Mongabay.co.id

Menjinakkan ‘Bom’ di Laut: Secercah Asa dari Pulau Wawonii

 

Konawe Kepulauan (Konkep) merupakan sebuah pulau di laut Banda yang masuk wilayah Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra) yang memiliki luas sekitar 1.513,98 km2.

Secara geografis hampir setengah wilayah Konkep terdiri dari lautan sehingga warga pulau yang mayoritas dihuni suku Wawonii itu sebagian besar berprofesi sebagai nelayan. Laut adalah sumber kehidupan mereka.

Namun kini kondisi perairan laut yang menjadi area tangkap para nelayan sedang menghadapi masalah yang membuat populasi ikan jauh berkurang dan tentu mempengaruhi jumlah tangkapan ikan.

Penyebab utamanya penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan seperti penggunaan bahan peledak atau bom yang marak, bahkan dilakukan secara terang-terangan, sehingga merusak ekosistem laut seperti terumbu karang.

Seorang nelayan dari Kecamatan Wawonii Barat, bernama Rustam bercerita dirinya pernah melihat langsung pengeboman ikan saat sedang memasang bubu. Pengeboman yang hanya berjarak beberapa meter itu membuatnya gagal mendapatkan ikan.

Parahnya, ada pengeboman ikan yang dilakukan di sekitar pemukiman warga. Pengebom ikan seperti tidak peduli dengan dampaknya yang membahayakan warga setempat.

Lokasi pemboman biasanya dilakukan di perairan dangkal yang merupakan area tangkapan ikan bagi nelayan kecil. Sehingga praktek pemboman itu tidak hanya merusak terumbu karang dan biota laut, tetapi juga merampas hak nelayan kecil.

Akibat pengeboman di lokasi itu membuat ikan berkurang drastis, sehingga nelayan setempat harus berpindah wilayah yang lebih jauh. Kondisi itu menambah beban biaya bagi para nelayan berupa bahan bakar minyak (BBM) untuk melaut. Apalagi ketika pemerintah pusat menaikkan harga BBM bersubsidi mulai September 2022 lalu.

baca : Cerita Nelayan Maginti Raya Kelola Laut Atasi Perikanan Merusak

 

Aktivitas nelayan di Pulau Wamonii, Konkep, Sultra. Foto : Yudin/Mongabay Indonesia

 

Kurangnya populasi ikan juga dirasakan seorang pengumpul bernama Abang. Dia bercerita dahulu mampu menjual ikan tangkapan nelayan sekitar 3 gabus per harinya. Namun. Sejak tiga tahun terakhir, jumlah ikan tangkapan nelayan berkurang drastis. Bahkan tidak setiap hari dia mampu mengumpulkan dan menjual ikan dari nelayan.

Sedangkan Udin, nelayan dari Wawonii Barat mengatakan jumlah pengebom ikan makin banyak karena adanya regenerasi dari ayah turun ke anak. Dia mencatat ada sekitar hampir dua puluh orang pelaku pemboman yang tinggal di sekitar tempatnya.

“Itu baru di Wawonii Barat. Belum lagi para pelaku yang ada di kecamatan sebelah,” ucapnya.

Masih maraknya pengeboman ikan dilatari sejumlah hal seperti keinginan mendapat ikan yang banyak dengan cara instan, mudahnya mendapatkan bahan pembuatan bom, serta kurang pengawasan dari pihak berwajib.

Namun, katanya, ada alasan aneh dari beberapa pelaku yaitu menjadikan aktivitas pemboman sebagai hobi. Seperti ada rasa senang ketika mereka mendengar bunyi dentuman dari bom ikan yang diledakkan.

Padahal daya ledak bom ikan sekali lempar dapat mematikan ribuan ikan, benih ikan dan jutaan telur ikan serta terumbu karang. Kerusakan terjadi pada radius 5 sampai 50 meter dari titik pengeboman.

