Mongabay.co.id

Merangkai Sejarah Toba: Erupsi Vulkanik Purba, Hikayat Rakyat, hingga Geopark Dunia

 

Danau Toba adalah danau vulkanik yang terluas di Asia Tenggara. Danau yang ada di ketinggian 900 m dpl ini berada di Sumatera Utara. Luas Danau Toba yaitu 1.130 km2, dengan panjang lebih kurang 100 km, dan lebar 30 km. Diperkirakan dalamnya hingga 508 meter.

Dalam jurnal ilmiah yang ditulis Petraglia & Korisettar (2011) menyebut gunung api Toba purba memuntahkan erupsi sekitar 74 ribu tahun yang lalu. Letusannya dianggap sebagai salah satu yang terbesar terjadi di dunia, atau yang dikenal sebagai ‘erupsi super vulkanik’.

Abu letusannya menyelimuti wilayah laut dan darat, terbentang luas dari Laut Arab di barat hingga di selatan Tiongkok. Letusan Toba purba pun dianggap lebih dahsyat jika dibandingkan dengan letusan Tambora maupun Krakatau.

Selain para ahli di bidang geologi, super vulcano yang terjadi pun menjadi topik kajian hangat di kalangan ahli paleoantropologi, arkeologi dan ahli genetik. Para ahli coba menguak dampak letusan gunung api Toba dengan evolusi dan persebaran spesies manusia (Homo sapiens). Mengingat di waktu yang bersamaan, manusia saat itu hidup berdampingan dengan spesies manusia lain seperti Neanderthal, Denisovans dan Homo floresiensis.

Beberapa pertanyaan hipotetik pun dikaji para ahli untuk menemukan bukti-bukti yang mengarah kepada perubahan iklim bumi akibat abu vulkanik di atmosfer yang turut berpengaruh terhadap runtuhnya demografi  ragam spesies homo yang ada di masa itu.

Batuan hasil letusan supervolcano gunung api purba Toba. Dok: Jonathan Tarigan

Baca juga: Satwa Liar Penjaga Ekosistem Danau Toba

 

Namun sejatinya, teka-teki keberadaan Toba sebagai gunung api purba sendiri baru terungkap oleh seorang pakar geologi Belanda, Reinout Willem van Bemmelen. Dalam penelitiannya di tahun 1939, dia menjumpai banyaknya batu apung di sekitaran Danau Toba. Debu riolit  yang seusia batuan Toba pun dijumpai di Malaysia hingga ke India Tengah, Samudera Hindia hingga Teluk Benggala.

Bemmelen juga peneliti awal yang membangun teori bahwa Danau Toba adalah tinggalan kaldera gunung raksasa yang tercipta dari letusan mahadahsyat.

Penelitian geologi pun berlanjut oleh Craig Alan Chesner dari Eastern Illinois University yang meneliti Danau Toba (1991). Dalam seri penelitiannya, di tahun 1994, Chesner mengirim sampel abu vulkanik Toba ke koleganya John Wesgate dari Toronto University.

Temuan Wesgate, menemukan abu vulkanik yang berusia 74.000 tahun lalu yang tersebar di berbagai belahan bumi, ribuan kilometer dari gunung api Toba.

Beberapa pakar pun menyebut, tidak hanya satu kali, tetapi hingga empat kali kaldera Toba terbentuk akibat letusan raksasa. Dimulai sejak 1,2 juta tahun lalu dan terakhir adalah 74 ribu tahun lalu.

 

Danau Toba berasal dari kaldera gunung api Toba purba. Dok: Klim Levene/FLICKR/Wikipedia atribusi CC BY 2.0

Baca juga: Menolak Ikan Batak Punah, Apa yang Perlu Dilakukan?

 

Keragaman Hayati

Dengan keunikan geologinya, Danau Toba juga menyimpan kekayaan keragamanhayati. Ikan batak (Neollissochilus thienemannie) misalnya. Jenis ikan ini hanya hidup di perairan Danau Toba dan sungai-sungainya. Ikan ini berbiak di sumber air yang jernih.

Saat ini populasinya amat mengkhawatirkan dan terancam punah. Pada tahun 2021, Pemerintah memasukkan ikan ini dalam daftar ikan yang dilindungi.

Danau Toba juga menyimpan keragaman jenis amfibi. Salah satunya adalah kadal hidung tanduk atau nose horned lizard (Harpesaurus modiglianii Vinciguerra). Spesies ini awalnya teridentifikasi pada tahun 1891. Lama tidak dijumpai ia dianggap telah punah. Baru pada tahun 2020 lalu, kadal ini ditemukan kembali oleh para peneliti BRIN dan Universitas Indonesia.

Tentu saja yang paling khas adalah tumbuhan rempah asal Danau Toba, yang kerap dijadikan bagian dari kuliner suku Batak, yaitu andaliman (Zanthoxylum acanthopodium). Tumbuhan yang termasuk rumpun jeruk-jerukan (rutaceae) ini hidup di dataran tinggi, 1.200-1.500 mdpl, berbentuk kecil bergerombol, mirip dengan merica.

 

Selain pencemaran dan limbah industri, maka spesies invasif seperti tanaman eceng gondok menjadi ancaman bagi ekosistem perairan Danau Toba. Foto: Barita Lumbanbatu/Mongabay Indonesia

 

Hikayat Danau Toba

Di sekitar Danau Toba, hidup beberap etnis seperti Batak Toba, Karo, Simalungun dan Pakpak. Dalam kultur masyarakat, kebersamaan adalah hal terpenting. Mereka adalah masyarakat yang terbuka terhadap para pendatang.

