Mongabay.co.id

Ketika Tambak Datang, Ruang Hidup Perempuan Pesisir Madura Perlahan Hilang

 

 

 

 

Desa Lapa Laok, Kecamatan Dungkek, terletak di ujung timur Pulau Madura. Dulunya, di sana daerah para petani dan nelayan. Para nelayan juga bertani, tetapi petani belum tentu nelayan. Desa sebelahnya, Dungkek, ada pelabuhan baru dibangun lagi.

Pantai Totale di Lapa Laok  tempat tambatan perahu nelayan. Di sepanjang pantai itu mudah ditemui sampan warna-warni berujung lancip yang jadi ciri khas perahu Madura.

Bila pagi, terkadang masyarakat sekitar mencari kerang laut di tepi pantai, tak terkecuali ibu-ibu. Mereka menyebutnya “arang karang” (kegiatan mencari kerang di tepian pantai di antara celah-celah karang).

Beberapa tahun terakhir, investor datang, menyewa lahan-lahan di sepanjang pantai dengan berbagai cara dan pendekatan, serta membuat tambak udang dalam skala besar.

Dawiyatun, perempuan asal Desa Lapa Laok, menceritakan, berbagai perubahan ruang hidup sejak kedatangan para petambak udang.

Tambak udang mencemari laut. Masyarakat, katanya,  mulai terdampak setelah beberapa tahun tambak-tambak itu beroperasi. Akses terhadap sumber pangan makin terbatas.

Warga pesisir rasakan bikin terasi pun makin sulit. Warga, katanya, selain mencari kerang di bibir pantai, juga buat terasi udang untuk konsumsi keluarga.

 

Sebagian properti tambak kini ditelantarkan dan tidak ada upaya perbaikan ekosistem pantai. Foto: Moh. Tamimi/Mongabay Indonesia

 

Para tukang sorok (pencari udang kecil pakai jaring halus) dengan mudah mendapatkan udang-udang kecil untuk jadi terasi.

“Tidak selalu setiap musim selalu banyak sih, cuma pernah itu sampai kayak gunung di pinggir pantai. Udang banyak sekali. Akhirnya, setelah tambak udang itu beroperasi, kan ada banyak pipa itu ke pantai, jadi pantai itu bau. Ikan-ikan tidak dekat,” kata perempuan yang tinggal dekat Pantai Totale, Desa Lapa Laok, itu bulan lalu.

Kakek Dawiyatun biasa nyorok di bibir pantai, sampai kedalaman sedada. Tidak sulit mendapat tumpukan udang sampai menggunung. Lalu neneknya yang akan mengolah udang-udang itu, menjemur, menumbuk, sampai jadi terasi udang.

Udang itu memang untuk kebutuhan keluarga, konsumsi sendiri, tetapi oleh Dawiyatun kadang dipasarkan ke teman-teman baik daring atau luring karena persediaan melebihi kebutuhan konsumsi keluarga.

Teman-temannya suka terasi neneknya, jualan terasi Dawiyatun laris. Dia sampai mengirim terasi ke beberapa kota di luar Madura.

Sayangnya, itu tidak bisa lagi dia lakukan sekarang karena udang sebagai bahan terasi sudah sulit. Kakeknya berusaha menyorok lagi, tetapi hasil tidak seperti biasa, sebelum ada tambak.

“Sekarang, jangankan menjual ke luar Madura, untuk kebutuhan sendiri pun tidak ada, harus beli.”

Mereka tak semudah dulu mengonsumsi terasi buatan sendiri, terasi udang dengan bahan dasar dari alam di sekitar.

 

Tambak udang yang sudah ditinggalkan karena merugi. Tambak udang menghilangkan batas lahan milik warga. Foto: Moh. Tamimi/Mongabay Indonesia

 

Tal cukup sampai di situ, lahan lapang buat masyarakat pun saat ini sudah minim untuk sekadar menjemur hasil panen pertanian seperti padi. Mereka harus menjemur padi di sisa-sisa pantai yang tidak ada tambak udang. Tempat sempit, orang-orang yang mau menjemur di tempat itu harus bergantian atau mencari tempat lain yang biasanya lebih jauh.

Sudah sempit, sulit lagi. Mereka harus berjalan memutar untuk menjemur padi karena akses terdekat biasa digunakan masyarakat setempat telah terhalang tambak. Di sekitar tambak., katanya,  dengan mudah ditemukan limbah yang masih menghitam dan bau.

