- Nama hiu berjalan masih relatif kurang dikenali publik jika menyebut nama-nama ikan atau biota laut yang ada di dalam negeri. Padahal spesies itu statusnya sudah rentan dan terancam punah karena keunikannya
- Dari sembilan jenis hiu berjalan yang ada di perairan laut dunia, sebanyak enam jenis diketahui ada di perairan Indonesia. Perairan Indonesia Timur menjadi habitat bagi ikan yang pergerakannya cukup lamban, karena bergerak seperti berjalan dan bukan berenang
- Semua provinsi yang ada di Indonesia Timur menjadi habitat bagi hiu berjalan, seperti perairan Papua, Papua Barat, Maluku, dan Maluku Utara. Tetapi, ancaman kerentanan terus meningkat, karena ada pemanfaatan untuk kebutuhan pasokan ikan hias dunia
- Dengan latar belakang tersebut, Pemerintah Indonesia kemudian menetapkan hiu berjalan sebagai ikan yang dilindungi secara penuh melalui Keputusan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 30 Tahun 2023 tentang Perlindungan Penuh Ikan Hiu Berjalan
Perlindungan terhadap spesies laut yang sangat berharga, ikan hiu berjalan (Hemiscyllium spp.), akhirnya dilakukan secara penuh oleh Pemerintah Indonesia. Upaya tersebut dilakukan, karena spesies tersebut dari waktu ke waktu terus terancam populasinya.
Penetapan status tersebut diharapkan bisa menjaga dan menjamin keberadaan, ketersediaan, serta kesinambungan spesies tersebut. Mengingat, dalam beberapa tahun terakhir, hiu berjalan terus mengalami penurunan populasi.
Akibat penurunan tersebut, pada 2020 Uni Internasional untuk Konservasi Alam (IUCN) bahkan tak segan memasukkan seluruh spesies hiu berjalan ke dalam kelompok merah. Itu berarti, hiu berjalan sudah dinilai mengalami kerentanan dan kelangkaan.
Direktur Jenderal Pengelolaan Ruang Laut Kementerian Kelautan dan Perikanan (PRL KKP) Victor Gustaaf Manoppo menjelaskan kalau perlindungan penuh hiu berjalan ditetapkan melalui Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 30 Tahun 2023 tentang Perlindungan Penuh Ikan Hiu Berjalan.
Ketetapan tersebut ditandatangani langsung oleh Menteri Kelautan dan Perikanan, Sakti Wahyu Trenggono pada akhir Januari 2023. Dengan demikian, diharapkan penurunan populasi akan bisa dihentikan dan pengelolaan dilakukan dengan lebih baik.
“Hiu berjalan merupakan salah satu dari 20 jenis ikan prioritas konservasi KKP tahun 2020-2024,” terang dia pekan ini di Jakarta.
baca : Desakan Perlindungan Hiu Berjalan dari Raja Ampat dan Halmahera
Menurut dia, penurunan populasi, ancaman kerentanan, dan kelangkaan jenis ikan hiu berjalan yang selama ini terjadi, menjadi pertimbangan bagi KKP untuk membuat kebijakan pengelolaan sumber daya ikan (SDI) tersebut dengan lebih baik lagi.
Saat ini, hiu berjalan dari genus Hemiscyllium menjadi spesies endemik di seluruh dunia, karena hanya ditemukan di perairan Papua, Papua Barat, Maluku, Maluku Utara, Papua Nugini, dan Australia. Mereka mendiami habitat air laut tropis.
Dia menyebutkan, dari total sembilan spesies hiu berjalan yang ada di seluruh perairan laut dunia, sebanyak enam spesies di antaranya diketahui hanya ada di perairan Indonesia. Itu kenapa, perlindungan penuh menjadi satu kebijakan yang wajib untuk diterapkan di Indonesia.
Victor menambahkan, sejak IUCN menetapkan ikan tersebut masuk kelompok merah pada 2020, semakin banyak pihak yang peduli pada hiu berjalan. Dari enam spesies di Indonesia, dua spesies dimasukkan ke dalam kelompok near threatened atau hampir terancam.
“Tiga spesies dikategorikan rentan (vulnerable), dan satu spesies memiliki kategori sedikit perhatian (least concern),” urai dia.
Penyebab terus menurunnya populasi hiu berjalan di dunia, adalah karena ikan tersebut cenderung mendapatkan tekanan yang berasal dari faktor antropogenik atau karena campur tangan manusia. Kemudian, juga karena hiu berjalan memiliki pergerakan yang lamban dan tidak berbahaya, sehingga mudah untuk ditangkap oleh nelayan.
baca juga : Hiu Berjalan, Si Unik dari Negeri Seribu Pulau
Walau bukan sebagai target penangkapan ikan untuk konsumsi, namun ancaman kepunahan hiu berjalan di Indonesia bisa terjadi kapan saja, karena faktor pemanfaatan untuk keperluan tertentu yang tidak terkendali.
