Mongabay.co.id

Eksekusi Putusan Hukum Kasus Karhuta Perusahaan Lamban di Jambi, Dampaknya?

 

 

 

 

 

Penegakan hukum terhadap perusahaan yang terjerat kasus kebakaran hutan dan lahan (karhutla)  menemui jalan panjang di Jambi. Proses hukum yang sudah berjalan, walau sudah vonis, alam eksekusi atau pelaksanaan hukuman pun kerap tersendat alias tak berjalan. Ada juga perusahaan yang membayar denda setelah proses hukum selesai sampai kasasi di Mahkamah Agung.

Satu kasus PT Ricky Kurniawan Kertapersada (RKK). Hampir lima tahun sejak RKK dinyatakan bersalah oleh Mahkamah Agung  atas kasus kebakaran hutan dan lahan pada 2015, Pengadilan Negeri Jambi tak kunjung eksekusi. Selama itu, perusahaan terus beroperasi dan mengumpulkan cuan dari hasil kebun sawitnya.

Vonis hukum RKK membayar kerugian materil dan biaya pemulihan ekologis Rp191, 804 miliar akibat 591 hektar lahan terbakar pada 2015, sesuai putusan Pengadilan Tinggi Jambi, 16 November 2017. Dalam putusan kasasi 8 Oktober 2018, Mahkamah Agung juga menolak permohonan anak usaha Makin Group ini.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan telah mengajukan beberapa aset RKK untuk eksekusi seperti rekening dan sertifikat HGU dengan nilai setara denda pengadilan. PN Sengeti ditunjuk sebagai pelaksana eksekusi sebagai wakil PN Jambi. Karena konsesi RKK yang terbakar di Muaro Jambi.

Mongabay mendatangi kebun sawit RKK di Desa Puding, Kecamatan Kumpeh, Muaro Jambi 20 Februari 2023. Lahan itu sebelumnya disegel Dirjen Gakkum KLHK pada September 2019 karena kebakaran hutan dan lahan.

 

 

Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi mencatat,  luas kebakaran mencapai 2.379 hektar. Di lapangan Mongabay menemukan banyak buah sawit panen dan diangkut menggunakan mobil pikap.

Sebelumnya, Jasmin Ragil Utomo, Direktur Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup Kementerin Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengatakan, proses eksekusi RKK lamban karena pandemi COVID-19 dan pemberlakukan PPKM. Selain itu, proses eksekusi juga harus melalui beberapa tahapan hingga memakan waktu panjang.

Akhir Januari lalu, PN Sengeti menggelar rapat koordinasi dengan KLHK, BPN Jambi dan BPN Muaro Jambi, terkait eksekusi HGU RKK.

Dalam rapat itu BPN menyinggung soal putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) sampai tingkat peninjauan kembali (PK) yang menyatakan sertifikat HGU RKK dibatalkan.

Harzian, Humas Pengadilan Negeri Sengeti yang dihubungi Mongabay, belum bisa memastikan apakah sertifkat HGU yang dibatalkan itu merupakan jaminan yang akan disita pengadilan.

“Sekarang kita masih menunggu surat informal dari BPN terkait hal itu,” katanya, 7 Februari 2023.

Keterangan Harzian merujuk pada sengketa lahan antara RKK dan anak usaha  Sinarmas Group, PT Wira Karya Sakti (WKS) yang memperebutkan lahan 2.000 hektar di Desa Mekar Sari, Kecamatan Kumpeh, Kabupaten Muaro Jambi, sejak 2011.

 

Kota Jambi, diselimuti kabut asap karhutla pada 2019. Foto: Yitno Suprapto/ Mongabay Indonesia

 

Sengketa kedua perusahaan ini bermula ketika masa berlaku izin lokasi RKK habis. WKS lalu mengaku mendapatkan perluasan kawasan hutan di atas lahan RKK di Desa Mekarsari, Kecamatan Kumpeh, Muaro Jambi seluas 2.000 hektar. Ini berdasarkan Surat Menteri Kehutanan Nomor 1198/Menhut-IV/1997 pada 7 Oktober 1997. WKS juga membuat perjanjian penyerahan lahan dengan RKK pada 11 Oktober 1999.

Pada 2011, Maskur Anang, Direkur Utama RKK menggugat WKS ke pengadilan untuk membatalkan perjanjian penyerahan lahan.

Dari tulisan di Bisnis.com menyebutkan, Maskur menjual RKK pada Matahari Kahuripan Indonesia Group (Makin) saat WKS tengah memproses alih fungsi areal penggunaan lain (APL) jadi kawasan hutan. RKK lalu mengajukan izin baru di lokasi sengketa.

Pada 27 Juni 2012, Pengadilan Negeri Jambi memutuskan RKK berhak atas lahan 2.000 hektar di Desa Mekar Sari. WKS lantas mengajukan banding dan menang di Pengadilan Tinggi Jambi. Berdasar putusan 31 Januari 2013 itu, RKK diminta untuk mengosongkan lahan serta membayar sejumlah ganti rugi.

