Mongabay.co.id

Studi: Infeksi Jamur dari Perpecahan Habitat jadi Penyebab Turunnya Jenis Amfibi di Dunia

Spesies Aplastodiscus leucopygius, katak yang berkembang biak di air, yang bergantung pada berbagai jenis habitat untuk siklus hidupnya dapat berisiko lebih besar terkena penyakit. Perpecahan habitat dapat menyebabkan ketidakseimbangan mikrobioma kulit katak, merusak respons imunogenetik, dan menyebabkan stres kronis jangka panjang. Foto: Gui Becker.

 

Hutan yang semakin berkurang dan terfragementasi di seluruh dunia, menyebabkan penurunan keragaman hayati yang semakin besar. Studi yang diterbitkan dalam Jurnal Biological Review, menyebut fragmentasi hutan menyebabkan proses yang disebut sebagai “perpecahan habitat”, yang berkonsekuensi pada timbulnya penyakit diantara amfibi.

Gui Becker, penulis pertama penelitian dan ahli biologi dari Pennsylvania State University, menyebut perpecahan habitat terjadi dalam beberapa kelas habitat, seperti hutan, sungai dan kolam perairan. Hal ini menyebabkan siklus hidup beberapa spesies amfibi terpisah.

Dalam penelitian sebelumnya, Becker dan rekan-rekannya menyimpulkan bahwa perpecahan habitat adalah kekuatan pendorong utama di balik kepunahan lokal amfibi di hutan-hutan tropis di Amerika Selatan.

Dalam penelitian ini, perhatian khusus ditujukan pada penyakit amfibi yang disebabkan jamur chytrid, Batrachochytrium dendrobatidis (Bd), yang amat terkait dengan penurunan populasi amfibi di banyak belahan dunia. Jamur Bd menyebabkan penyakit chytridiomycosis yang berpotensi kematian fatal bagi amfibi.

 

Leptodactylus mystacinus, katak yang pembiakannya di air. Penelitian sebelumnya menunjukkan perpecahan habitat dapat berperan dalam kepunahan lokal di lingkungan yang sangat berubah. Foto: Diogo B. Provete melalui Wikimedia Commons (CC BY-SA 2.5).

Baca juga: Catatan Akhir Tahun: Katak Jenis Baru dan Dampak Nyata Perubahan Iklim

 

Becker dan timnya, menjumpai perpecahan habitat di Hutan Atlantik Brasil, berhubungan dengan meningkatnya infeksi chytrid yang lebih tinggi selama musim kawin amfibi.

“Penyakit ini sangat terkait dengan perpecahan habitat,” kata Becker saat dihubungi oleh Mongabay. Infeksi dari jamur ini juga terjadi saat jarak antara hutan dan badan air semakin jauh.

Studi terbaru menjelaskan siklus hidup amfibi terpengaruh dengan habitat yang diubah, khususnya pada perubahan komposisi mikrobioma katak (susunan bakteri pada kulit); stress kronis; dan berkurangnya keragaman gen imun.

Semua efek ini berdampak negatif terhadap resistensi penyakit pada amfibi.  Meski masih diperlukan pengujian untuk pembuktian lebih lanjut dari temuan awal ini.

“Alih-alih ukuran besaran fragmen habitat, perpecahan habitat menjadi penting untuk dianalisis,” sebut Andrea Jani, speneliti University of Hawaii. Dia tidak terlibat dalam penelitian ini.

“Dalam beberapa kasus, jarak antara dua habitat mungkin lebih penting untuk konservasi spesies daripada ukuran habitat tertentu.”

Dengan kata lain, peneliti mulai menyadari bahwa jarak tempuh yang lebih jauh dari satu tempat ke tempat lain berpotensi akan berkontribusi atas kerentanan penyakit patogen tertentu.

“Dari penelitian ini dapat dipelajari respon imun amfibi. Ini sesuatu yang selama ini sering luput dipelajari,” jelas Dennis Rödder, dari Leibniz Institute untuk Analysis of Biodiversity Change di Jerman.

Rödder menambahkan prevalensi penyakit dan beban infeksi sering diselidiki, tetapi tidak dengan hormon stres dan peran mikrobioma. Pemisahan habitat dapat memicu kadar respon stress, namun perlu lebih dipelajari dampaknya pada pada mikrobioma.

“Ini adalah sesuatu yang baru mulai dieksplor oleh orang-orang, dan kita membutuhkan lebih banyak informasi tentang hal ini.”

 

Katak Nyctimantis pomba salah satu spesies yang memiliki keanekaragaman mikrobioma yang rendah. Kemungkinan hubungan antara tingkat ancaman suatu spesies dan keanekaragaman mikrobiomanya masih harus dieksplorasi. Foto: Pedro Peloso.

 Baca juga: Bisa Pindahkan Batu Besar, Inilah Katak Terbesar di Planet Bumi

 

Menggali mikrobioma liar

Memahami dinamika penyakit adalah salah satu kunci keberlangsungan hidup amfibi di seluruh dunia, khususnya di daerah tropis. Bd, misalnya, berdasarkan penelitian sebelumnya bertanggungjawab kepada penurunan lebih dari 500 spesies amfibi di seluruh dunia.

“Para peneliti dan ahli konservasi telah berusaha keras menemukan cara mencegah penurunan populasi amfibi akibat Bd, tetapi sejauh ini belum ada solusi solid. Sebagian dari masalahnya adalah patogen dapat bertahan hidup di lingkungan,” Jani mengakui.

Para peneliti menyebut mikrobioma yang sehat dapat berperan penting dalam menjaga jenis-jenis amfibi dari infeksi.

