Mongabay.co.id

Beban Berat Taman Nasional Tesso Nilo, Perambahan hingga Kebun Sawit Ilegal

 

 

Berbagai persoalan masih mendera kelestarian Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN).

Selasa, 27 September 2022, sekelompok pemilik lahan sawit ilegal di kawasan TNTN, mendatangi Kantor Seksi Pengelola Wilayah (SPW) 1 Balai TNTN, di Desa Lubuk Kembang Bunga, Kabupaten Pelalawan, Riau.

Kepala Balai TNTN Heru Sutmantoro mengungkap, amuk massa itu berkaitan dengan tim yang menangkap sembilan perambah hutan di kawasan TNTN, satu setengah bulan sebelumnya.

“Hutan ini kan mestinya kita jaga dan rawat. Kami sudah maksimal mencegah terjadi perambahan,” terangnya kepada awak media, awal Oktober 2022.

Heru mengatakan, sembilan orang itu telah dilepaskan karena mereka memperlihatkan surat keterangan tanah (SKT) yang dikeluarkan Kepala Desa Air Hitam, Kecamatan Ukui, Pelalawan, Riau

“Mereka rakyat kecil yang tertipu,” katanya.

Heru menegaskan, dia bersama tim bakal mengusut penerbitan surat tersebut.

“Kepala Desa Air Hitam mengaku sudah menerbitkan 1.500 SKT dalam kawasan TNTN. Satu SKT, luasnya sekitar 2 hektar. Ini menyalahi aturan, makanya saya bersurat ke kepala desa tersebut untuk menghentikan dan mencabut SKT yang ada,” jelasnya.

 

Taman Nasional Tesso Nilo yang menghadapi beban berat, mulai perambahan, perkebunan sawit ilegal, hingga terganggunya habitat satwa liar. Foto: Dok. Taman Nasional Tesso Nilo

 

Terus tergerus

Taman Nasional Tesso Nilo ditetapkan oleh Kementerian Kehutanan melalui perubahan fungsi hutan produksi terbatas seluas 83.068 hektar. Penetapan dilakukan dua tahapan, berdasarkan SK Menteri Kehutanan Nomor: SK.255/Menhut-II/2004 tanggal 19 Juli 2004 seluas 38.576 ha. Berikutnya, berdasarkan SK Menteri Kehutanan Nomor: SK 663/Menhut-II/2009 tanggal 15 Oktober 2009 seluas 44.492 hektar.

Andi Kusumo, Pengendali Ekosistem Muda Balai Taman Nasional Tesso Nilo menerangkan, perambahan masih terjadi di taman nasional ini.

“Hutan alam tersisa sekitar 13 ribu hektar. Sementara, 68 ribu mengalami deforertasi dengan rincian bukaan sawit 40 ribu hektar dan sisanya 28 ribu hektar berupa semak belukar, kawasan terbuka, dan permukiman,” terangnya di Pelalawan, pertengahan November 2022.

Andi mengatakan, pemerintah terus berupaya menjaga TNTN dari kerusakan. Ini berdasarkan  SK Nomor SK. 72/Menlhk/Setjen/HPL.0/2/2018 tanggal 7 Februari 2022 tentang Implementasi Pengelolaan Ekosistem Tesso Nilo dengan pendekatan berbasis masyarakat. Penyelesaian konflik dilakukan dengan fokus pengelolaan TNTN.

Balai Taman Nasional Tesso Nilo juga menerbitkan larangan menanam sawit dalam kawasan tanaman nasional melalui Surat Edaran Kepala Balai TNTN Nomor: SE.006/T.29/TU/Tks/1/2022.

“Larangan berlaku bagi perorangan, kelompok, koperasi, maupun perusahaan,” jelasnya.

Terkait surat edaran, Heru menjelaskan tujuannya memberikan pengetahuan dan imbauan kepada masyarakat tentang larangan menanam sawit dan aktivitas lain yang dapat merusak kawasan hutan TNTN.

 

Taman Nasional Tesso Nilo merupakan hutan hujan tropika daratan rendah di Pulau Sumatera. Foto: Dok. Taman Nasional Tesso Nilo

 

Dasar pembuatan surat adalah, pertama, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990, tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya. Kedua, UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan jo UU Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UU Nomor 41 Tahun 1999.

Ketiga, UU Nomor 18 tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan.

Keempat, UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Kelima, Peraturan Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 6 tahun 2018 tentang Petunjuk Teknis Kemitraan Konservasi pada Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam.

“Untuk sawit di kawasan TNTN akan dilakukan penanganan sesuai peraturan yang berlaku,” katanya.

 

Pengawasan TNTN dari kegiatan perambahan dan kegiatan ilegal lainnya terus dilakukan. Foto: Dok. Taman Nasional Tesso Nilo

 

Penegakan hukum

Dikatakan Heru, sejak terbitnya surat tersebut sudah beberapa kali upaya penegakan hukum dilakukan, berkolaborasi dengan Balai Pengamanan dan Penegakan Hukum KLHK Sumatera Wilayah II Pekanbaru dan Kepolisian Resor Pelalawan, untuk memberi efek jera.

