Mongabay.co.id

Proyek Bendungan di Tamblang, Mampukah Atasi Masalah Ketersediaan Air Masyarakat Bali?

 

 

 

 

Anak-anak sekolah berpakaian adat Bali, dengan kain kamen dan selendang menyambut rombongan Presiden Joko Widodo,  saat meresmikan bendungan terbesar di Bali, Tamblang, 2 Februari lalu. Bendungan ini digadang-gadang antara lain buat pengairan lahan pertanian dan pasokan air saat kemarau.

Video streaming menayangkan seremonial peresmian dari Bali Utara, sekitar tiga jam berkendara dari Kota Denpasar. Bendungan raksasa ini nampak disorot dari drone dan memperlihatkan kerumunan massa. Jokowi menyapa siswa yang menyambut dan memberikan kuis berhadiah sepeda.

Presiden beri pertanyaan pada anak-anak. “Apa manfaat bendungan? Siswa banyak angkat tangan. Sebelumnya,  sebuah video sudah ditayangkan menjelaskan fungsi bendungan ini. Salah satu yang menjawab Gede Ananda. Katanya, bendungan untuk mengelola air.

Bendungan ini mulai dibangun 2018. Jokowi bilang, anggaran dana APBN Rp820 miliar dan kapasitas tampung diperkirakan 5,1 juta meter kubik.

Luas genangan air 29 hektar. Kalau lapangan sepak bola standar internasional sekitar 1.000 meter persegi atau satu hektar, maka luas 29 kali lapangan bola.

Jokowi menyebut,  bendungan ini bisa mengairi lahan pertanian 588 hektar. Selain itu, bendungan diyakini bisa mengurangi banjir.

 

Kerusakan DAS pasca banjir bandang di Jembrana Oktober 2022. Luh De Suryani/ Mongabay Indonesia

 

Wayan Koster, Gubernur Bali yang mendampingi presiden menyatakan, bendungan ini proyek besar selain sejumlah mega proyek lain yang sedang atau baru selesai di Bali. Proyek lain antara lain, penataan fasilitas Pura Besakih, pura terbesar. Ada juga tiga pelabuhan laut yang sudah diresmikan Jokowi di Sanur dan Nusa Penida.

Proyek masih berjalan adalah jalan shortcut Singaraja-Mengwi dan jalan tol menghubungkan Gilimanuk.

Koster menyebut, Bendungan Tamblang berkapasitas 5 juta liter untuk air baku di tiga kecamatan sekitar yakni Tejakula, Sawan, Buleleng, dan kebutuhan irigasi. Dia mengusulkan nama bendungan ini nanti Danu Kerti Buleleng.

Konstruksinya dinilai mampu menahan laju air sungai untuk jadi waduk pengurang banjir, mengalirkan air irigasi, dan pembangkit listrik. “Aliran air bendungan ini ekspektasi 510 liter/detik untuk 40.000 keluarga. Untuk meningkatkan produktivitas pertanian, mengurangi banjir,” katanya

Tak hanya Bendungan Tamblang yang dibuat beberapa tahun ini di Bali. Sejumlah waduk lain juga dibangun misal, Embung Sanur, Denpasar dan revitalisasi Waduk Muara, Badung.

I Nengah Sumerta, pengelola perkebunan Buleleng Agro dan pegiat Komunitas Petani Muda Keren mengatakan, sejauh ini untuk konteks Buleleng saja, cakupan saluran irigasi yang didistribusikan dari bendungan terlalu kecil.

“Klaim dampak bendungan agak sumir. Harusnya dibuat di daerah Sambangan dan Gitgit, di area hutan rusak. Saat hujan deras, mengakibatkan bencana banjir di Singaraja,” katanya.

Seingatnya, topografi hutan di hulu bendungan Tamblang masih cukup bagus, seperti di sekitar Sekumpul, Galungan, dan Lemukih. Jadi kemampuan hutan menangkap air relatif masih bagus.

Masalah krisis air juga dialami warga dan petani di pegunungan kawasan Munduk-Gobleg. Sumerta menyebut ironi karena mereka memiliki mata air. Dia bilang, banyak air terjun, tetapi posisi di bawah, sedangkan kebun dan pemukiman di atas.

“Rebutan mata air di Gobleg karena memasang pompa masing-masing di mata air.”

Menurut dia, yang diperlukan untuk pertanian itu penampungan dan pengelolaan air terdesentralisasi bukan mega proyek dengan biaya sangat besar.  Dia sebutkan, seperti bio membran untuk  menampung air hujan agar bisa bertanam sayur saat kemarau.

 

Bendungan di Tamblang, Bali, yang awal Februari lalu diresmikan Jokowi. Foto: dari tangkapan video.

 

Solusi lain,  adalah mengangkat air untuk kebun atau rumah di ketinggian dengan pompa teknologi tepat guna.

“Uang Rp800 miliar dipakai Rp50 miliar saja untuk menaikkan air dan menampung air terdesentralisasi di desa-desa sentra pertanian. Irigasi tak hanya lawan sawah saja, juga lahan kebun,” katanya.

Dia cerita, harus keluarkan biaya tambahan sekitar 7% dari total biaya produksi untuk membeli dan mengangkut air ke kebun di Pempatan, Karangasem. Masalah mendasar akses air terutama di dataran tinggi.

Pada musim panas dia beli air, lalu angkut dari Sungai Tukad Arca dengan truk naik ke Pempatan. Juga beli air konsumsi, selain mengandalkan air hujan. Untuk warga, mereka mengeluarkan biaya air sekitar Rp180.000 per bulan.

Untuk kebun dia membeli air sekitar Rp2,8 juta selama empat bulan bulan di musim panas untuk lahan sekitar 1,8 hektar. Kalau kemarau Panjang, katanya, biasa April-Agustus.

Kalau ada bantuan membran penyimpan air, untuk dua hektar kebun, bisa nangkap air hujan sekitar 200 kubik air, jadi saat musim panas bisa nyayur (bertanam sayur).

Untuk itu, yang diperlukan masyarakat itu, katanya, proyek kecil-kecil sesuai kebutuhan. “Bukan mega proyek yang terlalu dibesar-besarkan dampaknya,” kata Sumerta.

Putu Bawa, pegiat konservasi air Yayasan IDEP Lestari Alam mengatakan, daerah aliran sungai yang jadi sumber tangkapan memiliki debit kecil dan tidak selalu bisa memperoleh volume 5 juta kubik seperti diperkirakan.

Hal penting untuk melestarikan air dan pemerataan distribusi, katanya,  dengan merawat daerah tangkapan air atau daerah imbuhan utama untuk memastikan ketersediaan air di hulu dan hilir.

Dia contohkan,  perlindungan kawasan hutan dan pembuatan sumur-sumur imbuhan untuk menyimpan air hujan di areal cekungan air.

Dia bilang, sejumlah petani sudah didampingi untuk membuat bak penyimpanan air hujan, termasuk di dataran tinggi.

 

******

Exit mobile version