Kerusakan terumbu karang mengganggu keseimbangan ekologi karena terputusnya rantai makanan di laut. Ikan-ikan bermigrasi dari perairan rusaknya terumbu karang. Hasil penelitian Bank Dunia menunjukan penggunaan bom seberat 250 gram akan menyebabkan luasan terumbu karang yang hancur mencapai 5,30 m2. Sedangkan pemulihan terumbu karang yang rusak membutuhkan 1 sampai 5 tahun.

Udin menuturkan, dahulu ada satu musim yang dikenal dengan musim ikan ekor kuning. Jenis ikan ini hidup dan berkembangbiak di perairan dangkal di kedalaman sekitar 50 meteran. Pada masa ini para nelayan berbondong-bondong untuk melakukan penangkapan.

Namun sudah beberapa tahun terakhir musim ikan ekor kuning tidak lagi ada. Jumlah populasinya menjadi berkurang. Penyebabnya karena rusaknya terumbu karang akibat pengeboman dan tidak adanya ikan yang merupakan makanan utamanya.

baca juga : Begini Cara Nelayan Kelola Warisan Laut Teluk Kolono dari Perikanan Merusak

 

Udin, nelayan Wamonii Barat, Konkep, Sultra memperlihatkan ikan kerapu hasil tangkapannya. Ikan kerapu yang hidup di perairan dangkal ini merupakan tangkapan utama para nelayan.
Foto : Yudin/Mongabay Indonesia

 

Program PAAP

Mengatasi masalah itu, dibutuhkan program pengelolaan perikanan dengan memperhatikan keberlanjutan ekosistem laut yang menjaga keseimbangan dari seluruh aspek utama perikanan meliputi aspek biologi, lingkungan, ekonomi, dan sosial.

Saat ini Pemerintah Provinsi Sultra melalui Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) bekerjasama dengan LSM Rare Indonesia tengah mengembangkan sebuah program yang disebut PAAP atau Pengelolaan Akses Area Perikanan.

PAAP dilakukan secara kolaboratif dengan pelaku utama masyarakat dan nelayan dengan menegakkan prinsip kelestarian dan keadilan. Masyarakat diberi akses dan tanggung jawab penuh dalam pengelolaan PAAP.

Pulau Wawonii sendiri memenuhi kriteria untuk pelaksanaan program PAAP, mengingat adanya ketergantungan masyarakat terhadap pesisir. Secara geografis wilayah Konkep hampir setengahnya merupakan lautan.

sebelum menetapkan program PAAP dalam suatu daerah, Rare Indonesia terlebih dulu memperhatikan topografi daerah tersebut. PAAP lebih cocok diterapkan di daerah yang topografinya teluk maupun kepulauan.

Berdasarkan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan tentang Kawasan Konservasi di Perairan Pulau Wawonii menetapkan Pulau Wawonii sebagai kawasan konservasi dan dikelola menjadi taman di perairan Pulau Wawonii.

Taman perairan ini memiliki luas keseluruhan 27.044,99 hektare yang terbagi atas zona inti, zona pemanfaatan terbatas, zona rehabilitasi, zona bangunan dan instalasi laut.

Dalam program PAAP membatasi wilayah pengelolaan perikanan sepanjang 0 sampai 2 mil dari pinggir pantai. Ketentuan ini disebutkan dalam peraturan gubernur (Pergub) No.36/2019 tentang Pengelolaan Akses Area Perikanan.

Isi beleid itu menegaskan bahwa area pengelolaan perikanan hanya diperuntukkan bagi nelayan skala kecil setempat. Nelayan yang berasal dari luar tidak diperbolehkan menangkap ikan di area tersebut.

Pada radius 0 sampai 2 mil dalam program PAAP ditetapkan satu kawasan larang ambil (KLA) atau zona recovery. KLA ini dijadikan sebagai tempat perkembangbiakan ikan yang dijaga langsung nelayan kecil dan masyarakat setempat.

