Mongabay.co.id

Cerita Beras Organik dari Banyuwangi

 

 

 

 

 

Gudang itu berada di tengah-tengah sawah di Dusun Rumping, Desa Kemiri, Kecamatan Singojuruh, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur.  Ia tempat produksi-pengemasan beras organik bermerek “Seblang Banyuwangi” milik kelompok usaha yang dikelola Kelompok Tani Mendo Sampurno.

Di pintu gudang, beberapa laki-laki sibuk mengangkat beras ke kendaraan roda empat secara bergantian. Gudang itu terbagi dua ruangan. Di ruang satu, para perempuan cekatan menampi beras dengan formasi berdiri dan melingkar. Beberapa laki-laki muda menimbang beras yang sudah terbungkus karung.

Di ruangan lain, beras selesai kemas ukuran satu kilogram disusun bertingkat berjejer rapi di sudut ruangan.  Di sebelahnya, beberapa laki-laki dan perempuan bergantian mengemas beras ke dalam wadah ukuran satu kilogram siap jual. Beras hasil pertanian mereka ini dikelola secara organik.

Kelompok Tani  Mendo Sampurno yang berarti ‘domba sempurna’ ini berdiri 1997.  Awalnya, mereka aktif ikut pelatihan pupuk organik, lalu mulai bikin pupuk organik layak jual pada 1999.  Pada 2000,  Mendo Sampurno mulai ikut pelatihan pertanian organik di Yogyakarta.

Kemudian mereka mulai bertani organik. Lalu, terbentuklah Pusat Pelatihan Pedesaan Swadaya Sintario.  Dari sanalah, akhirnya lewat kelompok tani ini berdiri usaha,  PT Sirtanio Organik Indonesia (Sintanio).

Samanhudi, Ketua Kelompok Tani Mendo Sampurno mengatakan, mereka bisa panen padi  sampai  60-70 ton  tiap bulan.

“Petani yang bermitra dengan kami hampir 200 orang. Tidak semua masuk anggota Kelompok Tani Mendo Sampurno,” katanya.

Sedang hasil lahan Samanhudi sekitar 8-10 ton setiap panen.

 

Proses beras organik dari Mendo Sampurno. Foto: Gafur Abdullah/ Mongabay Indonesia

 

Dia mengatakan, hasil panen mereka sempat ekspor ke Eropa ketika jadi binaan Dinas Pertanian  Banyuwangi dan Bank Indonesia di Jember.

“Kami di-support Bank Indonesia Jember guna memperbesar usaha kami. Kami bersyukur, bisa ekspor langsung  pada 2019. Pertama ekspor tiga ton langsung ke Italia,” kata laki-laki 59 itu, belum lama ini.

Mereka pernah juga ekspor ke Inggris, Jerman dan Belanda lewat perusahaan dari Jerman.  “Kami  tidak bisa serta merta ekspor ke negara ini dan itu. Sebab itu ada aturan dan sertifikatnya.”

Kini, mereka  tak ekspor lagi, hanya fokus pasar Indonesia.

Namun, katanya, beras organik mereka juga dibeli perusahaan lain untuk ekspor ke luar negeri, seperti Amerika dan Tiongkok.

Samanhudi bilang, nama merek beras Seblang Banyuwangi dipilih terinspirasi dari tradisi tarian khas Banyuwangi  dari Suku Osing. Pakaiannya penari dari buah-buahan dan sayur mayur. Ritual itu dulu dipercaya dapat menangkal penyakit.

Nah, beras kami ini  organik, setidaknya ini upaya menangkal penyakit. Jadi nama diyakini jadi obat atau mencegah penyakit yang ditimbulkan oleh bahan kimia untuk pertanian itu tadi,” katanya.

 

Beras organik siap angkut. Foto: Gafur Abdullah/ Mongabay Indonesia

 

Sebelumnya,  mereka beri nama Beras Organik Cap Banyuwangi.  Setelah urus izin di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia  (Kemenkumham), tidak boleh karena pakai nama daerah langsung. Berdasarkan diskusi di internal Sirtanio, mereka ganti jadi “Seblang Banyuwangi.”

Varietas beras hasil pertanian organik mereka antara lain, beras merah, beras coklat, beras hitam, dan beras putih. Beras merah merupakan varietas asli Banyuwangi biasa disebut segobang. Segabang  ini merupakan gabungan dari dua kata, sego (nasi) dan abang (merah).

