Mongabay.co.id

Pasca Pemerintah Cabut HGU Perusahaan Sawit di Pulau Mendol

 

 

 

 

Kazzaini Ks, tokoh masyarakat Pulau Mendol, dapat kabar kalau Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional sudah menerbitkan keputusan pencabutan hak guna usaha (HGU) PT Trisetia Usaha Mandiri (TUM) di Pulau Penyalai atau Pulau Mendol, Riau, Februari lalu.

Seakan tak percaya, dia meneruskan pesan itu ke banyak pihak. Dari Walhi Riau— yang selama ini mendampingi masyarakat—sampai Bupati Pelalawan.

Boy Jerry Even Sembiring, Direktur Eksekutif Walhi Riau bilang, sudah mendengar kabar bahwa HGU TUM bakal dicabut ketika intens komunikasi dengan rekan-rekan Eksekutif Nasional Walhi termasuk Kementerian ATR/BPN dan Kantor Staf Presiden. Hanya, dia belum siap menyampaikan ke masyarakat Mendol karena masih sebatas selentingan informasi.

Kazzaini mengkonfirmasi kabar itu ke Wakil Menteri ATR/BPN, Raja Juli Antoni. Putra kelahiran Kabupaten Kuantan Singingi, Riau, itu tak membantah sembari menitipkan salam ke masyarakat Pulau Mendol dan tokoh masyarakat Riau.

“Menurut saya ini sesuatu yang luar biasa,” kata Kazzaini, dalam diskusi yang ditaja Walhi Riau, beberapa waktu lalu.

Malam itu, Kazzaini, tak dapat tidur, karena harus membalas satu per satu pesan yang masuk ke WhatsApp.

Masyarakat Mendol terutama kolega dekat masih belum sepenuhnya percaya dengan informasi ini. Meski begitu, katanya, sebagian yang mendapat kabar langsung sujud syukur bahkan menangis.

“Karena ini menyangkut masa depan kampung halaman.”

Hadi Tjahjanto,  Menteri ATR/Kepala BPN menandatangani pencabutan HGU TUM seluas 6.055,77 hektar pada 24 Januari 2023. Keputusan itu menetapkan,  sertifikat nomor 00146 dan 00147 di Kelurahan Teluk Dalam, Desa Teluk, Desa Teluk Bakau dan Desa Teluk Beringin, Kecamatan Kuala Kampar, Kabupaten Pelalawan, Riau, itu jadi tanah terlantar.

“Ini kado dari Jakarta untuk masyarakat Riau,” kata Raja Juli Antoni di Instagramnya. Wamen ATR/BPN, ini kerap menyebut pencabutan maupun pemblokiran HGU adalah sebuah oleh-oleh buat masyarakat.

 

Baca juga: Hutan dan Gambut Pulau Mendol Terancam Perusahaan Sawit, Warga pun Resah

Tanaman kelapa dan tanaman lain warga di Pulau Mendol, bakal terdampak kalau perusahaan sawit masuk. Foto: Suryadi/ Mongabay Indonesia

 

Kazzaini, merasa surat keputusan pencabutan HGU TUM sangat istimewa. Selain mencabut, menteri juga memerintahkan TUM sebagai pemegang bekas HGU, mengosongkan segala benda yang ada di atas tanah dalam waktu 30 hari. Biaya ditanggung sendiri.  Kalau tidak, ia akan jadi aset yang diabaikan dan TUM tidak memilik hak lagi atas benda-benda itu.

Masyarakat Mendol menolak kehadiran TUM sejak 2018, atau ketika dapat informasi pemberian HGU di kampung mereka pada perusahaan yang mengklaim sebagai pengusaha lokal.

Kazzaini sempat pesimis izin akan dicabut. Dia kurang percaya, Kementerian ATR/BPN akan berpihak pada masyarakat. Masalahnya, dia belum pernah mendengar pencabutan HGU perusahaan, terutama di Riau.

