Mongabay.co.id

Limbah Elektronik, Ancaman bagi Lingkungan dan Keselamatan Pemulung Anak

 

Limbah elektronik telah menjadi salah satu masalah perkotaan yang butuh pengelolaan serius. Di Indonesia limbah elektronik mencapai 1,8 juta ton per tahun, hanya 10 persen yang dikelola dengan benar dan memiliki izin secara resmi, selebihnya dikelola sektor informal baik individu maupun kelompok yang tidak memiliki izin dan tidak terdaftar.

Di Indonesia, limbah elektronik termasuk dalam kategori limbah berbahaya dan membutuhkan izin khusus untuk penanganannya sebagaimana diatur UU Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah dan PP Nomor 101 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun.

Pulau Jawa menyumbang terbesar sampah elektronik (56%), Pulau Sumatera (22%), dan sisanya terbagi di seluruh daerah di Indonesia.

 

Limbah sampah elektronik menjadi salah satu ancaman bagi kesehatan dan keselamatan. Pada Februari 2023 total potensi limbah elektronik di Kota Makassar mencapai 5.651,2 ton per tahun. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia.

Baca juga: Menangani Sampah Elektronik, Bagaimana Seharusnya?

 

Limbah elektronik di Makassar

Chief Advocacy, Campaign, Communication & Media Save the Children Indonesia, Troy Pantouw dalam paparannya menyebut sampah elektronik adalah jenis sampah dengan pertumbuhan tercepat di dunia, bahkan berpotensi menjadi sampah terbanyak kedua setelah limbah plastik dan tekstil.

“Limbah elektronik yang tidak dikelola dengan baik akan menjadi polusi dan menghasilkan emisi, hingga berisiko mengganggu kesehatan masyarakat, termasuk anak-anak,” sebutnya dalam workshop Co-creation Circular Genius di Makassar (16/2/2023).

Laporan riset dari Save the Children berjudul Circular Geniuses yang dirilis pada Februari 2023 menyebut total potensi limbah elektronik di Kota Makassar mencapai 5.651,2 ton per tahun.

Terdapat tiga kecamatan yang memiliki limbah elektronik terbesar, yaitu Kecamatan Makassar, Mamajang, dan Mariso. Jenis limbah pun beragam, terbanyak berturut-turut televisi, ponsel, kipas angin, penanak nasi, setrika, kulkas, laptop, dan Air-Conditioner (AC).

Riset menjumpai bahwa masyarakat mengelola limbah elektronik dengan cara disimpan (40%), dijual (33%), diperbaiki (20%), dibuang (4%), dan hanya 3 persen yang didaur ulang.

Menurut Troy, salah faktor utama penyebab anak-anak terlibat dalam pengumpulan sampah di Makassar adalah faktor ekonomi di mana para orang tua memaksa anak-anak mereka bekerja sebagai pemulung.

Di Makassar sendiri terdapat sekitar dua ratus pemulung anak-anak berusia antara 6-17 tahun. Mereka berada pada level paling bawah dalam sistem limbah elektronik sebagai pengumpul.

“Tak jarang mereka juga terlibat dalam proses pemilahan yang tidak aman. Seperti membakar plastik secara terbuka, membongkar komponen papan sirkuit dengan cara yang tidak aman. Diperparah dengan tidak dilengkapi peralatan keselamatan yang tepat,” sambungnya.

“Tentu ini dapat mengancam mengancam kesehatan dan keselamatan anak-anak.”

 

Sampah elektronik memiliki potensi pemanfaatan, menciptakan lapangan pekerjaan baru bagi masa depan ekonomi dan lingkungan yang berkelanjutan. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia.

Baca juga: Ketika Telur Ayam lebih Beracun dibanding Lokasi Instalasi Sampah

 

Bisa bernilai tambah

Selain menjadi masalah, Troy menyebut sektor elektronik sirkuler atau daur ulang sampah elektronik sebenarnya dapat menciptakan 75.000 pekerjaan yang layak dan ramah lingkungan pada tahun 2030. Dengan 91 persennya perempuan dan berkontribusi pada program transisi hijau inklusif.

Save the Children sendiri bekerja sama dengan Accenture telah melakukan pemetaan potensi dan masalah pengelolaan limbah elektronik di Makassar sejak akhir tahun 2022.

Tujuannya untuk mendukung keluarga pemulung dengan menjamin kesehatan dan keselamatan, meningkatkan keterampilan dan pendidikan keluarga untuk bangkit dari kemiskinan, dan menjamin pekerjaan yang lebih layak.

Ferdi Mochtar, Pelaksana Tugas Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kota Makassar mengapresiasi riset yang dilakukan Save the Children Indonesia. Dia menyebut akan mengambil langkah-langkah konkret mengatasi masalah yang ada.

Menurutnya, hal terpenting dilakukan sekarang adalah mengampanyekan bahaya sampah elektronika ke tingkat RT, RW dan sekolah-sekolah serta mendorong regulasi di tingkat daerah.

“Terkait regulasi, memang belum ada Perda terkait penanganan sampah elektronika. Hal ini memang sangat dibutuhkan.”

Selama ini tuturnya pengelolaan limbah elektronik mengacu pada UU Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah dan PP Nomor 101 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun.

Ferdi melihat sekolah akan menjadi sasaran sosialisasi, termasuk merancang boks khusus untuk pengumpulan sampah elekstronika. Pihaknya pun terbuka jika ada start-up ataupun perusahaan yang dapat diajak bekerjasama.

Veronica, Kepala UPT Bank Sampah Pusat Dinas Lingkungan Hidup Makassar menyatakan ada beberapa item sampah elektronik yang tidak bisa diolah kembali.

“Beberapa sampah elektronik yang kami anggap berbahaya seperti bohlam, tabung televisi, dan botol infus, tidak bisa diolah kembali karena dianggap berbahaya,” jelasnya.

 

 

Exit mobile version