“Masyarakat Banyuwangi masih mempertahankan varietas ini. Mungkin, hanya di sini dan mitra tani kami yang dikelola organik. Beras merah memiliki kandungan asam folat tinggi daripada yang hitam. Asam folat sangat membantu menemani pertumbuhan kecerdasan bayi. Fisik dan mental bayi. Yang hitam, protein  tinggi, antioksidan tinggi juga. Bahkan ada yang bilang ini jadi penangkal serangan kanker,” katanya.

 

Beras organik Seblang Banyuwangi. Foto: Gafur Abdullah/ Mongabay Indonesia

 

Gandeng petani

Mendo Sampurno juga mengajak warga atau petani sekitar menerapkan pertanian organik. Beras-beras petani yang mau tanam organik pun sekalian bisa mereka serap.

Maskana, perempuan petani mulai tertarik dengan pertanian organik setelah diajak Isroti Hasanah, istri Samanhudi,  bertani organik.

“Sejak tahu pertanian organik itu bagus dan hemat, saya mulai menerapkan tani organik. Saya  sambil kerja di sini. Dulu,  sebelum kenal ini, pupuk kimia,” katanya sambil mengemas beras di gudang Sirtanio.

Haniyah, petani lain mengatakan, kerja sama dengan Sirtanio sejak 2013. Dia tanam di lahan seluas seperempat hektar dengan panen, 10-15 karung. Panen untuk dia konsumsi dan jual sebagian.

Tak hanya tanam organik, perempuan 51 tahun ini juga mengkampanyekan pertanian organik kepada keluarga maupun tetangga terdekat.

Serupa dengan Askurik. Pria 51 tahun ini mengatakan, jadi mitra tani Sirtanio sejak 2012 dengan mulai tanam cabai. Merasa puas dengan pertanian organik cabai, dia memutuskan mencoba terapkan pada padi, khusus beras merah.

“Aneh tapi nyata. Dulu, kami gak mau pakai organik karena ribet. Nguras tenaga dan buang waktu. Padahal, pemerintah sudah wanti-wanti, lahan yang terus menerus diolah dengan pupuk kimia, perlahan akan mati,” kata petani penggarap, anggota Himpunan Petani Pemakai Air (HIPPA) Desa Kemiri, Singojuruh, Banyuwangi ini.

 

Sawah yang dikelola secara organik lebih subur dan hasil pun jauh lebih banyak. Secara fisik, perbedaan terlihat jelas, padi organik lebih tinggi dan berisi. Foto: Wahyu Chandra

 

Setelah mengenal dan menerapkan pertanian organik, dia tidak perlu ambil pusing kalau ada kelangkaan pupuk seperti yang dialami petani yang masih tergantung pupuk kimia. Dia sudah punya kotoran kambing di rumah. Kalau setok habis, katanya, bisa beli ke Sirtanio.

Askurik mengelola lahan milik orang lain seluas lima hektar terpencar di beberapa lokasi. Untuk pertanian organik dia bertahap. Awalnya,  coba setengah hektar. Karena bagus jadi tambah lagi. Setelah tahu pertanian organik dengan hasil bagus, dia sampaikan kepada pemilik lahan.

“Disetujui, saya coba terapkan. Karena hasil bagus, akhirnya semua lahan dengan pertanian oraganik. Yang punya sawah dulu memang tidak langsung setuju. Saya coba yakinkan. Hasil bagus.  Saya awalnya  juga ragu, tapi optimis. Alhmdulillah hasil memuaskan.”

Sejak tanam organik, lahan makin subur. Pengetahuan sistem pertanian organik dia murni belajar sejak bergabung dengan Sirtanio dan timnya.

“Senangnya kami gak dipaksa, yang mau silakan. Gak mau ya silakan. Saya senang, harga stabil, kan kontrak. Kualitas bagus. Ketika  ada orang  atau famili yang nanya tentang pertanian yang saya terapkan, saya jelaskan. Saya pun berikan penjelasan bagaimana cara gabung ke Sirtanio.”

Suwati,  perempuan  petani sudah bertani organik beras merah dan beras putih. Dia bilang, hasil panen memuaskan. Selain panen bagus, tanah makin subur dibanding sebelumnya saat pakai pupuk kimia.

“Lebih bagus sekarang. Harga stabil. Kualitas beras bagus dan harga relatif naik. Jadi jual gak khawatir. Apalagi, sudah jelas pembeli dan harganya. Kan kontrak. Saya berharap, makin banyak orang bertanik organik.”

Dia bilang, teman atau tetangga di sekitar rumahnya juga sudah banyak terapkan pertanian organik.  “Dari pengalaman saya, tanaman pakai pupuk organik, lebih kebal hama,”  kata perempuan 53 tahun itu.

 

Beras merah organik. Foto: Gafur Abdullah/ Mongabay Indonesia

*********

 

Exit mobile version