Mongabay.co.id

Perppu Cipta Karya Diklaim Bagus untuk Konservasi Laut dan Ikan

 

Kehadiran Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja diyakini akan bisa membawa banyak manfaat untuk sektor kelautan dan perikanan di dalam negeri. Karenanya, walau ada banyak penolakan dari publik, Pemerintah terus melanjutkan pemberlakuan aturan tersebut.

Keyakinan itu kembali dikampanyekan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) belum lama ini di Jakarta. Salah satu dampak yang akan muncul itu, adalah jaminan kepastian berusaha dalam memanfaatkan ruang laut.

Hal tersebut diungkapkan Direktur Jenderal Pengelolaan Ruang Laut KKP Victor Gustaaf Manoppo. Menurutnya, aturan yang diterbitkan menjelang pergantian tahun dari 2022 ke 2023 itu, juga bermanfaat untuk pengelolaan kawasan konservasi dan jenis ikan yang sudah dilindungi oleh konvensi perdagangan internasional tumbuhan dan satwa liar spesies terancam (CITES).

Berdasarkan aturan tersebut, pengaturan pemanfaatan ruang laut dan ruang perairan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil diberikan dalam bentuk kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang laut (KKPRL). Pengaturan tersebut kemudian menjadi syarat dasar untuk mengajukan perizinan berusaha atau non berusaha.

Dia menyebutkan, setiap orang yang melakukan kegiatan pemanfaatan ruang laut di perairan pesisir, wilayah perairan, dan/atau wilayah yurisdiksi secara menetap di sebagian ruang laut wajib memiliki KKPRL.

Kepemilikan KKPRL ditujukan untuk semua kegiatan yang dilakukan secara terus menerus paling singkat 30 (tiga puluh) hari di sebagian ruang laut, baik itu oleh pelaku usaha, instansi pemerintah, atau masyarakat.

baca : KIARA: Perppu Cipta Kerja adalah Bentuk Inkonstitusional Masa Kini

 

Seorang nelayan menjahit jaring pukat sebelum kembali melaut di TPI Lampulo, Banda Aceh. Foto : shutterstock

 

Selain KKPRL, ada juga perizinan berusaha diterbitkan oleh KKP khusus untuk pemanfaatan kawasan konservasi dan pemanfaatan jenis ikan yang dilindungi dan/atau jenis ikan yang tercantum dalam CITES dan sudah diatur melalui sejumlah peraturan yang ada.

Di antaranya, adalah Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen KP) Nomor 31 Tahun 2020 tentang Pengelolaan Kawasan Konservasi, Permen KP No.61/2018 juncto Permen KP No.44/ 2019 tentang Pemanfaatan Jenis Ikan yang Dilindungi dan/atau Jenis Ikan yang Tercantum dalam Appendiks CITES.

Juga, diatur dalam Permen KP No.10/2021 tentang Standar Kegiatan Usaha dan Produk pada Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko Sektor Kelautan dan Perikanan.

Direktur Konservasi dan Keanekaragaman Hayati Laut KKP Firdaus Agung pada kesempatan berbeda menyatakan ada dua klasifikasi baku lapangan usaha Indonesia (KBLI) di bidang pemanfaatan kawasan konservasi dan jenis ikan dilindungi/appendiks CITES.

Keduanya menggunakan nama izin, yaitu surat izin usaha pemanfaatan kawasan konservasi (SIUPKK), dan surat izin pemanfaatan jenis ikan dilindungi dan/atau appendiks CITES (SIPJI). Penerbitan kedua perizinan tersebut sama seperti penerbitan perizinan lain yang sudah ada.

Tetapi, pelaku usaha diharuskan untuk menyiapkan persyaratan teknis yang sesuai permintaan. Dengan demikian, saat dilakukan verifikasi bisa segera dilakukan validasi, untuk selanjutnya pelaku usaha membayar pendapatan Negara bukan pajak (PNBP).

“Selain menciptakan pekerjaan dan ekonomi, juga meningkatkan pendapatan negara, sehingga pelaku usaha tumbuh, masyarakat bahagia dan negara menerima pendapatan dengan sumber daya yang lestari,” ucap dia.

baca juga : Benarkah Perppu Cipta Kerja Akan Abaikan Nelayan Kecil?

 

Para nelayan menepikan perahunya di sungai Cilincing, Jakarta Utara, usai mencari ikan di laut. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Ramah Lingkungan

Dampak positif dari Perppu CK juga diungkapkan Direktur Jenderal Perikanan Budi daya KKP Tb. Haeru Rahayu. Menurut dia, aturan tersebut diyakini akan memperkuat pengembangan budi daya laut, pesisir, dan darat yang ramah lingkungan.

