Mongabay.co.id

Mulai Rusak, Jaga Hutan Mangrove Maluku

 

 

 

 

 

Hutan mangrove Maluku mulai tergerus, seperti terjadi di Kota Ambon. Di daerah Tawiri, maupun Halong, Ambon, misal, kawasan mangrove telah tergusur.   Hutan mangrove yang masih baik mesti terjaga tak alami kerusakan.

Agustinus Kastanya, Guru Besar Perencanaan dan Pengelolaan Hutan Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Pattimura (Unpatti) Ambon  mengatakan, untuk wilayah pesisir di Kota Ambon saat ini, hutan mangrove hanya tersisa di Teluk Dalam Ambon. Mulai dari kawasan Nusaniwe hingga Alang tak lagi ditemukan hutan mangrove. Dampaknya, abrasi dan banjir sering menghantam pesisir Ambon.

Dia bilang, mangrove memiliki fungsi penting dalam menjaga laut dan hutan di Indonesia, termasuk Maluku. Selain mencegah abrasi, mangrove juga jadi  tempat pijah ikan dan biodiversitas laut, dan tempat mereka mengamankan diri.  Tanaman ini pun punya daya serap karbon tinggi dan jadi penghalang untuk menjaga perubahan di pesisir pantai.

Sayangnya, kata Agustinus, hutan mangrove di Maluku kian tergerus karena kebijakan pemerintah abai terhadap lingkungan.

Nah, menyangkut mangrove, memang kebijakan-kebijakan pemerintah banyak yang merusak, terutama di pesisir,” kata kepada Mongabay di sela Festival Maluku, Arika Kalesang Bumi, di Islamic Centre, 20 Februari lalu.

Di Tawiri, misal, area hutan mangrove tergusur, juga di Halong. “Memang kasus sudah lama tapi itu dihancurkan oleh kebijakan pembangunan,” katanya.

Pemerintah, katanya,  dalam membangun mesti melibatkan partisipasi masyarakat. “Kalau sendiri akan sia-sia.”

Paradigma pemerintah dalam menjalankan pembangunan yang menghilangkan hutan, katanya,  harus berubah dengan melihat komunitas-komunitas yang punya orientasi pelestarian lingkungan hidup.

Di negara-negara maju, pemerintah memanfaatkan partisipasi masyarakat maupun komunitas untuk mendorong mereka yang punya inisiatif lingkungan.

Menurut dia, kolaborasi Festival Maluku, Arikan Kalesang Bumi yang digelar Yayasan Madani Berkelanjutan dan Green Molluca, merupakan bagian dari pemberdayaan yang harus digagas terus secara berkelanjutan.

“Ini merupakan pemberdayaan. Saya yakin dengan pengalaman dan aktivitas ini, akan ada inisiatif berkelanjutan,” katanya.

Keberhasilan pengelolaan lingkungan hidup, katanya, tidak saja ditentukan pemerintah daerah, juga peran aktif masyarakat, Lembaga swadaya masyarakat, termasuk Green Molucca.

Dia berharap, berbagai elemen penting ini bisa bekerjasama untuk pelestarian lingkungan hidup.

 

Menanam Mangrove pada Festival Maluku di Ambon. Foto: Yayasan Madani Berkelanjutan

 

Jaga, jangan rusak

Moh Ismail, Fungsional Pengelolaan Ekosistem Laut Pesisir Ahli Madia Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) berpendapat, mangrove punya banyak fungsi, baik untuk bumi dan habitat ikan maupun biodiversitas air. Ia juga banyak menyimpan karbon.

“Sisi lain juga sebagai penangkal ombak. Mangrove jangan dirusaki, sebaliknya dilestarikan untuk kepentingan lingkungan berkelanjutan. Juga tanaman cemara.”

Saat ini, katanya, KKP mempunyai satu kegiatan restorasi.  Tak saja menanam, KKP juga merestorasi dengan orientasi untuk keberlanjutan ekosistem.

Untuk mendukung rehabilitasi kawasan sekaligus pemberdayaan bagi masyarakat di pesisir, katanya, KKP juga tengah menyiapkan kegiatan rehabilitasi pesisir di sejumlah wilayah Indonesia.

Dia mengatakan, KKP berkomitmen menjaga keberlanjutan ekosistem pesisir seperti mangrove, karena pada sisi ekonomi mangrove juga dapat dikembangkan jadi destinasi wisata berbasis edukasi bagi masyarakat.