“Surat edaran merupakan ketegasan Balai TNTN dalam pengendalian sawit di  kawasan taman nasional. Juga, warning bagi mereka yang tetap menanam karena dapat dilakukan tindakan hukum,” katanya.

Penegakan hukum yang juga telah dilakukan pada 2022 ini adalah, 1 tesangka perambahan inisial N ditangkap pada Maret 2022 dengan barang bukti alat berat. April, 1 tersangka perambahan inisal J diamankan. Agustus, 3 tersangka perambahan ditangkap dengan abrang bukti chainsaw. September, 2 pembakar hutan dalam proses penyidikan.

Selain tindakan hukum, upaya penyelesaian konflik juga dapat dilakukan dengan mengembalikan fungsi hutan Tesso Nilo, yang juga merupakan habitatnya satwa liar.

“Upaya pemulihan dan pengembalian habitat satwa dilindungi harus dilakukan, agar keseimbangan ekosistem kembali berfungsi,” kata Nursamsu, Koordinator Eyes on the Forest.

Mengutip Mongabay Indonesia, berdasarkan analisis peta yang dilakukan Greenpeace Indonesia, sekitar 355 hektar tutupan hutan di Tesso Nilo hilang sepanjang 2020. Analisis dengan data Nusantara Atlas memperlihatkan, ada peringatan GLAD di Tesso Nilo pada 2021.

Peringatan GLAD (Global Land Analysis Discovery-Alert) adalah alat pantau berupa citra satelit yang dikembangkan University of Maryland dan Google untuk mengetahui perubahan tutupan hutan di suatu kawasan dalam skala paling terkecil dan waktu relatif singkat.

“Data ini menunjukkan sekitar 700 hektar peringatan GLAD selama 2021 di hutan Tesso Nilo,” terang Sapta Ananda Proklamasi, Peneliti Pemetaan Greenpeace Indonesia, akhir Februari 2022.

 

Kawasan TNTN yang dirambah dan dijadikan permukiman. Foto: Vera Lusiana/Antara

 

Habitat satwa liar dilindungi

Taman Nasional Tesso Nilo merupakan kawasan hutan hujan tropika daratan rendah di Pulau Sumatera. Berdasarkan data World Wide Fund for Nature (WWF) 2019, di sini terdapat sekitar 360 jenis flora, 1.107 jenis burung, 50 jenis ikan, 23 jenis mamalia, 18 jenis amfibi, 15 jenis reptil, 3 jenis primata, dan juga habitatnya harimau dan gajah sumatera.

Flora yang tumbuh juga beragam, ada 360 jenis yang tergolong dalam 165 marga dan 57 suku. Tanaman pohon ada 215 jenis dan tanaman anak pohon sebanyak 305 jenis.

Ical, warga Desa Lubuk Kembang Bunga, Kecamatan Ukui, Pelalawan, Riau, mengatakan pernah ikut menjadi anggota tim survei populasi satwa liar di TNTN, mulai 2008 hingga 2013.

“Kami mendapati jejak hewan dan dilaporkan ke WWF. Ada tim yang memasang memasang kamera pemantau, setelah tiga bulan dilihat hasil rekamannya,” terangnya.

Jalur yang dilalui adalah Kampung Bukit, Desa Kesumah lalu keluar di Kuansing, Banthin Mekar. Saat itu yang tampak hanya hutan belantara.

“Terakhir, saya ikut survei gajah tahun 2013 untuk menentukan populasi,” jelasnya.

Riszki Is Hardianto, Peneliti Kehutanan Yayasan Auriga Nusantara mengatakan, terganggunya habitat gajah sangat terihat di kawasan TNTN. Ini dikarenakan aktivitas penguasaan dan penebangan hutan yang terus terjadi, dan juga konversi hutan alam untuk perkebunan skala besar. Sehingga, batas-batas penggunaan ruang antara manusia dengan gajah menjadi sulit dipisahkan.

“Hilangnya area berhutan menimbulkan konflik, selain masih adanya perburuan gajah untuk diambil gadingnya,” katanya, pertengahan November 2022.

 

Survei populasi gajah yang dilakukan tahun 2013 di TNTN. Foto: Dok. Ical/WWF

 

Hilangnya potensi hutan

Ketua Asosiasi Madu Sialang Tesso Nilo, Wazar mengatakan, dulunya madu sialang yang merupakan hasil hutan TNTN mudah didapat.

“Bisa 70 ton madu alam dalam setahun,” jelasnya.

Selain itu ada rotan, petai, dan tanaman obat seperti kayu manis, pasak bumi, yang didapat langsung dari hutan. Berbagai jenis ikan seperti baung, patin, juga udang masih didapati di sungai.

“Namun, hilangnya pepohonan akibat perambahan dan alih fungsi lahan, terutama menjadi kebun sawit, menyebabkan semuanya hilang. Begitu juga dengan ikan yang semakin sulit didapat, karena lingkungan yang rusak,” paparnya.

 

* Vera Lusiana, jurnalis Antara Riau.

Liputan ini merupakan program Journalist Fellowship yang diselenggarakan Mongabay Indonesia dan Kaoem Telapak.

 

Exit mobile version