Hal in terungkap dari beragam ungkapan selamat datang. Etnis Toba mengungkapkan dengan “Horas Jala Gabe”. Etnis karo mengungkapkannya “Mejuah-juah Kita Kerena”, Pakpak dengan ungkapan ‘Njuah Juah’.

Meski secara peristiwa geologis, ‘pulau’ Samosir adalah bentukan dari naiknya kubah lava sesar (Chesner, Barbee, McIntosh, 2020), sebagai bagian dari kearifan lokal, masyarakat setempat memiliki hikayat tersendiri tentang Danau Toba dan Pulau Samosir.

Alkisah, hiduplah seorang lelaki bernama Toba, dia bekerja berladang dan menangkap ikan di sungai. Suatu ketika dia menangkap ikan bersisik emas raksasa. Toba pun pulang dengan perasaan gembira.  Setibanya di rumah, ikan tersebut berubah menjadi seorang gadis cantik. Putri namanya. Dia dikutuk Dewa menjadi seekor ikan.

Melihat kecantikannya Toba pun ingin menikahinya. Putri bersedia asalkan Toba tak memberitahu siapapun bahwa dia adalah jelmaan ikan. Dari hasil pernikahan mereka, lahirlah anak laki-laki yang diberi nama Samosir.

Samosir pun tumbuh besar. Suatu waktu Samosir disuruh Ibunya membawa bekal makanan untuk ayahnya yang lagi bekerja di ladang. Dalam perjalanan, Samosir merasa lapar, bekal ayahnya pun dilahapnya tak tersisa.

Saat mengetahui  bakul bekalnya sudah kosong, tersentak amarah Toba. Dia pun membentak Samosir, “Dasar anak keturunan ikan!”

Samosir pulang dengan kondisi menangis sedih, dia mengadu pada ibunya. Mendengar cerita anaknya, Putri pun menggandeng tangan Samosir. Dalam sekejap, mereka berdua menghilang.

Saat mengetahui istri dan anaknya hilang, Toba menyesal dan menangis sepanjang hari, air matanya mengalir deras tak terhenti. Sampai-sampai desanya menjadi tenggelam, lalu berubah jadi danau yang lalu dikenal sebagai Danau Toba. Di tengah danau ada pulau kecil seperti bekas jejak kaki manusia, Pulau Samosir.

 

Batuan sisa letusan super volcana Toba. Dok: Jonathan Tarigan

Baca juga: Kala Danau Toba jadi Geopark Dunia

 

UNESCO Global Geopark Kaldera Toba

Ide untuk menjadikan Danau Toba sebagai Geopark Dunia dimulai dari para peneliti Indonesia dan Eropa yang prihatin terhadap kondisi danau yang berangsur rusak, dikarenakan berbagai aktivitas seperti, deforestasi, pencemaran, pembangunan industri dan pertambangan.

Setelah lama diperjuangkan, akhirnya pada tanggal 7 Juli 2020 di dalam Sidang ke-209 Dewan Eksekutif UNESC0 di Paris, Kaldera Toba ditetapkan sebagai Global Geopark baru.

“Keanggotaan UNESCO Global Geopark tidak mudah didapat. Didaftar dan digagas sejak tahun 2009, lalu tahun 2013 dibentuk tim percepatan dan ditindaklanjuti dengan membentuk Badan Pengelola Geopark Kaldera Toba,” jelas peneliti geoscientist, Jonathan Tarigan saat dihubungi Mongabay melalui telepon.

Saat diajukan pertama kali pada tahun 2015, pengajuan Danau Toba belum dapat diterima karena masih rendahnya pemberdayaan masyarakat lokal. Saat diajukan kembali tahun 2018 juga belum diterima, masih harus memperbaiki sejumlah aspek, khususnya pembuatan rencana induk pembangunan kawasan.

“Pembangunannya (Geopark Kaldera Toba) mengawinkan unsur geodiversity, biodiversity, dan culturediversity,” jelas Tarigan yang saat ini bekerja pada Badan Pengelola Toba Caldera UNESCO Global Geopark (BP TCUGG).

Geopark Kaldera Toba sebutnya, dikelilingi 16 lokasi situs geologi (geo site) yang tersebar di 6 kabupaten: Sipisopiso dan Tongging di utara, Semenanjung Tuktuk di timur, Puncak Uludarat, Sibeabea, Pusuk Buhit, Pulau Samosir di sebelah barat, Semenanjung/Blok Uluan di tenggara, Hutaginjang di selatan, dan Teluk Bakkara dan Lembah Tipang di barat daya.

Jelasnya, Global Geopark pun harus memiliki nilai geologi yang memenuhi syarat global. Ada tiga pilar yang harus dipenuhi dalam membangun taman bumi atau geopark: pemberdayaan masyarakat lokal, edukasi, dan konservasi.

“Jadi basisnya bukan hanya semata [pengembangan] aspek pariwisata, tapi juga dari aspek-aspek lain,” pungkasnya.

 

***

Foto utama: Danau Toba dengan daratan Samosir di tengahnya. Dok: Wikipedia common

 

Exit mobile version