Mongabay.co.id

Cerita Penganyam Bidai Rotan dari Jagoi Babang

 

 

 

 

Tangan Roslinda cekatan memilin rotan ke kiri ke kanan, ke atas dan ke bawah membentuk pola. Perempuan 51 satu tahun ini tengah membuat tikar anyaman rotan.

“Awalnya cuma untuk pakai saja, tapi kemudian ada yang pesan. Maka sekarang usaha ini diseriusi,” kata perempuan 51 tahun ini.

Tikar rotan ini dari Kecamatan Jagoi Babang, Bengkayang,  Kalimantan Barat. Anyaman ini cukup tersohor. Ia tak hanya beredar di dalam negeri tetapi sampai ke negeri tetangga, seperti Malaysia.

Tikar rotan ini datang dari daerah di perbatasan Indonesia dan Malaysia. Mayoritas penganyam pakai pewarna alami dan rotan dari dari hutan.

Kecamatan Jagoi Babang,  berbatasan darat dengan Distrik Serikin, Sarawak, Malaysia. Daerah ini berjarak 115 kilometer dari Kota Bengkayang, atau ditempuh sekitar 2,5 jam dengan berkendara motor.

Ada enam desa di kecamatan itu, yaitu,  Desa Jagoi, Sekida, Sinar

Baru, Semunying Jaya, Kumba, Gersik. Di Desa Jagoi, para pengayam tikar rotan banyak berdiam. Sebagian besar penduduk Desa Jagoi adalah Suku Dayak Bidayuh dan Dayak Iban.

 

Aneka kerajinan dari anyaman rotan di galeri Roslinda. Foto: Aseanty Pahlevi/ Mongabay Indonesia

 

Selain perajin rotan, penduduk desa juga pekebun dan pedagang. Roslinda, warga Dusun Risau ini mulai menganyam 1999.

Keahlian menganyam dia peroleh dari sang ayah. Saat senggang, Roslinda kecil memperhatikan ayahnya mengayam tikar. Dia pun bisa meniru, bahkan menciptakan beberapa motif berbeda.

Kini, dia bisa memperkerjakan warga lain bikin tikar anyaman.

“Orang sini bilangnya bidai.”

Bidai juga disebut ama bidae berarti alas duduk. Biasa digunakan di rumah-rumah  warga, dibentang ketika berkumpul. Motif-motif tertentu untuk pesta dan upacara adat.

Kini,  fungsinya pun mengalami banyak penambahan. Bisa jadi pelapis dinding, sofa, alas meja bahkan jadi pelapis plafon.

 

Roslinda, penganyam tikar rotan dari Jagoi Babang. Foto: Aseanty Pahlevi/ Mongabay Indonesia

 

Roslinda, perajin yang cukup terkenal di desa ini. Anyamannya cukup rapi dan presisi.

“Dulu, corak-coraknya sederhana, seperti persegi panjang, corak pucuk pakis, bunga terung, rantai atau jalur,” katanya.

Kini, Roslinda bisa membuat corak burung atau kupu-kupu. Dia terkadang kewalahan menerima pesanan.

Dia biasa jajakan anyaman di Pasar Serikin. Satu tikar bisa Rp2 juta-Rp3 juta, tergantung ukuran dan kerumitan corak. Dengan lima pekerja, dia bisa hasilkan 20-25 bidai per bulan. Omset puluhan juta.

Roslinda kerap kesulitan dengan bahan baku rotan. Dulu, banyak rotan di sekitar dusun. Sejalan dengan investasi berbasis lahan skala besar marak, rotan pun makin langka.

Masyarakat ingin menanam tetapi agak sulit budidaya. Pasalnya, untuk mencari biji rotan alam, mereka bersaing dengan tupai. Biji rotan merupakan pakan tupai di hutan.

Dia pun biasa beli rotan di Kalimantan Tengah. Kecuali kulit kayu kapuak, yang biasa jadi pengikat atau tali di dalam anyaman didapat dari masyarakat.

“Saya biasa pesan jauh-jauh hari untuk bahan baku, takut tiba-tiba setok kosong atau jalan putus.”

 

Tikar rotan, , jadi alas duduk saat berkumpul. Foto: Aseanty Pahlevi/ Mongabay Indonesia

 

Arifin, Kepala UPT Kesatuan Pengelolaan Hutan Bengkayang, mengatakan, rotan merupakan produk hasil hutan bukan kayu yang cukup potensial. Masyarakat bisa dapatkan nilai tambah dari hutan dengan tidak menebang pohon.

Dengan menganyam, memanfaatkan hasil hutan bukan kayu, sekaligus menjaga hutan.  “Nilai sesungguhnya adalah menjaga kawasan,” katanya.

Pengembangan kerajinan bidai,  sekaligus melestarikan budaya masyarakat. Kerajinan berbahan baku hasil hutan bukan kayu berkembang, katanya, bisa membuka peluang usaha bagi masyarakat termasuk mempelajari cara menganyam yang hanya digeluti sebagian orang.

Kini,  benda-benda yang dianyam dengan bahan alami pun mendapatkan pasar lebih luas. Tempat untuk membawa padi, membawa buah, keranjang untuk berburu dan banyak jenis diminati masyarakat. Entah untuk perabotan maupun jadi pajangan.

Arifin juga bekerja sama dengan perajin rajutan untuk memadukan kerajinan anyaman dan rajutan modern. Hasilnya, kerajinan jadi souvenir menarik dan mempunyai nilai jual cukup bagus.

Dia menilai, konservasi rotan dengan budidaya patut jadi perhatian. Walaupun, katanya, budidaya dengan biji mempunyai tingkat keberhasilan rendah. Ke depan, katanya, memungkinkan ada penelitian untuk konservasi rotan melibatkan akademisi dan periset.

Yuli Yuliantini, dari Yayasan Natural Kapital Indonesia, menambahkan, budidaya rotan bisa saja dilakukan jika sumber daya hutan masih memadai. “Akan sulit jika hutan sudah tidak ada. Kalau perajin anyaman dari jenis bemban atau pandan, masih bisa ditanam di pekarangan mereka,” katanya.

 

Tikar rotan dengan pewarna alami. Foto: Aseanty Pahlevi. Mongabay Indonesia

 

Pengembangan komoditas hasil hutan bukan kayu, katanya,  memberikan pemahamam kepada masyarakat mengenai hutan yang punya nilai lebih dalam keadaan utuh. “Kayu bukan lagi komoditi instan yang diharapkan. Kalau pohon ditebang, mereka paham tidak bisa lagi mendapatkan manfaat tambahan,” katanya.

Selain itu, kata Yuli, perlu mendokumentasikan pemaknaan dari motif-motif asli anyaman di Kalimantan Barat, termasuk menjaga agar keahlian anyaman tetap turun ke generasi muda.

Alih pengetahuan ini juga salah satu tantangan guna melestarikan budaya anyaman termasuk tenun.

Upaya pelestarian ini, kata Yuli, tidak bisa dipaksakan. Keberadaan himpunan masyarakat adat diharapkan dapat menjadi lembaga yang dapat memantik kesadaran masyarakat. Kebudayaan ini akan ada pada sub etnis yang masih memegang teguh budaya dan adat, lantaran masih kerap melakukan upacara atau ritual adat.

“Inspirasi mereka selalu mengenai alam. Tentang satwa dan tumbuhan. Maka ungkapan hutan hilang, budaya hilang itu sangat tepat.”

 

******

Exit mobile version