Penelitian sebelumnya yang dilakukan Jackson Preuss, seorang ahli biologi dari University of West Santa Catarina, menjumpai bahwa peternakan babi yang tersebar luas di lanskap bioma Hutan Atlantik di Brasil telah meningkatkan risiko penyakit bagi amfibi.

Dalam skenario ini, amfibi meninggalkan hutan terfragmen untuk mencari saluran air dan kolam buatan untuk berkembang biak. Namun, mereka masuk ke habitat perairan yang telah berubah, dimana limbah lumpur babi dibuang.

“Pembuangan limbah peternakan babi dan kolam ikan terintegrasi meningkatkan tekanan penyakit,” jelas Preuss kepada Mongabay.

“Hal ini mengubah komunitas mikroba kulit inang amfibi tropis sehingga berpotensi meningkatkan risiko chytridiomycosis.”

 

Penelitian yang dipimpin oleh Jackson Preuss menemukan bahwa di daerah Brasil dengan peternakan babi dan ikan yang dijalankan secara intensif, pembuangan limbah lumpur di kolam dapat meningkatkan risiko penyakit chytridiomycosis di antara amfibi tropis. Foto: Jackson Preuss.

 

Pentingnya restorasi habitat

Para peneliti setuju masih perlu banyak penelitian untuk menguji hipotesis perpecahan habitat. Becker percaya hasil temua awal yang diperoleh dapat membawa konservasi ke arah upaya restorasi (pemulihan) habitat. Caranya adalah menghubungkan lebih dekat beberapa habitat darat dan perairan, sehingga meningkatkan kekebalan pada penyakit bagi amfibi.

“Dalam kasus katak, lebih dari sekadar [menghubungkan] hutan,” jelas Becker. “Untuk beberapa amfibi, misalnya perlu menghubungkan zona riparian sungai atau menghubungkan dengan tempat berkembang biak mereka.”

Hasil penelitian ini pun dapat dijadikan temuan hubungan antara perpecahan habitat dan dampaknya pada masing-masing spesies amfibi. Kedepannya, dapat dilakukan pemeriksaan ulang jenis spesies apa yang tergantung pada jenis habitat tertentu dalam siklus hidupnya.

“Hal yang menarik adalah bahwa kita perlu berupaya untuk memulihkan bentang alam yang akan mendukung mikrobioma yang sehat dan gen kekebalan yang beragam,” tambah Becker.

 

Katak Aplastodiscus leucopygius, endemik di Brasil. Perpecahan habitat dapat meningkatkan risiko penyakit bagi amfibi yang bergantung pada berbagai jenis habitat selama siklus hidupnya, menurut penelitian terbaru. Foto: Ariovaldo Giaretta via Wikimedia Commons (CC BY-SA 2.5).

 

Referensi:

Becker, C. G., Greenspan, S. E., Martins, R. A., Lyra, M. L., Prist, P., Metzger, J. P., … Savage, A. E. (2023). Habitat split as a driver of disease in amphibians. Biological Reviews. doi:10.1111/brv.12927

Becker, C. G., Fonseca, C. R., Haddad, C. F., & Prado, P. I. (2010). Habitat split as a cause of local population declines of amphibians with aquatic larvae. Conservation Biology24(1), 287-294. doi:10.1111/j.1523-1739.2009.01324.x

Carvalho, T., Becker, C. G., & Toledo, L. F. (2017). Historical amphibian declines and extinctions in Brazil linked to chytridiomycosis. Proceedings of the Royal Society B: Biological Sciences284(1848), 20162254. doi:10.1098/rspb.2016.2254

Belasen, A. M., Amses, K. R., Clemons, R. A., Becker, C. G., Toledo, L. F., & James, T. Y. (2022). Habitat fragmentation in the Brazilian Atlantic Forest is associated with erosion of frog immunogenetic diversity and increased fungal infections. Immunogenetics74(4), 431-441. doi:10.1007/s00251-022-01252-x

Rebollar, E. A., Martínez-Ugalde, E., & Orta, A. H. (2020). The amphibian skin microbiome and its protective role against chytridiomycosis. Herpetologica76(2), 167-177. doi:10.1655/0018-0831-76.2.167

Rebollar, E. A., & Harris, R. N. (2019). Editorial: Ecology of amphibian-microbial symbioses. Frontiers in Microbiology10. doi:10.3389/fmicb.2019.00766

Preuss, J. F., Greenspan, S. E., Rossi, E. M., Lucas Gonsales, E. M., Neely, W. J., Valiati, V. H., … Tozetti, A. M. (2020). Widespread pig farming practice linked to shifts in skin microbiomes and disease in pond-breeding amphibians. Environmental Science & Technology54(18), 11301-11312. doi:10.1021/acs.est.0c03219

Greenspan, S. E., Peloso, P., Fuentes-González, J. A., Bletz, M., Lyra, M. L., Machado, I. F., … Becker, C. G. (2022). Low microbiome diversity in threatened amphibians from two biodiversity hotspots. Animal Microbiome, 4(1). doi:10.1186/s42523-022-00220-w

Tan, W. C., Herrel, A., & Rödder, D. (2023). A global analysis of habitat fragmentation research in reptiles and amphibians: What have we done so far? Biodiversity and Conservation, 32(2), 439-468. doi:10.1007/s10531-022-02530-6

 

Tulisan asli dapat dibaca pada tautan ini:  Restore linked habitat to protect tropical amphibians from disease: Study.  Artikel ini diterjemahkan oleh Akita Verselita.

 

 

***

Foto utama: Katak Aplastodiscus leucopygius, katak yang berkembang biak di air, yang bergantung pada berbagai jenis habitat untuk siklus hidupnya dapat berisiko lebih besar terkena penyakit. Foto: Gui Becker.

 

Exit mobile version