jelasnya.

 

Bunyamin [50], nelayan di Desa Muara Penimbung Ulu, Kabupaten Ogan Ilir, Sumsel, tetap mencari ikan di sungai. Foto: Fadhil Nugraha

 

Rusaknya bentang alam

Bunyamin [50], nelayan sungai di Desa Muara Penimbung Ulu, memperkirakan berkurangnya populasi ikan di desanya dikarenakan sejumlah lebak atau rawa sudah banyak yang berubah menjadi perkebunan sawit atau permukiman.

“Selain itu wilayah huluan Sungai Kelekar menjadi perkebunan tebu,” ujarnya.

“Padahal lebak-lebak itu yang selama ini menjadi tempat ikan bertelur dan mencari makan,” lanjutnya.

Kehadiran jalan tol [Palembang-Lampung] yang melintas di sebagian wilayah lahan basah di Kabupaten OI dan OKI, menyebabkan terputusnya aliran air pada sejumlah rawa.

“Banyak ikan yang tidak bisa lagi mudik [ke hulu] di sini. Sebab, jalurnya terputus tiang-tiang jalan tol tersebut. Terasa betul kian berkurangnya ikan dalam dua tahun terakhir,” kata Bunyamin.

Candra [42], warga Desa Menang Raya, Pedamaran, Kabupaten OKI mengatakan, sejak adanya jalan tol, rawang [rawa gambut] yang tempat tumbuhnya purun, airnya tidak bergerak. Tidak surut dan tidak melimpah.

“Agak terasa berkurangnya sejumlah ikan, terutama ikan besar yang hidupnya di sungai seperti baung dan lais.”

Candra, selain menjadi pengepul buah sawit, juga mencari ikan di kawasan Sepucuk, Pedamaran. Dia menggunakan puluhan bubuk untuk mencari ikan.

“Kisaran April atau musim kemarau, ikan didapat.”

Dijelaskan Candra, berubahnya kawasan rawa gambut menjadi perkebunan sawit di Sepucuk, membuat populasi ikan terus berkurang. “Termasuk di sekitar dusun kami [Menang Raya].”

Berdasarkan pemantaun, sebagian besar jalan tol yang melintas di lahan basah menggunakan tiang. Tapi tiang-tiang tersebut dipancangkan tidak langsung ke dalam rawa, di atas undukan tanah. Undukan tanah ini yang memotong arus air di sejumlah rawa. Bahkan terlihat sejumlah rawa mengering saat musim penghujan seperti sekarang ini.

“Banyak warga di dusun yang hidupnya dari ikan, saat ini mengembangkan tambak. Ikan yang ditambak itu bukan ikan lokal, misalnya lele, gurame, patin, dan nila,” ujar Candra.

Ryan Syaputra, Kepala Desa Menang Raya, mengatakan dulu sebagian besar penghasilan urang [orang] di Pedamaran ini dari mencari ikan. Selain dijual dalam kondisi hidup, jika berlebih dijadikan ikan sale, ikan asin, pekasem dan kerupuk, yang juga dapat dijual.

“Tapi, sejak banyak rawa gambut menjadi perkebunan sawit, seperti kawasan Sepucuk, tradisi kuliner tersebut mulai berkurang.”

“Bukan pengetahuannya yang hilang, tapi ikannya yang sulit didapat. Sekarang ini sangat sulit mencari ikan sale, pekasem, termasuk makan pindang ikan sungai,” kata Ryan yang pernah menjadi pengurus Wahan Lingkungan Hidup Indonesia [Walhi] Sumatera Selatan.

“Saat ini kami hanya berusaha mempertahankan wilayah rawang tersisa, termasuk lokasi purun di Sepucuk,” ujar Ryan.

 

Ruas jalan tol yang melintas di sebuah rawang di Kabupaten Ogan Ilir, Sumsel. Foto: Fadhil Nugraha

 

Ikan tambak

Kabupaten Ogan Ilir yang luasnya 266.670 hektar, sekitar 35 persen berupa perairan dan rawa gambut. Diperkirakan produksi ikan air tawar dari kabupaten ini sebesar 8,9 juta ton per tahun.

Tapi produksi ikan tersebut sebagian besar bukan dari alam [sungai dan rawa gambut] melainkan dari pertambakan, termasuk jenisnya bukan endemik lokal, seperti lele tambak [3,4 juta ton], nila tambak [1,9 ton], patin tambak [3,8 ton], gurame [27 ribu kilogram].

Sementara produksi ikan dari alam, seperti gabus hanya sebesar 1.500 kilogram dan ikan toman sebanyak 200 kilogram per tahun.

“Rendahnya produksi ikan dari alam, seperti gabus dan toman, membuktikan sungai dan rawa di Ogan Ilir sudah banyak yang rusak atau berubah,” kata Yulion Zalpa dari Fisip UIN Raden Fatah Palembang.

“Satu-satunya upaya mempertahankan ikan air tawar ya pertahankan dan perbaiki rawa gambut tersisa,” katanya.

Yulion berharap, program restorasi gambut yang dijalankan Badan Restorasi Gambut dan Mangrove [BRGM] juga memprioritaskan restorasi di Kabupaten OI.

Selama ini program restorasi gambut di Sumatera Selatan hanya diprioritaskan pada Kabupaten OKI, Kabupaten Banyuasin, Kabupaten Musi Banyuasin, dan Kabupaten Musi Rawas.

Sementara lahan basah di Sumatera Selatan sekitar 3,5 juta hektar, dari 8,9 juta hektar luasan daratan provinsi yang dikenal sebagai “Sembilan Batanghari”.

 

* Fadhil Nugraha dan Mahesa Putra, mahasiswa UIN Raden Fatah Palembang aktif di Komunitas Film Batang. Tulisan ini hasil pelatihan yang digelar Mongabay Indonesia-Fisip UIN Raden Fatah Palembang.

 

Exit mobile version