Mongabay.co.id

Memberatkan, Nelayan Malut Protes Acuan Harga Ikan

                                                                                                                           

Beberapa ketua kelompok nelayan di Maluku Utara mendatangi Kantor Dinas Perikanan dan Kelautan (DKP) Provinsi Maluku Utara di Jalan Ahmad Yani. Kota Ternate. Rabu (1/3/2023). Mereka merupakan nelayan pole and line atau huhate penangkap ikan cakalang yang menggunakan 60 unit kapal berkapasitas antara 32 – 37 gross tonnage bantuan Inka Mina.

Kedatangan mereka mempertanyakan kebijakan pemberlakuan penangkapan ikan terukur yang rencana diberlakukan di wilayah pengelolaan perikanan (WPP), salah satunya di kawasan laut timur Indonesia, termasuk di Maluku Utara.

Mereka juga mempersoalkan aturan dalam Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan (Kepmen KP) No.21/2023 tentang Harga Acuan Ikan yang Ditetapkan dan sudah berlaku sejak 20 Januari 2023 lalu.

Kebijakan yang bertujuan menggenjot Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari nelayan ini dianggap sangat memberatkan. Alasannya karena Pemerintah Pusat hanya mengacu harga ikan di wilayah barat Indonesia, terutama Pulau Jawa dan Sumatera. Padahal kondisinya sangat berbeda.

“Nelayan di Jawa itu (bentuknya) industri perikanan terutama perusahaan. Sementara di Maluku Utara ini kapal itu milik pribadi masing-masing nelayan dan termasuk usaha kecil membentuk kelompok nelayan. Karena itu jika regulasi Menteri KP ini diberlakukan sama, artinya sama saja membunuh nelayan Maluku Utara,” kata Taufik Koordinator Ngofa Nelayan, Kota Tidore Kepulauan, usai bertemu DKP Provinsi Maluku Utara.

baca : Begini Kesiapan Nelayan Kecil Malut dalam Penerapan Penangkapan Terukur

 

Perwakilan Nelayan dari Ternate dan Tidore bertemu dengan DKP Provinsi Maluku Utara. Foto : Taufik

 

Sebelumnya Pemerintah Pusat telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) No.85/2021 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis PNBP yang Berlaku pada Kementerian Kelautan dan Perikanan, yang mengatur pungutan pajak pasca produksi perikanan yang tidak lagi mengacu pada tonase kapal tetapi pada hasil produksi yang dihasilkan dalam setahun.

Aturan turunannya dalam bentuk Kepmen KP No.21/2023 tentang Acuan Harga Ikan yang didalamnya mengatur tentang harga beberapa jenis ikan. Misalnya untuk ikan cakalang harga acuannya Rp9.000/kilogram saat didaratkan di PPI atau TPI, maka nilai pungutan PNBP dari nelayan sebesar 5 persen dikalikan harga acuan jika hasil tangkapannya 1 ton.

Taufik menilai jumlah pungutan PNBP itu sangat memberatkan nelayan karena standarnya terlalu mahal. “Acuannya daerah Jawa itu perusahaan. Sementara di Maluku Utara itu hanya kelompok nelayan. Bayangkan saja satu kapal setiap tahun sebelum ada pemberlakuan aturan ini membayar Rp30 juta lebih. Setelah pemberlakuan regulasi ini, setiap kapal akan membayar sekitar Rp 100 juta setahun. Angka ini sangat memberatkan dan mengancam kelangsungan keberlanjutan usaha nelayan,” keluhnya.

Kepala DKP Provinsi Maluku Utara Abdullah Assagaf dalam pertemuan itu mengatakan kepada para nelayan akan menyampaikan masalah tersebut kepada KKP. Menurutnya, dengan kondisi bentuk kepemilikan usaha perikanannya berupa perorangan yang berbeda dengan industri/perusahaan, ada klasifikasi harga acuan ikan yang berbeda untuk wilayah Maluku Utara.

Dalam pertemuan itu, nelayan juga mengungkapkan masalah Bahan Bakar Minyak (BBM) yang seharusnya menerima harga BBM bersubsidi, tetapi ternyata membeli dengan harga BBM industri. “Kami juga keluhkan masalah pengenaan harga BBM industri kepada kami nelayan perorangan yang terasa sangat memberatkan,” kata Taufik.

baca juga : Sudah 2023, Penangkapan Ikan Terukur Belum Juga Diterapkan

 

Kapal nelayan pole and line yang parkir di Pelabuhan Perikanan Ikan (PPI) Dufa dufa, Kota Ternate, Maluku Utara. Foto : Mahmuc Ichi/Mongabay Indonesia

 

KKP Akomodir Masukan Nelayan

Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono memastikan pelaksanaan PNBP Pascaproduksi di bidang perikanan tangkap untuk kepentingan masyarakat nelayan dan keberlanjutan sumber daya ikan di Indonesia.

