Mongabay.co.id

Nelayan Natuna Resah Pembatasan Zona Tangkap, Ini Kata KKP

 

Nelayan kecil Natuna kaget ketika melihat dokumen Tanda Daftar Kapal Perikanan (TDKP) mereka terdapat larangan melaut di zona tertentu. TDKP merupakan dokumen yang menyatakan bahwa kapal penangkapan ikan tersebut dimiliki oleh nelayan kecil. Padahal nelayan melaut di jalur yang dilarang.

Dalam lampiran dokumen TDKP yang diterima nelayan kecil Natuna, tertulis jalur penangkapan terlarang. Bagian ini terdapat dua poin yaitu pertama, alat tangkap tonda dilarang melakukan penangkapan Jalur IA, Jalur III dan Laut Lepas. Kedua, alat tangkap pancing ulur dilarang melakukan penangkapan di laut lepas.

Alat tangkap tonda maupun pancing ulur merupakan alat tangkap tradisional yang digunakan nelayan Natuna secara turun temurun dan terbiasa mencari ikan dan jauh ke laut lepas.

Larangan tersebut mengundang protes oleh nelayan Natuna. Pelarangan dianggap membatasi ruang laut nelayan mencari ikan.

Ketua Aliansi Nelayan Natuna (ANN) Hendri mengatakan, sudah menerima laporan masyarakat terkait hal tersebut beberapa minggu sebelumnya. Memang terdapat ketentuan tambahan pada TDKP yang dikeluarkan oleh Satuan Kerja (Satker) Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Kepri.

“Dalam surat itu, melarang pompong nelayan Natuna beroperasional di jalur penangkapan ikan IA dan jalur III. Artinya nelayan dilarang menangkap ikan melebihi 12 mil dari pantai,” kata Hendri.

baca : Laut Natuna Diatur Zonasi, Nelayan: Jangan Batasi Kami

 

 

Dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen KP) No.18/2021 disebutkan jalur penangkapan ikan I terdiri atas dua ketentuan, IA meliputi perairan 2 mil laut diukur dari garis pantai, sedangkan IB perairan di luar jalur IA sampai dengan 4 mil laut.

Jalur penangkapan ikan II, meliputi perairan di luar jalur penangkapan I sampai dengan 12 mil laut. Terakhir jalur penangkapan ikan III, meliputi perairan di luar jalur penangkapan ikan I dan II, termasuk zona ekonomi eksklusif Indonesia.

Pembatasan nelayan ini sudah pernah keluar dalam Permen KP No.59/2020. Dalam aturan itu terdapat dua kebijakan yaitu pelarangan nelayan melaut diatas dua mil dan juga ada izin penggunaan cantrang. “Setelah permen itu kami tolak, maka munculah Permen KP No.18/2021,” kata Hendri.

Menteri KP ketika itu Edy Prabowo berjanji akan menghilangkan dua pasal bermasalah tersebut. Tidak akan ada pelarangan terhadap jalur melaut nelayan dan juga tidak ada izin baru lagi untuk cantrang.

Namun setelah Permen KP No.18/2021 keluar, dua persoalan tersebut diyakini nelayan sudah tidak ada lagi. “Rupanya di bagian akhir Permen ada pelarangan zona tangkap nelayan kecil, kami baru tahu setelah surat TDKP itu dikeluarkan ,” katanya.

Hendri meminta Kementerian Kelautan Perikanan (KKP) membatalkan pembatasan area tangkap nelayan kecil tersebut. “Kebijakan ini sama saja dengan melarang nelayan Natuna untuk menangkap ikan, karena selama ini nelayan Natuna setiap harinya melaut lebih dari 12 mil,” kata Hendri.

baca : Nasib Nelayan Natuna: Terusir Dari Laut Sendiri, Ditangkap di Laut Malaysia

 

Beberapa nelayan pulang melaut di perairan Natuna. Foto : Yogi Eka Sahputra/Mongabay Indonesia

 

Pertengahan Januari 2023 lalu, beberapa perwakilan Nelayan Natuna mengadu ke kantor Gubernur Provinsi Kepulauan Riau. Pertemuan membuahkan hasil, Gubernur Kepri mengeluarkan dua surat sekaligus hasil dari pertemuan tersebut untuk dikirimkan kepada KKP.

Dalam surat Gubernur Kepri meminta supaya jalur III pada WPP-NRI 711 tidak ditutup untuk penangkapan ikan menggunakan alat tangkap pancing tonda. Pasalnya pada Permen 18 tahun 2021 disebutkan alat tangkap pancing tonda hanya diperbolehkan pada jalur IB dan II. Pelarangan tonda pada jalur III itu menyebabkan kekhawatiran nelayan.

 

KKP akan Turun ke Natuna

Direktur Jenderal Perikanan Tangkap KKP Muhammad Zaini meminta nelayan untuk tetap tenang terkait aturan itu. Dalam waktu dekat dirinya bersama tim KKP akan turun ke Natuna untuk melihat masalah tersebut.

“Dalam waktu dekat kita akan ke Natuna, kita coba relaksasi aturan-aturan yang dikeluhkan nelayan tersebut,” kata Zaini saat dihubungi Mongabay, Senin, 14 Februari 2023.

Zaini menjelaskan, terjadi kekosongan aturan soal zona tangkap nelayan, salah satunya untuk kapal ukuran diatas 5 GT dan dibawah 30 GT di Natuna. Kapal ukuran 30 GT ke atas merupakan kewenangan pemerintah pusat untuk mengeluarkan izin, yang rata-rata melaut 12 mil ke atas

Sedangkan pemerintah daerah mengeluarkan izin kapal yang melaut 12 mil ke bawah atau kapal yang memiliki ukuran dibawah 10 GT. “Sedangkan pusat tidak boleh mengeluarkan izin kapal yang berada dibawah 30 GT. sehingga terjadi kekosongan hukum,” kata Zaini.

baca juga : Hak Istimewa Nelayan Tradisional pada Zona Penangkapan Terukur

 

Deretan kapal nelayan kecil di Pelabuhan nelayan Natuna, Kepulauan Riau. Foto : Yogi Eka Sahputra/Mongabay Indonesia

 

Lalu bagaimana dengan kapal yang ukuran 30 GT ke bawah dan beroperasi di atas 12 mil? “Siapa yang mengeluarkan izinnya, kan tidak ada, ini yang sering dikriminalisasi daerah lain,” kata Zaini.

Makanya PP No. 85 Tahun 2021 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Kementerian Kelautan dan Perikanan, akan dimasukan di dalamnya bahwa kapal yang melaut di atas 12 mil izinnya akan berada di pemerintah pusat.

“Tim lapangan akan kita kirim nanti, ini akan menjadi rujukan untuk bikin relaksasi kekosongan hukum itu. Nelayan jangan khawatir, saya jamin itu, bekerja aja seperti biasa, sebelum aturan baku keluar saya akan turunkan surat edaran, biar nelayan nyaman melaut. Negara tidak mungkinlah menyengsarakan rakyatnya,” pungkasnya.

 

 

Exit mobile version