KLA merupakan area tertentu yang meniadakan aktivitas penangkapan. Kawasan ini diperuntukkan bagi ikan ikan untuk bertelur dan berkembangbiak untuk meningkatkan populasinya. Ketika populasi ikan mulai melimpah akan menyebar keluar zona KLA sampai ke zona layak tangkap oleh nelayan.

menarik dibaca : Tangkapan Ikan Melimpah, Dampak PAAP yang dirasakan Nelayan Pulau Buton

 

Ilustrasi Pengelolaan Akses Area Perikanan (PAAP dan Kawasan Larang Ambil (KLA) di Pulau Wamonii, Konkep, Sultra.. Sumber : Rare Indonesia

 

Di Wawonii, program PAAP ini telah. berjalan kurang lebih selama tiga tahun. Proses pengelolaannya dilakukan melalui kolaborasi antara berbagai pihak meliputi masyarakat nelayan, pemerintah setempat, termasuk pihak keamanan. Masyarakat nelayan sebagai pihak yang diberi tanggung jawab penuh membentuk suatu kelompok yang diberi nama PAAP Sumber Laut Mandiri Wawoni

Kelompok PAAP ini diketuai Muhammad Fahry dibantu seorang pendamping masyarakat dari Dinas Perikanan (DKP) Konkep, yaitu Aris Laria. Kini kelompok tersebut sudah beranggotakan sebanyak 30 orang yang merupakan gabungan antara nelayan dan masyarakat.

Fahry mengatakan, selama tiga tahun masa pelaksanaan program PAAP, dia bersama anggota lainnya fokus melakukan sosialisasi kepada masyarakat umum terkait pentingnya mengelola area perikanan dengan cara yang ramah lingkungan.

Proses sosialisasi sebagai ajang kampanye ini dilakukan di antaranya melalui kegiatan perlombaan. Terakhir pada Agustus lalu kelompok PAAP bersama DKP Konkep menggelar lomba selfi dan fotografi bertema PAAP dan Konservasi Perairan Pulau Wawonii.

 

Aturan Bersama

Selain itu, ada pula upaya dalam memperluas wilayah penerapan program PAAP. Upaya tersebut dilakukan dengan menggandeng berbagai pihak yang mempunyai kepentingan. Beberapa pertemuan pernah dilakukan membahas keberlanjutan pelaksanaan program PAAP.

Terbaru pertemuan itu melibatkan tiga kecamatan yaitu Kecamatan Wawonii Barat, Kecamatan Wawonii Utara, dan Kecamatan Wawonii Timur Laut yang membahas mengenai rancangan peraturan bersama kepala desa.

Materi pokok dari rancangan peraturan yang digagas berkaitan dengan pemanfaatan sumber daya ikan di area PAAP. Adapun pihak-pihak yang terlibat dalam pertemuan itu adalah para kepala desa, ketua Badan Pembangunan Desa (BPD), sekretaris desa, dan juga camat.

Salah satu isi peraturan yang tengah dibahas ini menegaskan bahwa area pemanfaatan sumber daya ikan di area PAAP diprioritaskan bagi nelayan kecil, nelayan tradisional, dan masyarakat sekitar. Para nelayan yang berasal dari luar 3 kecamatan tadi boleh melakukan penangkapan namun terlebih dulu mengkonfirmasi ke pemerintah desa atau kelurahan yang menjadi lokasi penangkapan dengan syarat harus menggunakan alat tangkap yang ramah lingkungan.

baca juga : KTP dan Kisah Perempuan Nelayan Pesisir Buton Timur

 

Pemetaan wilayah Pengelolaan Akses Area Perikanan (PAAP) dan Kawasan Larang Ambil (KLA) di Perairan Wawonii, Konkep, Sultra. Sumber : Rare Indonesia).

 

Terkait pengelolan perikanan berkelanjutan, pihak keamanan diharapkan bisa melakukan pengawasan lebih ketat lagi dan tegas dalam menindak para pelaku pemboman yang dapat mengakibatkan kerusakan terhadap ekosistem laut.