Adapun, pemanfaatan hiu berjalan di Indonesia banyak dilakukan untuk memenuhi kebutuhan pasar ikan hias. Kebutuhan tersebut juga diprediksi akan terus berlangsung lama, karena hiu berjalan memiliki morfologi dan karakter yang unik.
Oleh karena itu, hiu berjalan sebenarnya memiliki potensi yang besar untuk menunjang sektor pariwisata bahari, sebagai bagian dari destinasi wisata menyelam (diving). Saat berada di dalam laut, penyelam akan tertarik untuk mengamati keunikan hiu berjalan.
Genetik Unik
Direktur Konservasi dan Keanekaragaman Hayati Laut KKP Firdaus Agung menambahkan, sifat umum biologi dari kelompok hiu berjalan cenderung hidup menetap di dasar perairan yang dangkal, dan tidak aktif bergerak dan hidup di habitat yang spesifik seperti daerah terumbu karang dan padang lamun.
Kondisi itu menyebabkan tidak terjadinya percampuran populasi antar tiap anggota spesiesnya di wilayah tersebut. Hal itu menyebabkan terjadinya proses spesiasi secara alami mengikuti pergerakan lempeng tektonik dengan proses hidrologi sejak puluhan juta tahun lalu.
Firdaus menyebut kalau setiap jenis ikan dari genus Hemiscyllium memiliki kekhasan genetik yang ditunjukkan secara morfologis melalui pola dan corak warna yang berbeda-beda. Keragaman genetis dari setiap spesies ikan hiu berjalan ini merupakan suatu keunikan tersendiri yang harus dipertahankan agar terjaga kemurniannya.
“Pasca penetapan status perlindungan ikan hiu berjalan, KKP akan melakukan sosialisasi tentang status perlindungannya ke masyarakat dan menyusun rencana aksi nasional konservasinya,” tegas dia.
menarik dibaca : Hiu Berjalan Halmahera, Jenis Unik yang Tidak Bakal Ditemukan di Perairan Lain
Pada 2020, Peneliti dari University of Queensland, Australia Christine Dudgeon pernah menyatakan bahwa hiu berjalan yang ditemukan tim peneliti merupakan spesies hiu terakhir yang melakukan evolusi. Tepatnya, terjadinya pada sembilan juta tahun yang lalu.
Dengan demikian, hiu berjalan menjadi spesies hiu termuda yang melakukan evolusi, karena sebagian besar hiu terakhir berevolusi sekitar 200 juta tahun yang lalu. Temuan perkiraan waktu evolusi yang dilakukan hiu berjalan, didapat melalui pendekatan filogeni molekuler.
Sementara, Peneliti Madya Pusat Riset Oseanografi Badan Riset dan Inovasi Nasional (PRO BRIN) Fahmi mengatakan bahwa tugas untuk melindungi hiu berjalan tidak cukup dengan status perlindungan penuh melalui Kepmen KP 30/2023 saja.
“Masih ada beberapa catatan penting yang harus dilakukan untuk menjamin upaya perlindungan hiu berjalan ini. Di antaranya adalah harus ada kajian lanjutan terkait peta sebarannya,” ungkap pria yang juga menjadi Regional Vice Chair Asia dari IUCN Shark Specialist Group.
Menurut dia, kajian peta sebaran menjadi penting karena untuk mengetahui batas-batas sebaran jelas dari setiap jenis hiu berjalan. Selain itu juga, agar bisa dipetakan wilayah-wilayah yang perlu diawasi untuk perlindungan hiu berjalan dan habitatnya.
baca juga : Hiu Mulut Besar yang Paling Langka Mati Terdampar di Adonara dan Dikonsumsi Warga
Tentang penamaan hiu berjalan, Fahmi menjelaskan kalau itu karena pergerakan spesies tersebut di air seperti sedang berjalan, dan bukan berenang sebagaimana jenis ikan pada umumnya. Pergerakan itu muncul karena ada sifat biologi yang cenderung menetap di dasar perairan, dan lebih menggunakan otot sirip dadanya (pektoral) untuk melakukan pergerakan tersebut.
Dari segi ukuran, hiu berjalan masuk pada kelompok ikan berukuran kecil dengan total panjang (total length/TL) di bawah 100 sentimeter (cm). Selain itu, ikan tersebut juga memiliki populasi yang kecil, sehingga rentan mengalami kepunahan.
Terpisah, Vice President dari Conservation International Asia Pacific Mark Erdmann menyebutkan kalau hiu berjalan memiliki potensi sebaran yang sangat terbatas dan mereka tidak berenang dengan melintasi air yang dalam di lautan.
Namun demikian, hiu berjalan mengalami laju reproduksi dan pertumbuhan populasi yang cepat, meski memiliki tubuh relatif kecil kurang dari satu meter. Ikan tersebut juga mengalami tekanan eksploitasi perikanan relatif rendah, namun terbatas pada distribusi pergerakan.
“Dampaknya, ukuran populasi mereka kecil dan rentan terhadap kepunahan karena tidak bisa “lari” apabila ada degradasi habitat dan perubahan iklim,” pungkasnya.