“Dulu sih pakai (mobil) pick up, sekarang jalannya ke sana tertutup karena tambak itu. Jadi pakai sepeda (motor). Saya kadang bantuin pakai motor.”

Tanah tempat dibangun tambak biasa sewa. Bukan hanya milik satu orang, tetapi pengelola tambak sekat-sekat itu dihilangkan menjadi satu kolam-kolam tambak yang luas. Pemilik tanah tak bisa lagi mengetahui batas tanah secara pasti seperti awal.

Di tanah itu, para pemodal juga membangun musala dan membayar orang menjadi muazin. Para pengusaha tambak di sana dianggap baik oleh sebagian masyarakat karena mereka sering memberikan sembako dan sumbangan kepada masyarakat setempat.

“Ini misal tanah saya di sini, dia di sana, nanti kalau dua tanah ini sudah disewakan, nanti kotak-kotaknya itu (tambak udang), tidak memperhatikan ini tanah siapa, ini tanah siapa, langsung (disatukan)…. jadi, gak tahu, ini punya saya sampai mana gak tahu, gak kelihatan,” kata Dawiyatun. Januari lalu.

Tahun lalu,  sebagian besar pengusaha tambak udang skala besar itu merugi, mereka pulang ke asal mereka entah di mana. Tambak terlantar, sebagian ada yang rusak. Masa sewa selama lima tahun masih tersisa. Masyarakat masih belum bisa melakukan apapun atas tanahnya.

Kendati nanti masa sewa sudah habis dan tidak diperpanjang, lahan-lahan mereka belum tentu bisa langsung berfungsi untuk pertanian seperti sebelumnya.

“Ya mau bagaimana lagi coba nanti, kan nanti orang sini tidak mungkin bertani (sic, beternak) udang, soalnya biaya besar.”

Dewi Candraningrum, aktivis lingkungan, mengatakan, perlu narasi ulang tentang sumber daya alam, kekayaan, dan produktivitas lahan.

“Apakah lahan itu lebih banyak memberikan lebih banyak uang, maka kita sebut ia sebagai produktif?” kata Dewi dalam talkshow online “Feminisme dan Krisis Ekologi” yang diselenggarakan LETSS Talk tahun lalu.

Pemanfaatan lahan juga perlu dilihat dalam jangka panjang, bukan sekadar jangka pendek.

 

Kincir air di tambak udang yang masih beroperasi. Foto: Moh. Tamimi/Mongabay Indonesia

 

***

Mia Siscawati, antropolog feminis mengatakan, perempuan memilik identitas heterogen, tak semua perempuan memiliki situasi yang sama. Ada perbedaan situasi perempuan dalam konteks ekologi, seperti perempuan adat, perempuan petani, dan perempuan pesisir.

Kondisi ekologis dan perempuan di Kecamatan Dungkek tidak jauh berbeda dengan yang terjadi di Kalimantan Timur dan Kalimantan Utara awal 90-an, tutupan mangrove diubah menjadi tambak udang oleh para investor.

Mereka adalah pemodal-pemodal perorangan yang meraup kekayaan dari bisnis kayu sejak tahun 70-an sampai 80-an. Mereka jadi kapitalis-kapitalis kecil yang membuka hutan negara waktu itu.

“Satu orang bisa membuka ribuan hektar dan dibuat tambak, dan dibiarkan saja sepenuhnya oleh negara,” kata dosen Departemen Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Budaya, Universitas Indonesia, itu.

Perempuan mendapatkan dampak langsung atas kerusakan ruang hidup, berbagai limbah bahan kimia berbahaya menjadi satu pemicu, misal, terhadap kesehatan reproduksi perempuan.

“Tentu dampak lain mereka kehilangan sumber makanan karena di mangrove itu banyak sekali sumber makanan.”

Ujungnya, akan terjadi pemiskinan masyarakat pesisir atau masyarakat nelayan. Akses mereka terhadap sumber pangan telah terbatasi tambak udang. Pengetahuan mereka terhadap alam sekitar juga terpotong seiring terpotongnya akses mereka terhadap alam yang sudah dirusak.

“Pengetahuan yang dimiliki perempuan menghilang. Jadi, hanya tertinggal di generasi sebelumnya. Generasi yang lebih muda tidak punya pengetahuan untuk mengidentifikasi, mengolah, dan sebagainya.”

 

Perusahaan rugi tinggal pulang, masyarakat sekitar tambak menangung nestapa. Foto: Moh. Tamimi/Mongabay Indonesia

 

*****

 

Exit mobile version