Sebab, kata Aris Laria dari DKP, salah satu cara memberantas pengeboman ikan adalah penangkapan dan pidana agar ada efek jera yang diberikan pada para pelaku.

Program pemberian bantuan yang disalurkan kepada pelaku dengan harapan agar mereka berhenti untuk membom, justru tidak menjadi jaminan para pelaku tidak mengulangi perbuatannya.

“Beberapa pelaku pernah diberi bantuan berupa kapal dan alat tangkap jaring. Sebelum penyerahan bantuan, para pelaku diminta untuk membuat surat pernyataan tidak melakukan lagi pemboman. Tidak ada lagi alasan kalau mereka tidak mendapat perhatian dari pemerintah, Kita sudah bantu, tapi mereka masih terus mengulang,” katanya.

Setelah tiga tahun berjalan, Aris Laria melihat perlunya evaluasi pelaksanan program PAAP. Seperti kampanye pengenalan harus lebih rutin dilakukan agar pengetahuan masyarakat terkait PAAP lebih memadai, termasuk tentang batas-batas wilayah perairan KLA dan zona tangkap ikan. Dia menyarankan agar ada pembuatan tapal batas yang diberi tanda berupa bangunan khusus.

Dia bilang kalau program PAAP bisa dipahami mayoritas masyarakat terkait pentingnya menjaga keberlanjutan ekosistem laut, maka tidak menutup kemungkinan kondisi perairan di Wawonii bisa membaik sehingga populasi ikan menjadi kembali melimpah.

baca juga : Orang Wawonii dan Ancaman Tambang Nikel

 

Proses pengawasan kelompok PAAP dengan menemui nelayan yang sedang menangkap ikan di perairan Wamonii, Konawe Kepulauan, Sultra. Foto : Yudin/Mongabay Indonesia

 

Dukungan Pemerintah Daerah

Pemerintah Kabupaten Konawe Kepulauan mendukung program PAAP ini dengan merancang peraturan bersama para kepala desa di tiga kecamatan wilayah PAAP tersebut. Pembahasaan aturan itu melibatkan kepala desa, perangkat desa, hingga tokoh-tokoh masyarakat.

“Yang jadi fokus program ini untuk sementara di tiga kecamatan. Di sana sudah ditentukan kawasan larang ambil (KLA) dan wilayah yang bisa mengambil ikan,” ujar Kepala Dinas Perikanan Kabupaten Konkep, Muhamad Rijal yang ditemui akhir Agustus 2022.

Selain itu juga sedang dipersiapkan Peraturan Bupati (Perbup) agar semua dinas terkait penanganan kelautan dapat dilibatkan, seperti Dinas Pekerjaan Umum (PU), Dinas Perhubungan, Dinas Lingkungan Hidup, dan Dinas Pariwisata.

Adanya Perbup juga menjadi landasan hukum keterlibatan pemerintah desa menganggarkan dana desa (DD) untuk pengelolaan perikanan.

Terkait belum adanya tanda batas kawasan PAAP yang belum ada, Dinas Perikanan Konkep telah mengusulkan ke Pemerintah Provinsi Sultra untuk dianggarkan. Sebab, kawasan laut menjadi kewenangan Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sultra.

Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi Sultra berwenang mengelola kawasan konservasi perairan Pulau Wawonii berdasarkan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen KP) No.23/2021, dengan dukungan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) 2022. Untuk saat ini telah dianggarkan pembuatan tanda batas wilayah konservasi sekitar Rp100 juta.

“Setelah itu baru kita sosialisasi ke masyarakat bahwa ini tanda-tanda batasnya, mana yang dilarang dan mana yang dibolehkan,” ujar Pejabat Fungsional Pengelola Ekosistem Laut dan Pesisir DKP Sultra, Ishaq Warsandi di ruang kerjanya, 12 September 2022.