Dalam memungut PNPB Pascaproduksi itu, KKP mengakomodir kepentingan masyarakat nelayan dan pelaku usaha perikanan dengan menerbitkan Kepmen KP No.21/2023 tentang Harga Acuan Ikan yang terbit pada 20 Januari 2023.

“Beberapa waktu lalu saya bertemu nelayan dari daerah, saya sampaikan ke mereka silahkan kasih kami masukan berapa besarannya. Sekarang regulasi harga acuan ikan yang menjadi komponen dalam menetapkan pungutan PNBP pascaproduksi sudah terbit. Satu hal yang saya sampaikan, mari kita bersama-sama menjaga populasi perikanan terjaga dengan baik. Itu sebenarnya yang paling penting,” ungkap Menteri Trenggono dalam konferensi pers di Jakarta, Selasa (28/2/2023).

Penetapan PNBP Pascaproduksi diatur dalam PP No.85/2021 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis PNBP yang Berlaku pada KK dengan sejumlah peraturan turunan dalam melaksanakan pungutan PNBP Pascaproduksi, salah satunya Kepmen KP 21/2023.

baca juga : Koral: Kebijakan Penangkapan Ikan Terukur Memperburuk Kehidupan Nelayan

 

Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono (dua dari kiri) menjelaskan tentang pelaksanaan kebijakan PNBP Pascaproduksi di bidang perikanan tangkap di Kantor KKP, Jakarta, Selasa (28/2/2023). Foto : KKP

 

Penyesuaian Harga Acuan Ikan diakuinya tidak hanya mempertimbangkan masukan para pelaku usaha perikanan, tapi juga mempertimbangkan harga pokok produksi atau biaya operasional. Untuk itu, Trenggono meminta penyesuaian tersebut dipatuhi sehingga produktivitas perikanan tangkap yang ramah lingkungan di dalam negeri berjalan optimal.

“Nelayan langsung yang hidupnya bergantung dari laut, ini yang ingin kita sejahterakan. Caranya adalah sumber daya perikanan yang diambil oleh pelaku usaha penangkapan dari laut, juga harus dibagi dalam bentuk PNBP Pascaproduksi tadi yang bisa kita gunakan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat nelayan,” pungkasnya.

Penerapan PNBP Pascaproduksi didukung oleh infrastruktur teknologi salah satunya aplikasi e-PIT yang akan dipakai pelaku usaha untuk menginput jumlah hasil tangkapan. Dari sistem ini jugalah, pelaku usaha akan mengetahui secara otomatis besaran PNBP Pascaproduksi yang harus dibayarkan ke negara.

Pada kesempatan yang sama, Dirjen Perikanan Tangkap KKP Muhammad Zaini mengimbau pelaku usaha untuk jujur dalam menyampaikan hasil tangkapannya.

“Pesan kami kepada pelaku usaha, karena kami sudah mengakomodir penyesuaian PNPB Pascaproduksi melalui skema harga acuan ikan, saya minta juga kejujuran dari pelaku usaha agar melaporkan jumlah produksi secara jujur karena ini akan berkaitan dengan PNBP Pascaproduksi yang dibayarkan,” tegasnya.

baca juga : Penangkapan Ikan Terukur Dimulai dari Tual

 

Tangkapan ikan yang-baru didaratkan oleh nelayan di Pelabuhan-Pendaratan Ikan (PPI) Dufa-dufa, Kota Ternate, Maluku Utara. Foto : Mahmud Ichi/Mongabay Indonesia

 

Mengenai permintaan nelayan agar KKP menurunkan tarif indeks PNBP dari 10 persen untuk kapal berukuran di atas 60 GT, Direktur Perizinan dan Kenelayanan Ditjen Perikanan Tangkap KKP Ukon Ahmad Furqon mengaku sudah disiapkan jalan keluar dengan menyesuaikan Harga Acuan Ikan (HAI) yang menjadi variabel lainnya dalam penghitungan PNBP pascaproduksi, dengan mempertimbangkan biaya operasional atau harga pokok produksi. Solusi ini diterima dengan baik para pelaku usaha sembari menunggu revisi indeks tarif dalam PP 85/2021.

“Kapal di atas 60 GT mendapat masukan dari nelayan karena dianggap cukup besar indeks tarifnya. Ini yang kita serap. Pak Menteri juga sudah menerima langsung teman-teman nelayan belum lama ini. Saat ini proses sedang berjalan, dan kami sudah diskusi dengan teman-teman di Kemenkeu dan mereka mendukung. Kami tetap diskusi bagaimana ini cepat selesai sesuai harapan,” ungkapnya sebagaimana rilis KKP pertengahan Januari 2023 lalu.

Terdapat 77 pelabuhan perikanan di Indonesia yang siap melaksanakan PNPB Pascaproduksi dan kapal perikanan yang sudah mengantongi izin PNBP Pascaproduksi per Februari sebanyak 576 kapal.

 

Exit mobile version