Sisi lain, perjuangan masyarakat juga dituduh ditunggangi tokoh masyarakat Riau. Masyarakat ditakut-takuti dengan kalimat perumpamaan. “Jangan sampai lepas dari mulut buaya masuk ke mulut haarimau.” Artinya, meski hak kelola yang diberikan ke TUM dicabut justru dialihkan pada perusahaan atau pemodal lain.

Kazzaini tak hiraukan itu. Dia yakin dengan kesungguhan masyarakat menolak TUM, semata demi menyelamatkan masa depan anak dan cucu.

Dia mengenang ketika memutuskan berangkat ke Jakarta menemui Menteri ATR/BPN. Semula hendak naik pesawat, akhirnya disepakati menempuh jalur darat menggunakan kendaraan roda empat karena pertimbangan biaya.

Momen persiapan hingga perjalanan dua hari dua malam itu masih melekat dalam benak Kazzaini. Masyarakat Mendol membekali rombongan dengan rendang sampai goreng teri.

Mereka juga bawa sagu dan penanak nasi elektrik. Selama perjalanan, hanya satu kali mereka belanja. Beli kerupuk dan mentimun di Palembang.

Sampai tragedi di Tol Ciruas, Serang Banten, mereka alami kecelakaan hingga merenggut nyawa Said Abu Supian, lima hari usai kejadian pada September 2022.

 

Lahan pertanian warga di Pulau Mendol. Foto: Suryadi/ Mongabay Indonesia

 

Said pemuda yang gigih menolak investasi perkebunan monokultur di tanah leluhurnya yang kaya raya akan ragam tanaman.

“Kalau ada pihak-pihak bilang perjuangan masyarakat ditunggangi, itu tuduhan sangat menyakitkan bagi orang Penyalai. Yang mau jadi harimau itu masyarakat Penyalai. Harimau yang peduli lingkungan. Harimau yang betul-betul menjaga habitatnya. Bukan harimau lain,” katanya.

Kazzaini juga sempat khawatir Menteri ATR/BPN tak akan cabut HGU TUM karena ada UU Cipta Kerja yang pro investasi. Kecemasan itu bertambah setelah Presiden Joko Widodo menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Cipta Kerja, penghujung tahun lalu.

Perusahaan juga memprovokasi masyarakat kalau HGU dicabut, areal itu akan dibangun pembangkit listrik tenaga surya (PLTS). Memang benar, Bupati Pelalawan Zukri, sempat menerbitkan izin prinsip buat investor dari Singapura untuk pengembangan energi terbarukan tetapi mencabut kembali.

Sebenarnya kemenangan kecil telah diperoleh masyarakat Mendol, jauh sebelum pencabutan HGU. M Harris,  mantan Bupati Pelalawan mencabut izin usaha perkebunan budi daya TUM, 13 April 2020.

Setelah menyaksikan keberpihakan Pemerintah Pelalawan, masyarakat Mendol bepikir perjuangan mereka ‘mengusir’ TUM telah berakhir. Ternyata, setahun berselang, perusahaan menampakkan diri dengan mengerahkan alat berat.

Seolah masih memiliki izin, perusahaan membuka lahan dengan menebangi pohon, membuat kanal serta membangun tempat tinggal sementara buat pekerja.

Masyarakat Mendol kembali bergejolak. Protes lewat unjuk rasa ke Pemerintah Pelalawan hingga Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional (BPN) Riau. Lobi sana sini.

Alasan keras masyarakat menolak investasi perkebunan monokultur itu karena khawatir, kebun sawit skala besar akan menggusur mata pencarian utama masyarakat Mendol yang sudah turun temurun Bertani dan berkebun. Masyarakat hidup dari kelapa, sagu dan karet maupun perkebunan tradisional lain dengan kearifan lokal.