 

Rustam, nelayan di Wamonii Barat, Konkep, Sultra, menunjukkan hasil tangkapannya berupa belut. Foto : Muhamad Taslim Dalma/Mongabay Indonesia

 

Selain penegasan soal pelarangan illegal fishing, keberadaan tanda batas itu juga untuk memperjelas larangan bagi nelayan dengan kapal 10 GT ke atas menangkap ikan di wilayah konservasi. Pelanggarannya bakal ditindak aparat penegak hukum.

Dengan begitu, area penangkapan nelayan kecil di Wawonii akan lebih terlindungi dan ikan akan melimpah. Berbeda dengan sebelum ada Keputusan Menteri KP tentang wilayah konservasi dimana nelayan kecil susah bersaing dengan nelayan besar.

Pengelolaan wilayah konservasi itu dipastikan akan lebih maksimal dengan adanya program pengelolaan akses area perikanan (PAAP) di dalamnya. Dalam pemetaannya, PAAP hanya mencakup 0 sampai 2 mil dari pantai, sedangkan kawasan konservasi lebih luas lagi yakni 0 sampai 4 mil dari pantai. Dengan begitu zona-zona dalam PAAP menyesuaikan dengan zonasi kawasan konservasi.

Dikarenakan kawasan PAAP berada di dalam kawasan konservasi, maka bentuk pengelolaannya mengacu kepada Permen KP No.21/2015 tentang Kemitraan Pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan yaitu perjanjian kemitraan dilakukan oleh Satuan Unit Organisasi Pengelola (SUOP) dengan masyarakat.

Saat ini DKP Sultra sedang menggodok perjanjian kemitraan SUOP dengan kelompok PAAP di Wawonii. “Karena di sini SUOP belum ada maka sementara melekat di DKP Provinsi,” ujar Ishaq.

Bila kemitraan antara DKP Sultra dan kelompok PAAP sudah berjalan, lanjut Ishaq, maka program PAAP akan terus berkelanjut tanpa bergantung dengan LSM Rare Indonesia lagi. Untuk itu DKP Sultra sedang mengupayakan terbentuknya SUOP berbentuk Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) di Wawonii. Sebab kata Ishak, bila hanya mengandalkan personel di DKP saat ini tidak akan maksimal.

“Kalau misal ada UPTD itu bisa 18 orang ada di situ, jadi mereka mengelola dan mengawasi akan gampang, tapi kalau saat ini kita di sini (DKP) hanya 7 orang itu sulit,” ujar Ishaq.

 

Seorang nelayan tradisional sedang menangkap ikan menggunakan alat tangkap sederhana di perairan Pulau Wamonii, Konkep, Sultra. Foto : Yudin/Mongabay Indonesia

 

Harapan Nelayan

Udin, nelayan yang bermukim di Wawonii Barat merasakan manfaat program PAAP yakni tidak lagi ditemukan nelayan luar yang menangkap ikan di wilayah yang diperuntukkan bagi nelayan setempat.

Udin juga mulai merasakan akses pemasaran hasil ikan nelayan mulai membaik. Selain dipasarkan di pinggir jalan, ikan hasil tangkapan dijual ke penampung.

Menurutnya, bila masyarakat dan nelayan memahami dan menerapkan program PAAP, maka kondisi perairan akan terjaga dan bakal mengembalikan kejayaan laut sekitar.

Udin berharap kampanye mengenai program PAAP lebih ditingkatkan sehingga wawasan para nelayan terkait pentingnya menjaga ekosistem laut bisa bertambah.

Sedangkan Rustam (47), seorang nelayan lainnya yang aktif dalam kelompok PAAP memiliki harapan besar laut sekitar Wawonii kembali berlimpah dengan ikan bukan hanya untuk dirinya tapi bagi anak-cucunya di masa depan. Bila ikan di sekitar Wawonii terus berkurang, dia khawatir anak-cucunya akan meninggalkan Pulau Wawonii untuk ke daerah lain yang potensi sumber daya perikanannya lebih besar. (***)

 

 

*Yudin dan Taslim Dalma, wartawan Zonasultra.id. Artikel ini didukung oleh Rare Indonesia

 

Exit mobile version