Mongabay.co.id

Kala Data Bambu Indonesia Masih Minim

 

 

 

 

Data sebaran dan jenis bambu di Indonesia minim padahal negeri ini memiliki sekitar 10% jenis bambu di dunia. Kondisi ini jadi tantangan bagi pembenahan tata kelola bambu lestari, terutama menghadapi perubahan iklim.

Sarwono Kusumaatmadja, Ketua  Dewan Pertimbangan Pengendalian Perubahan Iklim (DPPPI) menyatakan, peran dan daya bambu untuk mengatasi perubahan iklim perlu digali lagi.

Indonesia, katanya, pernah jadi tuan rumah Kongres Bambu Internasional ke-4 di Bali. Setelah itu, saat dia jadi menteri, pernah menyusun naskah pengembangan strategis bambu berwawasan lingkungan. Dokumen yang disusun 1995 itu harus diperbaiki.

Desi Ekawati, peneliti Pusat Standarisasi Instrumen Ketahanan Bencana dan Perubahan Iklim, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengatakan,  pekerjaan rumah utama adalah Indonesia belum punya data potensi bambu. Pemerintah, katanya, berusaha menginventarisir bambu di kawasan hutan dan pihak lain memetakan di lahan masyarakat.

Jenis bambu yang terancam punah juga belum ada data dan perlu penelitian. Hanya ada data bambu endemik,  lako yang warna hitam ada di Flores dan bambu tutul dengan bercak hitam hanya tumbuh di Halmahera.

Dalam dua dekade, katanya,  hanya ada 200-an jurnal tentang bambu di Indonesia. Kalau dibandingkan dengan Tiongkok, sudah meneliti keseluruhan aspek bambu.

 

Baca juga: Rawat Bambu Papring, Upaya Konservasi dan Jaga Warisan Leluhur

Indonesia punya banyak jenis dan daerah sebaran bambu, tetapi data masih minim. Foto : Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Mereka sedang menyusun instrumen tiga standar peran bambu, yakni restorasi, penghitungan karbon dengan Yayasan Bambu Lestari, dan standar bambu lestari. Istrumen ini, katanya, tak akan memberatkan, terutama bagi level rumah tangga dan usaha kecil menengah.

Potensi lahan kritis akan masuk dalam pembahasan penyusunan strategi nasional pemanfaatan dan pelestarian bambu terintegrasi. Era Menteri Sarwono pernah mengeluarkan dokumen pemanfaatan bambu pada 1997 tetapi belum berjalan karena situasi reformasi saat itu.

Dia bilang, bambu di tiap negara berbeda. Misal, di Jepang dan Tiongkok, tanaman tumbuh satu-satu. “Kita bambu berumpun, walau tumbuh alami harus dirawat, misal dijarangkan. Agar ada ruang anakan atau rebung tumbuh,” kata Desi dalam diskusi online Pojok Iklim soal peran bambu untuk krisis iklim, awal Februari lalu..

Bambu termasuk keluarga rumput raksasa, kalau di kehutanan masuk dalam hasil hutan bukan kayu. Bambu bisa diolah jadi berbagai produk seperti tisu, perabotan, sedotan, dan terus bertambah dengan sentuhan teknologi.

Ada tiga pilar pemanfaatan bambu yakni sosial budaya masyarakat yang punya ikatan kuat pada bambu, asepek ekonomi, dan aspek ekologis.

Dia bilang, pemanfaatan bambu diharapkan dengan mempertimbangkan kelestarian lingkungan, seperti panen bambu tua.

Untuk konteks perubahan iklim, kemampuan bambu menyerap CO2 atau emisi karbon kini terus diteliti. Secara umum, masyarakat merasakan manfaat bambu bagi lingkungan,  misal, membuat desa lebih sejuk, ada mata air, dan pengembangan wisata.

 

Hutan bambu di Desa Geriana Kauh, Bali. Foto: Luh De Suryani/ Mongabay Indonesia

 

***

Monica Tanuhandaru, Direktur Eksekutif Yayasan Bambu Lestari berharap, ada strategi nasional bambu rakyat berbasis desa yang bisa menggerakkan para pihak secara berkelanjutan. Bambu bisa jadi tanaman konservasi. Ketika debit air sungai menurun, paling mudah dengan menanam bambu.

Saat ini,  mereka berusaha mengumpulkan semua pengetahuan dan riset tentang bambu.

Bambu bukan bahan baku baru, karena sudah dikenal dan digunakan sebelum material industrial muncul. Namun, katanya, di Indonesia pengembangan dan pemanfaatan masih terbatas. “Sering melihat tapi tidak menghargainya. Kearifan lokal sudah sejak ribuan tahun,” kata Monica.

Ketika kebutuhan kembali ke solusi alam makin trendi, dia berharap pemerintah mendorong mengembangkan UMKM yang memanfaatkan bambu. Solusinya, ada di tingkat hulu, tengah, dan hilir.

Monica bilang, di hulu pemerintah bisa mengembangkan bambu agroforestri karena bambu tak monokultur. Ia masih bagian ladang, hutan, dan kebun.

Desa-desa,  masyarakat adat punya cadangan bambu untuk pemenuhan kegiatan seperti rumah, alat, jembatan, dan lain-lain.

Satu contoh, saat badai Seroja, desa-desa berkeliling bambu di NTT, rumah lebih aman walau rumpun bambu rusak seperti patah atau tumbang.

Namun, katanya, desa-desa penghasil bambu memiliki keterbatasan infrastruktur hingga pemanfaatam ekonomi terbatas.

Sisi lain, ada hambatan yang membuat bambu sulit berkembang, seperti, rumah bambu dianggap murah dan nilai aset sulit divaluasi kalau jadi jaminan bank. Kalau melihat rumah bertingkat atau hotel bambu baru melihatnya sebagai aset.

Tantangannya, pada tata kelola pemerintahan dan keterbatasan pengetahuan termasuk di Fakultas Kehutanan. “Kita agak tertinggal dibanding negara yang tidak punya bambu. Mereka mulai menanam seperti Portugal, Italia, dan lain-lain. Ada negara yang memasukkan bambu jadi program perumahan rakyat,” kata Monica.

 

*******

Exit mobile version