Bupati Pelalawan Zukri, pun memerintahkan TUM menghentikan seluruh kegiatan pada areal bekas izin itu. Peringatan ini tertuang dalam surat keputusan Nomor: 500/DPMPTSP/2022 tertanggal 11 Juli 2022. Ia tindak lanjut dari pencabutan IUP oleh bupati sebelumnya.

TUM melawan. Direktur Utama Andy Nofendri, menggugat dua keputusan Bupati Pelalawan.

Sengketa keputusan pejabat pemerintah itu terdaftar di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Pekanbaru pada 25 Oktober 2022. Dia beralasan, tidak pernah mendapat surat pemberitahuan pencabutan izin. Surat itu baru diterima saat rapat dengar pendapat bersama Komisi II DPRD Pelalawan 8 Agustus 2022.

Kanwil BPN Riau sebenarnya sudah bertindak. Syafrina,  Koordinator Substansi Pengendalian Pertanahan, saat wawancara dengan Mongabay, Oktober tahun lalu, menyebut,  sudah tiga kali memperingati TUM karena menelantarkan konsesinya. Perusahaan berdalih terkendala COVID-19. Kanwil BPN Riau tetap merekomendasikan areal HGU menjadi tanah terlantar.

“Setelah ditetapkan sebagai tanah telantar, Kepala Kantor Pertanahan Pelalawan punya kewajiban mengumumkan di surat kabar, selama satu bulan. Atau memasang papan pengumuman dibekas lokasi  TUM,” kata Syafrina, lewat aplikasi perpesanan, Februari 2023.

Selanjutnya, kata Syafrina, akan ada SK menteri mengenai pendayagunaan tanah telantar untuk kepentingan negara dan masyarakat. Antara lain, melalui reforma agraria, proyek strategis nasional, bank tanah atau cadangan negara lain.

“Jika di dalam lokasi terdapat penggarapan masyarakat, akan dilakukan upaya pendataan para penggarap.”

 

Sumber: Walhi Riau

 

Tantangan lain

Kazzaini menyadari, pasca pencabutan HGU masih ada pekerjaan yang menanti masyarakat Mendol. Meski sudah menang melawan TUM, tetap ada kecemasan lain di masyarakat. Antara lain, gambut Pulau Penyalai hasil endapan Sungai Kampar rentan abrasi.

Penambangan pasir dari provinsi tetangga—Pulau Mendol berbatasan dengan Pulau Kundur, Kabupaten Tanjung Balai Karimun, Kepulauan Riau—makin mendekati pulau terluar Riau yang dipisah oleh selat kecil itu.

Masalah lain, katanya, krisis air bersih. Masyarakat Mendol berharap, air hujan bisa ditampung untuk konsumsi rumah tangga. Saat ini, mereka mau tak mau harus merogoh kocek untuk beli air galon yang diperoleh dari provinsi tetangga.

Sembari menanti kebijakan pemerintah mengatasi masalah mendasar masyarakat Mendol ini, Kazzaini berharap Kementerian ATR/BPN meredistribusikan bekas HGU TUM kepada masyarakat melalui kebijakan reforma agraria.

“Yang penting tanah itu diberdayakan buat masyarakat. Tidak merusak lingkungan dan betul-betul meningkatkan ekonomi masyarakat tempatan. Pada prinsipmya, harus kita kawal agar alam dan Mendol terjaga.”

Umi Ma’rufah, Koordinator Riset dan Kajian Kebijakan Walhi Riau, bilang pencabutan HGU TUM merupakan kemenangan kecil yang perlu dirayakan tetapi tetap perlu dikawal.

Mayoritas daratan Pulau Mendol, katanya,  lahan gambut fungsi lindung, tidak bisa ada perusahaan industri ekstraktif yang bakal mengancam kelangsungan hidup masyarakat. Masyarakat Mendol, katanya, petani tradisional yang menggarap lahan dengan kearifan lokal.

 

Tutupan hutan di Pulau Mendol, yang masuk izin PT TUM. Foto: Suryadi/ Mongabay Indonesia

******

Exit mobile version