WKS juga mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Hasil putusan PTUN Jambi pada 2012 dan PTUN Medan pada 2013 mengakui WKS berhak atas lahan 2.000 hektar di Desa Mekar Sari berdasarkanizin  bidang kehutanan. Juga bersadarkan Keputusan Menteri Kehutanan  Nomor SK.346/Menhut-II/2004 tertanggal 10 September 2004.

Putusan ini makin kuat setelah WKS menang di tingkat kasasi, sesuai putusan Mahkamah Agung No. 336 K/TUN/2013 pada 23 September 2013.

Pada Juli 2012, RKK kembali menggugat WKS atas kasus perbuatan melawan hukum dan menang di PengadilanPN Jambi. WKS banding dan menang di tingkat kasasi pada 26 Januari 2016.

Sengketa lahan itu belum berhenti. Pada 2 Mei 2017, RKK kembali menggugat  WKS atas kasus sama, dan menang di Pengadilan Negeri Jambi untuk ketiga kalinya.

“Karen itu kita menerapkan pripsip kehati-hatian. Karena nanti—jika sertifikat HGU RKK dinyatakan ditolak—konsekuensinya akan berbeda,” kata Harzian.

Mongabay menghubungi Aman Masni, asisten humas RKK. Dia menolak berkomentar. “Langsung tanya BPN saja,” katanya, 23 Februari 2023.

Mongabay kemudian menghubungi Reza Andrian Fachri, Kabid Penanganan Sengketa Kanwil BPN Jambi. Dia bilang,  tidak semua lahan jadi sengketa dengan WKS dibatalkan PTUN.

“Yang dibatalkan sekitar 800an hektar. Bentuknya kebun sawit. Tapi itu masuk dalam kawasan hutan,” katanya.

Belakangan, lahan itu juga jadi konflik dengan kelompok tani di Desa Betung, Petanang dan Pematang Raman.

Kebun sawit di konsesi PT RKK, yang terbakar pada 2019. Foto: Yitno Suprapto/ Mongabay Indonesia

 

 

Bayar denda

Sementara itu kasus hukum lain, PT Dewa Sawit Sari Persada (DSSP), setelah proses panjang akhirnya membayar denda Rp2,5 miliar. Perusahaan dinyatakan bersalah  sampai Mahkamah Agung karena lalai dan hingga puluhan hektar lahan gambut di konsesinya terbakar pada 2019.

Pada 2 Desember 2022, Mahkamah Agung menyatakan DSSP terbukti sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana karena kelalaian hingga mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara ambien.

Putusan kasasi ini membatalkan putusan PN Tanjung Jabung Timur Juli 2021, yang menyatakan DSSP diwaliki Leonardo Dewa Brata anak dari Willy Soepardi, selaku direktur tak  terbukti bersalah.

Yenita Sari, Kepala Kejaksaan Negeri Tanjung Jabung Timur mengatakan, perusahaan membayar denda ke kas negara melalui bendahara penerima Kejaksaan Negeri Tanjung Jabung Timur, pada 30 Januari 2023.

Kasus perusahaan ini berawal pada September 2019, lahan gambut seluas 45,47 hektar di perkebunan sawit DSSP di Blok B5, B6 dan B7, Desa Jati Mulyo, Kecamatan Dendang, Tanjung Jabung Timur, terbakar. Perusahaan mencoba memadamkan api pakai alat seadanya, namun  tak berhasil. Data KKI Warsi, luas konsesi DSSP yang terbakar pada 2019 mencapai 590 hektar.

Bram Prima, Kepala Seksi Tindak Pidana Umum Kejari Tanjung Jabung Timur mengatakan, kasus DSS jadi pembelajaran pelaku usaha perkebunan untuk hati-hati. “DSSP ini jadi contoh bahwa kita tidak main-main,” katanya.

Kebakaran lahan gambut di konsesi DSSP memperburuk karhutla di Jambi. BMKG mencatat, saat kebakaran 2019 indeks standar pencemaran udara (Partikulat PM10) mencapai 411 (berbahaya). Bahkan, lebih buruk dibanding 2015. Lebih dari 60.000 orang di Jambi terserang ISPA.

Luas kebakaran di Jambi pada 2019 dari data Warsi mencapai 157.137 hektar. Kerugian lingkungan ditaksir Rp12 triliun. Kerugian itu, dampak kebakaran gambut 101.418 hektar, hampir 25% merupakan gambut dalam lebih sempat meter.

“Ada puluhan perusahaan HTI, sawit, dan HPH yang terbakar berulang. Ini harus dievaluasi,” kata Rudi Syaf, Manajer Komunikasi KKI Warsi. Setidaknya ada 50 perusahaan sawit di Jambi dengan konnsesi terbakar pada 2019, luas mencapai 24.938 hektar.

