Mongabay.co.id

Hariara, Pohon Simbol Persatuan dan Kesejahteraan di Kampung Orang Batak

 

Tak hanya keindahan Danau Toba, namun jenis vegetasi tertentu memiliki  simbol bagi orang Batak. Misalnya, pohon hariara (Ficus drupacea), sejenis beringin yang dianggap sakral dan punya nilai mistis. Hampir setiap perkampungan di permukiman Batak kuno dapat dijumpai pohon hariara.

Di era lampau, pohon hariara memiliki fungsi penting dalam menentukan sebuah permukiman atau huta. Para tetua menanam bibit pohon ini di tempat yang akan menjadi calon perkampungan.

“Dengan pengetahuan ini, maka dapat diketahui usia perkampungan tersebut sama dengan pohon hariara yang tumbuh di sekitarnya,” ungkap Robert Sibarani, Guru Besar Antropologi Universitas Sumatera Utara kepada Mongabay melalui sambungan telepon.

Setelah ditanam, bibit ini kemudian dipantau dalam kurun 7 hari, bila tumbuh subur, maka akan diyakini akan membawa berkah dan bebas petaka. Sebaliknya, jika tidak tumbuh atau layu, maka lahan itu tidak layak huni. Asal kata hariara pun berasal dari kata ‘hari‘ (hari) dan ‘ara’ (tujuh).

Rindangnya hariara pun mampu menaungi puluhan orang pada saat musyawarah. Di bawah naungan pohon beringin ini menjadi tempat bersidang (partungkkoan) antar tetua kampung. Hariara sendiri menyimbolkan keterlibatan leluhur dalam setiap keputusan yang dibuat.

“Hariara itu sendiri dianggap sebagai tempat leluhur tinggal,” jelas Sibarani.

Pohon hariara sendiri adalah pohon tropis asli Asia Tenggara yang tersebar hingga Australia Utara. Pohon ara pencekik ini dapat mencapai ketinggian hingga 10-30 meter, dan dapat dijumpai dari daratan rendah hingga ketinggian 1.000 mdpl.

 

Pohon hariara di Kp Lumbanbatu, Bakkara, Humbang Hasundutan.. Foto: Barita Lumbanbatu/Mongabay Indonesia

Baca juga: Bagaimana Nasib Pohon-Pohon di Indonesia?

 

Filosofi Pohon Hariara

Pohon Hariara memiliki makna filosofis bentuk kehidupan yang sejahtera bagi orang Batak. Ia adalah simbol harmonis dengan alam dan manusia. Bagian-bagian dari pohon ini pun memiliki makna.

Bagian daun mempunyai makna perlindungan dari segala marabahaya. Batangnya bermakna pembawa rezeki dan keberkahan. Bagian akarnya dimaknai sebagai simbol persatuan antara manusia dengan manusia serta keselarasan dengan alam di sekitarnya.

Dalam upacara kematian pohon hariara digunakan sebagai sarana untuk melakukan upacara adat Saur Matua. Upacara adat ini dianggap punya derajat tertinggi. Khususnya bagi orang yang meninggal yang telah memilki keturunan dan cucu, baik dari anak laki-laki maupun dari anak perempuan.

“Kalau sekarang mau melihat ritual semacam itu semakin sulit, ibaratnya seperti mencari air di sungai yang kering,” jelas Sibarani.

Pentingnya melestarikan pohon hariara di kampung-kampung pun menjadi keniscayaan. Ia seperti magnet pemersatu. Demikian pula, ritual-ritual adat tertentu dilakukan di bawah pohon ini.  Misalnya ritual Manguras Tao yang dilakukan masyarakat Desa Situngkir, Kabupaten Samosir, Sumatera Utara yang tinggal di sekitar Danau Toba.

 

Ficus drupacea. biji buah [kiri]; daun [kanan]. Sumber literatur: Gard. Bull. Singapore 17: 381. 1960 & 21: 13. 1965; Gamble, Fl. Madras 3: 1361.1998 (re.ed); Sasidharan, Biodiversity documentation for Kerala- Flowering Plants, part 6: 439. 2004; Saldanha, Fl. Karnataka 1: 116.1984; Cook, Fl. Bombay 2: 645. 1902; Almeida, Fl. Maharashtra 4b:366. 2003.

 

Secara harfiah Manguras Tao, ‘manguras’ berarti membersihkan, ‘tao’ berarti danau. Manguras Tao adalah manifestasi memohon perlindungan dan berkat leluhur, serta berdoa agar segala yang dikerjakan masyarakat dapat berhasil.

“Raja-raja huta (penatua kampung) berkumpul, berdiskusi tentang konsep acara, tempat, dan waktu yang tepat untuk ritual Manguras Tao. Di acara itu mereka berdoa bersama memohon kepada Mulajadi Nabolon (Tuhan),” jelas antropolog, Shohibul Siregar kepada Mongabay.

Lebih lanjut Shohibul menyebut Manguras Tao secara simbolik memberi arti supaya manusia membersihkan diri dari hal-hal buruk, baik secara fisik maupun non fisik. Secara fisik maksudnya aktivitas manusia seperti membuang sampah ke danau, limbah rumah tangga dan industri, maupun limbah dari pakan ternak ikan.

“Kalau non-fisik maksudnya membersihkan diri dari perilaku yang melanggar norma-norma atau kesusilaan.”

Namun ritual ini perlahan mulai menghilang dengan semakin menguatnya agama-agama baru yang datang kemudian.

“Sebelum masuknya agama formal, masyarakat asli menjalankan kepercayaan Parmalim dan masih melakukan ritual (Manguras Tao). Namun sejak jumlah pengikutnya semakin berkurang, ritualnya menjadi semakin tertutup,” sebutnya.

 

***

Hariara (Ficus drupacea). Dok: The Figs of Borneo/uluulublog

 

Exit mobile version