Dia menyebut kalau materi subsektor perikanan budi daya yang ada di dalam UU No.11/2020 tentang Cipta Kerja, sama dengan materi yang ada dalam Perppu CK. Namun, pihaknya melakukan penyempurnaan dari penerapan aturan yang sudah berlaku dua tahun itu.

Selain perizinan berusaha, Sekretaris Direktorat Jenderal Perikanan Budi daya KKP Gemi Triastutik menjelaskan, materi perikanan budidaya yang diatur dalam Perppu CK, juga meliputi tanggap darurat dan pengendalian penyakit ikan, penebaran kembali dan penangkapan ikan berbasis budi daya, serta jenis penyakit ikan yang berpotensi menjadi wabah.

“Perizinan berusaha ini merupakan salah satu upaya Pemerintah dalam rangka peningkatan kegiatan usaha melalui penerbitan perizinan berusaha lebih efektif dan sederhana,” terang dia.

Adapun, penyelenggaraan perizinan berusaha berbasis risiko pada subsektor perikanan budi daya meliputi kode klasifikasi baku lapangan usaha Indonesia (KBLI) yang tercantum dalam Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko.

Diketahui, perizinan berusaha berbasis risiko pada perikanan budi daya meliputi 31 KBLI dan 11 Non KBLI. Sisanya berupa empat rekomendasi, yaitu terkait rekomendasi pemasukan dan/atau pengeluaran bidang perikanan budi daya, yaitu pakan, obat dan calon induk/benih ikan/inti mutiara.

baca juga : Ini Permasalahan KKP di Maluku Utara: Minim Anggaran, Fasilitas hingga SDM

 

Dengan kondisi laut yang tidak menentu, para nelayan di Teluk Jukung, Kecamatan Jerowaru, Kabupaten Lombok Timur memilih untuk mengembangkan budidaya lobster. Foto : Fathul Rakhman/Mongabay Indonesia

 

Penolakan Perppu CK

Sikap optimis yang diperlihatkan KKP tersebut, bertolak belakang dengan sikap publik yang ikut mengawasi kinerja pemimpin sektor kelautan dan perikanan itu. Salah satunya, adalah Ekologi Maritim Indonesia (EKOMARIN).

Menurut Koordinator Nasional EKOMARIN Marthin Hadiwinata, pengesahan Perppu CK menjadi bentuk pengkhianatan konstitusi yang menyatakan Indonesia adalah negara kepulauan. Ciri-ciri pengkhianatan tersebut muncul, karena Perppu CK dibuat untuk mempermudah eksploitasi sumber daya kepulauan.

Dia menjabarkan, salah satu contohnya ada dalam Pasal 26 A UU No.1/2014 tentang Perubahan atas UU No.27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Merujuk pasal tersebut, investasi asing dilakukan pembatasan dengan tegas.

Tetapi, Ketika Perppu CK disahkan pada akhir 2022, persyaratan tersebut dihapuskan dan akhirnya investasi asing dibuka kembali dengan luas. Hal itu dinilai akan mendorong terbukanya peluang yang besar untuk terjadinya privatisasi pulau-pulau kecil.

Lemahnya syarat pemanfaatan untuk asing, akan memicu konflik antara rakyat yang telah menempati suatu kawasan atau bidang di salah satu pulau kecil. Jika terus dibiarkan tanpa ada pemecahan masalah, maka pusaran konflik akan semakin membesar.

baca juga : Menyoal Perppu UU Cipta Kerja [1]

 

Selain ancaman krisis iklim secara langsung di wilayah kepulauan, industri ekstraktif justru menambah parah kondisi kerentanan pesisir dan pulau-pulau kecil. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia.

 

Dengan jumlah pulau sebanyak 17.504, pulau kecil yang berpenghuni tidak lebih dari 1.682 pulau saja. Fakta tersebut menegaskan bahwa ada potensi konflik yang seharusnya diantisipasi dari sekarang oleh Pemerintah Indonesia.

Di sisi lain, Marthin Hadiwinata mengatakan kalau eksploitasi sumber daya pesisir akibat tambak dan pembangunan juga terus berjalan sangat cepat dan mengakibatkan wilayah mangrove mengalami kerusakan hingga seluas 637.624 hektare.

“Negara Kepulauan, adalah cita-cita dari Djuanda yang mendorong klaim atas sumber daya kepulauan dan perairan, di antaranya sebagai kekayaan sumber daya alam yang harus dijaga,” tegasnya.

 

 

Exit mobile version