Ekosistem mangrove kadang rusak atau terganggu, antara lain dampak tercemar buangan (limbah), seperti minyak dan sampah.

Sebagian besar pesisir dan laut, katanya, dalam kondisi terdegradasi karena pemanfaatan tak ramah lingkungan dan konversi lahan jadi peruntukan baru, seperti budidaya dan kepentingan reklamasi. Kemudian,  berbagai aktivitas lain juga menyebabkan kondisi ekosistem mangrove menurun.

Kajian Badan Perencanaan Pembangunan, Penelitian dan Pengembangan Daerah (Bappeda) Maluku, menyebutkan, hutan mangrove hampir semua tempat di Maluku rawan, terutama di wilayah pesisir.

“Ada masyarakat maupun kelompok pengusaha yang tak peduli dengan keberadaan mangrove. Kadang untuk kepentingan reklamasi juga budidaya mereka membabat habis hutan mangrove. Saya harap, masyarakat tak sembarangan merusak sebelum ada kajian matang.”

 

Nadia Hadad, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan bersama perwakilan Pemerintah Maluku dalam kegiatan Festival Maluku di Ambon. Foto: Yayasan Madani Berkelanjutan

 

Nadia Hadad, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan mengatakan, hutan mangrove, sangat penting untuk menjaga ekosistem pesisir, antara lain demi sector perikanan di Maluku. Terlebih,  katanya, Maluku satu provinsi penghasil ikan terbesar di Indonesia.

Dia mengatakan, saat ini Indonesia dan dunia tengah menghadapi ancaman pemanasan global. Terjadi perubahan cuaca tak menentu, ancaman bencana terjadi di mana-mana. Ada juga topan dan badai, banjir, longsor dan lain-lain. Semua kondisi ini dampak dari krisis iklim.

“Karena itu,  seluruh elemen harus sama-sama berkontribusi mencegah agar krisis ini tak makin parah,” katanya kepada Mongabay.

Indonesia, katanya,  adalah negara kepulauan. Dari perkiraan, dengan krisis iklim akan terjadi kenaikan air muka luat sekitar 90 cm. Meski di angka demikian itu, pulau-pulau kecil bisa terancam tenggelam. Ada sekitar 2.000 pulau terancam pada 2050, mungkin termasuk di Maluku.

“Di Maluku ada sekitar 1.400-an pulau. Bisa jadi Maluku juga ikut terancam, 95% penduduk di Maluku berada di pesisir. Jadi, memang penghidupannya, kehidupan, dan kesejahteraan sangat tergantung bagaimana bisa mengatasi ketahanan terhadap perubahan iklim.”

Ihwal itu, Yayasan Madani Berkelanjutan berkolaborasi dengan Green Molluca, komunitas pecinta lingkungan dan Pemerintah Maluku, bersama-sama mencari solusi bisa lebih tangguh dan efektif dalam menghadapi tantangan dan rintangan dewasa ini.

Selain itu, dapat meningkatkan kesadaran dari masyarakat karena berdasarkan riset dan survei, masih banyak masyarakat Indonesia yang belum tahu tentang perubahan iklim yang dihadapi.

 

Lansekap pulau-pulau kecil di Kepulauan Aru bagian tengah. Dok: FWI/2021

 

Meski demikian, katanya, Maluku dinilai lebih bagus karena punya sisa-sisa tutupan bila dibandingkan dengan daerah-daerah lain seperti, Kalimantan, dengan hutan sudah hampir habis, maupun Sumatera dan Jawa.

Untuk itu, Maluku harus tetap menjaga laut dan hutan agar berkontribusi pada penyehatan bumi.

“Hingga secara global kita bisa benar-benar menurunkan tingkat emisi dunia. Sekaligus mencegah suhu bumi tak lebih dari 1,5 derajat. Ini jadi target seluruh dunia.”

Selain berkontribusi menurunkan emisi, masyarakat Maluku bisa bergerak bersama-sama berkontribusi menjaga lingkungan demi kepentingan bersama.

“Kita berharap, semoga festival ini tidak saja berakhir di sini, namun tetap berkelanjutan,” harapnya.

 

Para pemuda ikut tanam mangrove di Ambon. Foto: Yayasan Madani Berkelnjutan

 

*******

Exit mobile version