Mongabay.co.id

Studi: Resistensi Antimikroba Meningkat Karena Polusi dan Perubahan Iklim

 

Menurut laporan yang dikeluarkan oleh Program Lingkungan PBB (UNEP), polusi dari berbagai sumber meningkatkan resistensi terhadap senyawa yang digunakan untuk mengobati infeksi. Para penulis mencatat bahwa perubahan iklim dan hilangnya keanekaragaman hayati juga mendorong perkembangan resistensi antimikroba, atau yang disebut sebagai AMR (antimicrobial resistance).

Mereka beranggapan bahwa upaya melawan antimikroba melalui pengobatan yang sistemik, akan berakhir tidak efektif. Pada akhirnya ketergantungan manusia pada antiobiotik dan senyawa antimikroba akan menciptakan situasi paradoks.

Bahan kimia ini memang mengobati infeksi bakteri, virus, jamur dan parasit, pun turut menyelamatkan banyak nyawa di seluruh dunia, serta meningkatkan produksi tanaman pangan dan ternak. Namun, penggunaannya, -yang kadang berlebihan dalam banyak kasus, harus dibayar mahal.

Hal ini mendorong evolusi mikroba yang berpotensi berbahaya. Mereka berubah bentuk menjadi lebih tahan (kebal) terhadap obat yang diberikan.

“Mikroorganisme menjadi lebih kuat,” jelas David Graham, salah satu penulis utama laporan dan profesor di jurusan Teknik Ekosistem di Universitas Newcastle Inggris. Dia menyampaikan hal ini dalam konferensi pers di pertemuan Kelompok Pemimpin Global tentang Perlawanan Antimikroba di Barbados, awal Februari 2023 lalu.

Studi menunjukkan infeksi bakteri yang kebal terhadap antimikroba berperan atas  kematian hampir 5 juta orang pada tahun 2019. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menganggap resistensi antimikroba sebagai salah satu dari 10 ancaman teratas bagi kesehatan global.

Limbah industri farmasi, rumah sakit, kotoran manusia, dan pertanian memaparkan kuman pada obat-obatan. Demikian juga hilangnya keanekaragaman hayati yang dapat berpengaruh pada perkembangan mikroba. Hal ini memberi mereka lebih banyak peluang untuk mengembangkan resistensi.

Kehadiran polutan lain di lingkungan, seperti logam berat, -seperti seng, yang digunakan dalam produksi baja, juga dapat memicu perkembangan resistensi terhadap antimikroba penting. Iklim global yang lebih hangat juga dapat menyebabkan resistensi yang meluas.

Suhu yang lebih tinggi dapat mendorong laju transfer gen dari mikroba ke mikroba lainnya. Selain itu cuaca ekstrem akibat perubahan iklim, dapat membongkar ‘tembok pemisah’, diantara kita dan mikroorganisme yang mematikan.

 

Sampah yang mencemari kawasan Pantai di Tuban, Jawa Timur. Selain dari pemukim warga, adanya perkembangan industri yang pesat dan kegiatan pertambangan yang ekstraktif turut mempengaruhi polusi dan pencemaran. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

Baca juga: 2025, Sampah Plastik Berkurang 70 Persen?

 

“Dalam situasi saat banjir misalnya, penghalang itu rusak. Anda akan mendapati penyebaran yang tidak terkendali di tempat-tempat di mana AMR [tadinya] tidak ada,” kata Graham.

“Membatasi kenaikan suhu dan fenomena iklim ekstrim akan dapat mengekang kemungkinan resistensi baru. Kegagalan ini dapat membawa umat manusia kembali ke periode saat infeksi ringan pun dapat menjadi sangat mematikan.”

Di luar upaya untuk mengatasi perubahan iklim, maka menghentikan peningkatan AMR diperlukan upaya sanitasi dan pengolahan air limbah yang lebih baik, peningkatan kemampuan industri dalam menahan pelepasan polutan, dan membatasi penggunaan bahan kimia pertanian sehingga menghambat perkembangan hadirnya mikroba resisten.

Penelitian ini menunjukkan proyeksi terbaru penggunaan antibiotik pada hewan ternak akan meningkat sebesar 8 persen di tahun 2030.

“Jika Anda memiliki hewan yang sehat, Anda tidak memerlukan antibiotik,” sebut Graham.

Menurut WHO, AMR dapat menyebabkan tambahan 10 juta kematian baru pada tahun 2050, atau kira-kira sebanyak orang yang meninggal karena kanker secara global pada tahun 2020.

Resistensi pun akan merugikan ekonomi hingga trilyunan dolar karena hilangnya produktivitas dan memiskinkan 24 juta orang lebih di seluruh dunia, jelas para penulis laporan.

Sunita Narain, Direktur Jenderal Indian Nonprofit Centre for Science and Environment, menyebut dana pemulihan akan menjadi sangat mahal. Narain menjadi konsultan dalam penulisan laporan ini.

“Biaya pembersihan setelah lingkungan Anda tercemar akan sangat mahal,” ungkapnya.

 

Referensi:

Mulchandani, R., Wang, Y., Gilbert, M., & Van Boeckel, T. P. (2023). Global trends in antimicrobial use in food-producing animals: 2020 to 2030. PLOS Global Public Health, 3(2), e0001305. doi:10.1371/journal.pgph.0001305

United Nations Environment Programme. (2023). Bracing for Superbugs: Strengthening environmental action in the One Health response to antimicrobial resistance. Geneva.

 

Tulisan asli dapat dibaca pada tautan ini: Pollution and climate change set stage for rise in antimicrobial resistance.  Artikel ini diterjemahkan oleh Akita Verselita.

 

***

Foto utama: Menguji berbagai bakteri untuk resistensi antimikroba. Gambar oleh DFID – Departemen Pembangunan Internasional Inggris melalui Wikimedia Commons (CC BY 2.0).

Exit mobile version