Mongabay.co.id

Aktivis Sosial: Banjir Makassar, Bukti Kegagalan Perancangan Kota

 

Curah hujan tinggi di Kota Makassar dan sekitarnya pada pertengahan Februari 2023 lalu, telah menyebabkan genangan air yang cukup tinggi di sejumlah titik jalan dan permukiman. Kondisi banjir ini dianggap terparah sejak banjir yang mengepung Kota Makassar di tahun 2019 silam.

Di bagian pesisir laut terlihat jelas air laut mengalami pasang tinggi dan meluber ke daratan. Ini sesuai dengan peringatan sebelumnya dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Wilayah IV Makassar.

BMKG menyebut adanya potensi peningkatan curah hujan dikarenakan adanya tekanan rendah (low pressure area) di wilayah Australia bagian utara yang menginduksi. Sehingga terjadi peningkatan kecepatan angin dan membentuk daerah konvergensi di wilayah Sulawesi Selatan.

Banjir di Makassar terjadi di beberapa titik jalan utama seperti di Jalan Nusantara, Urip Sumoharjo, Perintis Kemerdekaan hingga Tol Reformasi. Selain itu, genangan banjir terlihat parah di Jalan Sulawesi, Monginsidi Baru, Cokonuri Raya, Ir Sutami dan Mula Baru, serta Lompobattang. Di beberapa lokasi, terpantau air tergenang hingga betis orang dewasa.

Di sepanjang jalan AP Pettarani genangan air berada di sebelah kiri, yang kemungkinan disebabkan oleh sistem drainase jalan yang bermasalah.

Wali Kota Makassar, Moh Ramdhan Pomanto menyebut selain hujan dengan intensitas tinggi, banjir Makassar juga dipengaruhi air pasang laut yang telah naik ke permukaan.

“Sejak Senin pagi 14 Februari 2023 terjadi kenaikan air pasang laut, sehingga air hujan tidak mengalir bebas ke muara. Faktor drainase tersumbat mengakibatkan genangan air,” sebutnya.

 

Warga yang mengungsi ke lokasi yang lebih tinggi. Sebagian warga juga mengungsi ke masjid-masjid yang tidak tergenang banjir. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia.

Baca juga: Mencari Akar Masalah Banjir di Kota Besar Indonesia

 

Pembangunan Kota yang Tidak Terencana

Aktivis sosial Rusdy Talha menyoroti kebijakan pemda yang tidak mampu mengatasi banjir yang terulang. Dia menilai permasalahan banjir ini harus diselesaikan secara radikal.

Pemkot sebutnya, harus secara tegas melarang pembangunan di daerah-daerah resapan dan melarang reklamasi dan pembangunan perumahan.

“Selama ini pemerintah sebenarnya telah punya instrumen kebijakan, tapi visi misi tidak dijalankan dengan baik,” jelas Rusdy dalam paparannya di Forum Diskusi Tamalanrea (17/2/2023)

Pegiat sosial dan dosen di Universitas Negeri Makassar (UNM) Makassar, Aslan Abidin menyebut banjir adalah hasil dari perancangan dan pengelolaan kota yang serampangan. Selama ini tak ada kajian terkait curah hujan dan kapasitas kota yang ada. Misalnya, selokan, saluran air harus diperhitungkan kapasitasnya.

“Pembangunan perumahan baik kecil dan besar masif dilakukan, namun tidak dengan pengecekan yang baik pada saat pembangunan. Semua dilakukan tanpa perencanaan dan antisipasi yang baik,” jelas Aslan.

Terkait masalah banjir yang terus terjadi setiap tahun, penggiat sosial Wahyuddin Junus, melihat Makassar sebagai proyek modernisasi gagal.

“Pembangunan dan khususnya kebijakan publik seharusnya dijalankan dan memuat nasihat saintis, sebab bagaimana perilaku alam tergantung dari aksi manusia,” sebutnya.

 

Sejumlah ruas jalan ikut tergenang sehingga pengendara kendaraan roda dua harus mendorong kendaraannya. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia.

Baca juga: Banjir dari Solo sampai Manado, Apa Penyebabnya? Perlu Upaya Antisipasi

 

Sorotan pada Ruang Terbuka Hijau

Data terakhir dari Dinas Lingkungan Hidup Makassar menunjukkan bahwa luasan RTH (Ruang Terbuka Hijau) Kota Makassar memang masih sangat rendah.

Per tahun 2021, luasan RTH baru sekitar 9,077 persen, meningkat dari tahun sebelumnya yaitu 7,54 persen. Hanya saja, penambahan itu bukan karena penambahan lahan, tapi karena adanya lahan-lahan yang tidak terhitung di tahun sebelumnya.

Pengamat kebijakan dari Profetik Institute, Asratillah menyoroti tentang data yang tidak pernah disampaikan oleh pemkot kepada publik.

“Ada sortasi wacana publikasi yang dilakukan oleh pemkot ke warganya,” sebutnya.

Dia menyebut pemkot dan wali kota tahu bahwa pembangunan infrastruktur terpusat pada satu daerah. Namun kebijakan pembangunan lebih pada upaya keuntungan ekonomis, bukan mendasarkan kepada kemampuan daya dukung ruang yang ada.

“RTH tidak terpenuhi, seharusnya minimal 30 persen sebagai ruang sosial dan resapan air. Statistik yang disampaikan pemkot hanya curah hujan dan air laut,” lanjutnya.

Jika hanya menyalahkan pada intensitas curah hujan yang meningkat beberapa waktu belakangan ini, tentu hal ini tidak bisa dibenarkan. Amril Hans, dosen kebijakan publik Universitas Hasanuddin punya anggapan serupa.

“Dulu hujan terus-menerus yang bisa seminggu, namun sekarang hanya satu hari saja, bisa over kapasitas,” jelas Amril.

Amril menyebut masalah banjir bukan semata masalah perubahan iklim dan curah hujan, namun juga karena minimnya implementasi pada visi misi pembangunan perkotaan yang dianggapnya tidak selaras. “Pemkot abai dan gagal dalam melihat realitas di lapangan.”

Sebagai tambahan, Rusdy Talha menyebut ironisnya selama ini Makassar dicanangkan sebagai kota dunia, namun kenyataannya tidak memenuhi kondisi yang disyaratkan.

Warga kota yang dirugikan, sebutnya memiliki hak melakukan gugatan kepada pemkot.

“Permasalahan seperti ini bisa digugat ke PTUN, seperti yang terjadi di Jakarta. Namun, di Makassar tidak pernah ada gugatan atas permasalahan yang terjadi seperti banjir ini,” pungkasnya.

 

 

Exit mobile version