 

Kebakaran di PT MAS, Muarojambi. Foto: Yitno Suprapto/ Mongabay Indonesia

 

Berliku dan preseden buruk

Upaya lain pemerintah menghukum perusahaan yang terlibat karhutla masih penuh lika liku. Kasus kebakaran lahan gambut 1.425 hektar di konsesi PT Mega Anugrah Sawit (MAS) di Desa Sipin Teluk Duren, Kecamatan Kumpeh Ulu, Muaro Jambi, Juli 2019, sampai sekarang masih kasasi di Mahkamah Agung.

Sebelumnya, pada 20 September 2021, Pengadilan Negeri Sengeti mutuskan MAS bersalah dengan pidana denda Rp3 miliar, dan tambahan Rp 542,7 miliar untuk pemulihan lahan rusak.

Sidang PT Agro Tumbuh Gemilang Abadi (ATGA) yang digugat Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) akibat kebakaran lahan 2015, juga berjalan alot. Pada Mei 2022, perusahaan mengajukan peninjuan kembali, setelah kalah di tingkat kasasi.

Pada 13 April 2020, Pengadilan Negeri Jambi memutuskan ATGA bertanggung jawab mutlak (strict liability) atas kerugian lingkungan akibat kebakaran lahan di kebun sawit seluas 1.500 hektar di Kecamatan Muara Sabak Timur, Muara Sabak Barat, Dendang, dan Kecamatan Berbak di Tanjung Jabung Timur.

ATGA dituntut membayar ganti rugi materiil Rp160 miliar, dan biaya pemulihan lingkungan hidup Rp43 miliar, serta biaya perkara Rp520.000.

Walhi Jambi juga menggugat PT Pesona Belantara Persada dan PT Putraduta Indah Wood ke pengadilan atas kasus karhutla. Dua perusahaan pemegang izin HPH itu digugat Rp192 miliar atas kerugian dan biaya pemulihan lahan.

Walhi menuding dua perusahaan itu bertanggung jawab mutlak atas kerusakan lingkungan akibat kebakaran lahan gambut di areal izin pada 2015 dan 2019.

Perusahaan juga berkontribusi atas kerugian dampak kebakaran hutan dan lahan serta kabut asap. Dalam catatan pengadilan, Pesona mengajukan kasasi pada 7 Februari 2022, belum ada putusan sampai sekarang.

Bambang Hero Saharjo, pakar forensik kebakaran Indonesia IPB University Bogor mengatakan, proses hukum dan eksekusi pengadilan lamban akan berakibat negatif pada penegakan hukum lingkungan. Perusakan lahan bekas terbakar juga akan berlanjut tanpa kendali khusus di lahan gambut.

Pemenang penghargaan Sense About Science John Maddox di London itu kemudian memberi gambaran kerugian lingkungan dari dampak kebakaran lahan gambut 1.000 hektar dengan ketebalan 10 sentimeter.

 

 

Awalnya, nilai kerusakan lingkungan ditaksir Rp366 miliar. Ketika putusan berkekuatan hukum tetap baru dijatuhkan empat atau lima tahun kemudian, otomatis nilai kerugian bertambah besar.

“Jika lahan terbakar tidak segera direstorasi, ketebalan gambut yang rusak makin dalam, tidak lagi 10 cm bisa 40 atau 50 cm. Maka kerugian lingkungan yang sebelumnya Rp366 miliar itu sudah tidak cukup lagi. Nilainya mungkin bisa Rp1 triliun lebih. Akibatnya lingkungan dan negara dirugikan,” kata Bambang.

Bahkan, beberapa kasus, perusahaan justru tetap menjalankan aktivitas seperti biasa, seperti tidak pernah terjadi penegakan hukum.

“Ada yang malah membangun kebun baru di atas lahan bekas terbakar tanpa membayar kewajiban. Ini preseden tidak baik, putusan hukum tetap dianggap seperti tidak pernah terjadi,” katanya.

Menurut dia, ketua pengadilan negeri sebagai eksekutor perdata menjadi pihak yang bertanggungjawab atas tidak terlaksananya eksekusi.

Saat ini, katanya,  yang paling memungkinkan dilakukan pemerintah adalah mengingatkan Mahkamah Agung karena mereka punya Kelompok Kerja Lingkungan Hidup.

“Pelambatan proses eksekusi hanya akan menambah parah dampak negatif lingkungan hidup, ekonomi negara dan gangguan terhadap iklim global.”

 

Konsesi perusahaan sawit yang terbakar di Muarojambi. Foto: Yitno Suprapto/ Mongabay Indonesia

 

Panen sawit PT RKK tetap jalan di Desa Puding, Kecematan Kumpeh, Muaro Jambi, yang pernah disegel Dirjen Gakkum KLHK pada 2019 karena karhutla. Foto: Yitno S/ Mongabay Indonesia

*******

 

Exit mobile version